‘AM & KHASH
Monday, August 24, 2015
Add Comment
‘A>M & KHA>SH
Definisi Ayat ‘Am dan Ayat Khash
Menurut terminologi, keumuman ayat adalah bila satuan lafadznya menunjukkan pengertian umum menurut makna yang sebenarnya, tidak dibatasi oleh jumlah dan tidak pula menunjukkan bilangan tertentu. Sementara kekhususan ayat Al-Qur’an ditunjukkan oleh satuan kata yang mengandung pengertian khusus satu individu, satu klasifikasi, atau bilangan tertentu. Dalam kajian ini, termasuk dalam pengertian Khash bila seluruh mekanisme teks memberikan pengertian khusus, walaupun secara harfiah satuan katanya menurut makna yang sebenarnya menunjuk pada makna umum.
Ulama ushul memberikan perincian perangkat bahasa yang dapat disimpulkan sebagai kata ‘am, dalam enam batasan:
• Kata “kullun”, “jami’” dan “kaffah” atau lainnya yang menunjukkan universalitas maknanya, apakah kata itu menjadi permulaan kalimat atau muncul sebagai keterangan
Semua yang ada di bumi itu akan binasa.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam damai secara keseluruhan,
Kata “kullun” sendiri disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 245 kali, kata “jraami’” sebanyak 52 kali, tidak seluruhnya mengandung pengertian umum, yaitu pada QS. 54: 44, dan 26: 56 yang diterjemahkan sebagai satu golongan yang bersatu.
• Semua kata penghubung (asma al-maushul, relative pronoun)
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api,
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.
• Kata ayyun, ma dan man, (mana/apa/siapa), baik sebagai kata syarat, kata tanya atau kata penghubung.
Barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).
Dalam Al-Qur’an kata ayyun disebutkan sebanyak 6 kali, kata ma 1011 kali (mungkin banyak diantarannya yang bermakna ma-nafi) dan man sebanyak 393 kali.
• Kata benda kategorial (isim jinis) yang difinite (mu’arraf) baik dengan partikel alif-lam (al-) atau dengan kasus idhafah (possessive), baik kata benda itu berbentuk tunggal (mufrad), ataupun berbentuk plural (jamak)
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
• Kata plural (jamak) yang dikongkritkan dengan kata ganti (dhamir)
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
• Kata benda tak tertentu (indefinite/nakirah) dalam konteks larangan, negasi, dan syarat (kondisional) dan dalam konteks pemberian anugerah
Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya.
Konsep Ayat ‘am dan Khash
Pada sisi lain, Ulama Ushul mengembangkan klasifikasi bentuk ayat ‘am, ke dalam tiga kelas:
Kata ‘am dengan maksud umum, yaitu setiap kata ‘am dengan indikasi (qarinah) tidak adanya sesuatu yang dapat membuatnya menjadi khusus (takhsish).
Dan tidak ada suatu binatang melata-pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.
Kata ‘am dengan maksud khusus, setiap kata ‘am dengan indikasi tidak tetap dalam keumumannya. Ini disebut dengan model takhsish “rasional kontinuitas” dengan “akal” kita dalam memahami “konteks rasional” (siyaq al-kalam) suatu ayat.
(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka. (Alu Imran 173)
Struktur ayat di atas menegaskan kekhususan dari acuan masing-masing kata an-nas, bahwa an-nas yang mengatakan bukan an-nas yang menjadi sasaran bicara. Huruf alif dan lam pada kedua kata an-nas tidak menunjuk pengertian jenis (ism jinis) tapi menunjukkan benda yang sudah diketahui (li al-‘ahdi).
Kata ‘am yang dikhususkan (mukhassash), bila tidak ada indikasi kekhususan maknanya dan tetap pada keumumannya hingga ditemukan bukti lain yang menunjukkan kekhususannya. Dalam hal ini, perangkat takhsish (dalil at-takhsish) yang digunakan berupa kata verbal bersambung (munfashilah) dan terpisah (mustaqillah).
Untuk perangkat yang bersambung ditentukan lima gejala;
a. pengecualian (istitsna’),
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.
b. atribut (sifat/wasf)
Dan pasangan-pasanganmu yang telah kamu campuri.
c. kondisional (syarat)
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.
d. kehinggaan (ghayah),
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
e. mengganti sebagian dari keseluruhan (badal ba’dl min kul),
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Sementara untuk perangkat yang terpisah, antara lain;
a. rasionalitas (akal),
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Kata manusia (an-nas) adalah kata umum, namun maksudnya adalah khusus untuk mereka yang mukallaf, dan bukan yang masih kecil, atau orang gila.
b. Kebiasaan (‘urf)
Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun, dimana pada realitanya tidak semua ibu dapat melaksanakannya.
c. Bukti teks yang lain (nash).
Maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta untuk menyempurnakannya.
Yang ditakhsish dengan ayat
Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menunggu hingga tiga kali quru’.
Beberapa sudut yang membedakan tipe kedua ungkapan ‘am yang dimaksud khash dan tipe ketiga ‘am yang di-takhsish, secara semantik dapat digambarkan sebagai berikut:
Mengenai poin ketiga tentang perangkat takhsish, dimana tipe ketiga dalam perangkat yang terpisah menunjuk pada perangkat rasionalitas (‘aqliyah) yang ini sama dengan perangkat bersambung untuk tipe kedua. Menurut hipotesa penulis, untuk tipe ketiga, rasionalitas hanyalah perangkat yang “bersifat verbal” terpisah dan tidak mungkin bersambung dengan ungkapan ‘am, artinya, pada mulanya ungkapan itu murni universal dalam makna sebenarnya (hakiki), sebelum kemudian ditemukan perangkat yang menjadikannya khusus berupa rasional terpisah. Ini juga berarti bahwa dalam satu kasus ungkapan ‘am yang kemudian menjadi khash karena gejala rasionalitas dapat dikategorikan kedalam tipe kedua bila dinilai bersambung, atau tipe ketiga bila dinilai terpisah.
Mekanisme Ayat Mutlak dan Ayat Muqayyad
Mutlak dan Muqayyad adalah mekanisme hubungan antara ayat ‘am dan ayat khash bila kemudian dilakukan proses takhsish model “lain”, yaitu dengan menghadapkan seluruh bentuk keumuman dan kekhususan. Patokannya adalah jika Allah memutuskan sesuatu dengan suatu sifat atau syarat (muqayyad bi as-sifat wa as-syarat) kemudian muncul hukum yang lain secara mutlak, maka harus dipertimbangkan;
Jika ia tidak memiliki dasar yang dijadikan rujukannya kecuali hukum yang muqayyad tersebut, maka ia harus dibatasi dengan yang muqayyad.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…
….. maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
Dalam ayat ini, ketentuan mengusap tangan dalam tata cara tayammum adalah ungkapan mutlak, tidak dibatasi sampai kesiku (ila al-marafiq) seperti pada tata cara wudhu. Dalam kasus ini ketentuan dalam tayammum yang mutlak dikembalikan kepada yang muqayyad dalam wudhu.
Dan jika ia memiliki dua dasar atau lebih dari itu, yang berbeda pembatasan takhsish-nya, maka ia harus dibiarkan dalam ke-mutlakan-nya.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah.
Ayat ini mengharuskan puasa dilakukan secara berkesinambunga tidak terputus, sebaliknya ayat berikut;
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali
ayat ini mengharuskan puasa dilakukan terpisah. Maka ayat yang mutlak berikut harus dibelakukan ke-mutlakakan-nya;
Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffarat-nya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgarnya).
Dimana ayat ini, bersifat mutlak, tidak mengharuskan puasa dilakukan berkesinambungan atau terpisah.
Definisi konsep “’am” dalam ilmu ushul al-fiqh, Abdul Wahab Khalaf, hlm 181
Bandingkan dengan Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, hlm 191
Lihat Subhi Shalih, Membahas Ilm Al-Qur’an, hlm 435-437, bandingkan dengan Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, hlm 182-183, dan Nasr Hamid Abu Yazid, Tekstualitas Al-Qur’an, hlm 248-249
QS. 55 ar-Rahman, 26
QS. 2 al-Baqarah, 208
QS. 2 al-Baqarah, 17
QS. 4 an-Nisa’, 16
QS. 10 Yunus, 26
QS. 25 al-Furqan, 68
QS. 5 al-Ma’idah, 38
QS. 23 al-Mu’minun, 1
QS. 9 at-Taubah, 103
QS, 15 al-Hijr, 21
QS. 11 Huud, 6
Nasr Hamid, hlm 261
QS. 3 Ali Imran, 173
Nasr Hamid, hlm 129
QS. 28 al-Qashash, 88
QS. 4 an-Nisa’, 23
QS. 2 al-Baqarah, 180
QS. 2 al-Baqarah, 222
QS. 3 Ali Imran, 97
QS. 3 Ali Imran, 97
QS. 2 al-Baqarah, 233
QS. 33 al-Ahzab, 49
QS. 2 al-Baqarah, 228
Lihat as-Suyuthi, hlm 42-43
Lihat Khalaf, yang menyebutkan satu kasus dalam kedua tipe, hlm 185 dan 188
Az-Zarkashi, hlm 15 dengan sedikit modifikasi
QS. 5 al-Maidah, 6
QS. 4 an-Nisa, 92
QS. 2 al-Baqarah, 196
QS. 5 al-Maidah, 89
Definisi Ayat ‘Am dan Ayat Khash
Menurut terminologi, keumuman ayat adalah bila satuan lafadznya menunjukkan pengertian umum menurut makna yang sebenarnya, tidak dibatasi oleh jumlah dan tidak pula menunjukkan bilangan tertentu. Sementara kekhususan ayat Al-Qur’an ditunjukkan oleh satuan kata yang mengandung pengertian khusus satu individu, satu klasifikasi, atau bilangan tertentu. Dalam kajian ini, termasuk dalam pengertian Khash bila seluruh mekanisme teks memberikan pengertian khusus, walaupun secara harfiah satuan katanya menurut makna yang sebenarnya menunjuk pada makna umum.
Ulama ushul memberikan perincian perangkat bahasa yang dapat disimpulkan sebagai kata ‘am, dalam enam batasan:
• Kata “kullun”, “jami’” dan “kaffah” atau lainnya yang menunjukkan universalitas maknanya, apakah kata itu menjadi permulaan kalimat atau muncul sebagai keterangan
Semua yang ada di bumi itu akan binasa.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam damai secara keseluruhan,
Kata “kullun” sendiri disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 245 kali, kata “jraami’” sebanyak 52 kali, tidak seluruhnya mengandung pengertian umum, yaitu pada QS. 54: 44, dan 26: 56 yang diterjemahkan sebagai satu golongan yang bersatu.
• Semua kata penghubung (asma al-maushul, relative pronoun)
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api,
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.
• Kata ayyun, ma dan man, (mana/apa/siapa), baik sebagai kata syarat, kata tanya atau kata penghubung.
Barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).
Dalam Al-Qur’an kata ayyun disebutkan sebanyak 6 kali, kata ma 1011 kali (mungkin banyak diantarannya yang bermakna ma-nafi) dan man sebanyak 393 kali.
• Kata benda kategorial (isim jinis) yang difinite (mu’arraf) baik dengan partikel alif-lam (al-) atau dengan kasus idhafah (possessive), baik kata benda itu berbentuk tunggal (mufrad), ataupun berbentuk plural (jamak)
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
• Kata plural (jamak) yang dikongkritkan dengan kata ganti (dhamir)
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
• Kata benda tak tertentu (indefinite/nakirah) dalam konteks larangan, negasi, dan syarat (kondisional) dan dalam konteks pemberian anugerah
Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya.
Konsep Ayat ‘am dan Khash
Pada sisi lain, Ulama Ushul mengembangkan klasifikasi bentuk ayat ‘am, ke dalam tiga kelas:
Kata ‘am dengan maksud umum, yaitu setiap kata ‘am dengan indikasi (qarinah) tidak adanya sesuatu yang dapat membuatnya menjadi khusus (takhsish).
Dan tidak ada suatu binatang melata-pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.
Kata ‘am dengan maksud khusus, setiap kata ‘am dengan indikasi tidak tetap dalam keumumannya. Ini disebut dengan model takhsish “rasional kontinuitas” dengan “akal” kita dalam memahami “konteks rasional” (siyaq al-kalam) suatu ayat.
(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka. (Alu Imran 173)
Struktur ayat di atas menegaskan kekhususan dari acuan masing-masing kata an-nas, bahwa an-nas yang mengatakan bukan an-nas yang menjadi sasaran bicara. Huruf alif dan lam pada kedua kata an-nas tidak menunjuk pengertian jenis (ism jinis) tapi menunjukkan benda yang sudah diketahui (li al-‘ahdi).
Kata ‘am yang dikhususkan (mukhassash), bila tidak ada indikasi kekhususan maknanya dan tetap pada keumumannya hingga ditemukan bukti lain yang menunjukkan kekhususannya. Dalam hal ini, perangkat takhsish (dalil at-takhsish) yang digunakan berupa kata verbal bersambung (munfashilah) dan terpisah (mustaqillah).
Untuk perangkat yang bersambung ditentukan lima gejala;
a. pengecualian (istitsna’),
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.
b. atribut (sifat/wasf)
Dan pasangan-pasanganmu yang telah kamu campuri.
c. kondisional (syarat)
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf.
d. kehinggaan (ghayah),
dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.
e. mengganti sebagian dari keseluruhan (badal ba’dl min kul),
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Sementara untuk perangkat yang terpisah, antara lain;
a. rasionalitas (akal),
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Kata manusia (an-nas) adalah kata umum, namun maksudnya adalah khusus untuk mereka yang mukallaf, dan bukan yang masih kecil, atau orang gila.
b. Kebiasaan (‘urf)
Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun, dimana pada realitanya tidak semua ibu dapat melaksanakannya.
c. Bukti teks yang lain (nash).
Maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta untuk menyempurnakannya.
Yang ditakhsish dengan ayat
Wanita-wanita yang ditalak hendaknya menunggu hingga tiga kali quru’.
Beberapa sudut yang membedakan tipe kedua ungkapan ‘am yang dimaksud khash dan tipe ketiga ‘am yang di-takhsish, secara semantik dapat digambarkan sebagai berikut:
Mengenai poin ketiga tentang perangkat takhsish, dimana tipe ketiga dalam perangkat yang terpisah menunjuk pada perangkat rasionalitas (‘aqliyah) yang ini sama dengan perangkat bersambung untuk tipe kedua. Menurut hipotesa penulis, untuk tipe ketiga, rasionalitas hanyalah perangkat yang “bersifat verbal” terpisah dan tidak mungkin bersambung dengan ungkapan ‘am, artinya, pada mulanya ungkapan itu murni universal dalam makna sebenarnya (hakiki), sebelum kemudian ditemukan perangkat yang menjadikannya khusus berupa rasional terpisah. Ini juga berarti bahwa dalam satu kasus ungkapan ‘am yang kemudian menjadi khash karena gejala rasionalitas dapat dikategorikan kedalam tipe kedua bila dinilai bersambung, atau tipe ketiga bila dinilai terpisah.
Mekanisme Ayat Mutlak dan Ayat Muqayyad
Mutlak dan Muqayyad adalah mekanisme hubungan antara ayat ‘am dan ayat khash bila kemudian dilakukan proses takhsish model “lain”, yaitu dengan menghadapkan seluruh bentuk keumuman dan kekhususan. Patokannya adalah jika Allah memutuskan sesuatu dengan suatu sifat atau syarat (muqayyad bi as-sifat wa as-syarat) kemudian muncul hukum yang lain secara mutlak, maka harus dipertimbangkan;
Jika ia tidak memiliki dasar yang dijadikan rujukannya kecuali hukum yang muqayyad tersebut, maka ia harus dibatasi dengan yang muqayyad.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…
….. maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
Dalam ayat ini, ketentuan mengusap tangan dalam tata cara tayammum adalah ungkapan mutlak, tidak dibatasi sampai kesiku (ila al-marafiq) seperti pada tata cara wudhu. Dalam kasus ini ketentuan dalam tayammum yang mutlak dikembalikan kepada yang muqayyad dalam wudhu.
Dan jika ia memiliki dua dasar atau lebih dari itu, yang berbeda pembatasan takhsish-nya, maka ia harus dibiarkan dalam ke-mutlakan-nya.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah.
Ayat ini mengharuskan puasa dilakukan secara berkesinambunga tidak terputus, sebaliknya ayat berikut;
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali
ayat ini mengharuskan puasa dilakukan terpisah. Maka ayat yang mutlak berikut harus dibelakukan ke-mutlakakan-nya;
Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffarat-nya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgarnya).
Dimana ayat ini, bersifat mutlak, tidak mengharuskan puasa dilakukan berkesinambungan atau terpisah.
Definisi konsep “’am” dalam ilmu ushul al-fiqh, Abdul Wahab Khalaf, hlm 181
Bandingkan dengan Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, hlm 191
Lihat Subhi Shalih, Membahas Ilm Al-Qur’an, hlm 435-437, bandingkan dengan Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, hlm 182-183, dan Nasr Hamid Abu Yazid, Tekstualitas Al-Qur’an, hlm 248-249
QS. 55 ar-Rahman, 26
QS. 2 al-Baqarah, 208
QS. 2 al-Baqarah, 17
QS. 4 an-Nisa’, 16
QS. 10 Yunus, 26
QS. 25 al-Furqan, 68
QS. 5 al-Ma’idah, 38
QS. 23 al-Mu’minun, 1
QS. 9 at-Taubah, 103
QS, 15 al-Hijr, 21
QS. 11 Huud, 6
Nasr Hamid, hlm 261
QS. 3 Ali Imran, 173
Nasr Hamid, hlm 129
QS. 28 al-Qashash, 88
QS. 4 an-Nisa’, 23
QS. 2 al-Baqarah, 180
QS. 2 al-Baqarah, 222
QS. 3 Ali Imran, 97
QS. 3 Ali Imran, 97
QS. 2 al-Baqarah, 233
QS. 33 al-Ahzab, 49
QS. 2 al-Baqarah, 228
Lihat as-Suyuthi, hlm 42-43
Lihat Khalaf, yang menyebutkan satu kasus dalam kedua tipe, hlm 185 dan 188
Az-Zarkashi, hlm 15 dengan sedikit modifikasi
QS. 5 al-Maidah, 6
QS. 4 an-Nisa, 92
QS. 2 al-Baqarah, 196
QS. 5 al-Maidah, 89
0 Response to "‘AM & KHASH"
Post a Comment