HERMENEUTIKA Dalam Tradisi Klasik

HERMENEUTIKA Dalam Tradisi Klasik
Senin, 06 Agustus 2007 18:34 KH. Husein Muhammadth. 2005 edisi 06
Salah satu tema krusial yang kemudian melahirkan kontroversi di kalangan masyarakat muslim adalah “Hermeneutika”. Dalam Muktamar NU ke 31 di Donohudan Solo beberapa bulan lalu pembahasan ini memicu kontroversi cukup panas. Sebagian peserta menolaknya. Demikian juga sebagai masyarakat muslim di luar NU. Alasan yang muncul ke permukaan adalah bahwa menurut mereka istilah ini berasal dari Barat dan merupakan cara menafsirkan bible (injil).
Agak sulit dimengerti jika penolakan terhadap hermeneutika tersebut hanya didasarkan pada bahwa ia berasal dari Barat. Karena sesungguhnya kita telah menerima begitu banyak istilah asing, non Arab termasuk dari negeri Barat seperti demokrasi, pluralitas, nasionalisme dan lain-lain. Istilah-istilah ini bahkan telah menjadi sistem kehidupan di negeri kita. Pada sisi lain masyarakat kita juga telah mengkonsumsi produk-produk negara asing tersebut. Akan lebih arif jika ia dipahami maknanya lebih dulu lalu dikritisi dengan cara-cara yang lebih santun dan ilmiah.
Hermeneutika memang istilah asing, bukan bahasa Arab dan tidak terdapat dalam teks-teks keagamaan Islam. Ia berasal dari bahasa Yunani; hermeneuein dan dalam bahasa Inggris disebut hermeneutic. Secara literal ia berarti memahami, menafsirkan atau menerjemahkan kata-kata atau ucapan. Pada awalnya istilah ini digunakan untuk memahami atau mengartikan kata-kata Tuhan dalam kitab suci Injil. Tetapi kemudian berkembang menjadi istilah untuk menafsirkan dan memahami berbagai teks atau tulisan. Jadi hermeneutik sesungguhnya adalah teori tentang penafsiran. Dalam diskursus Islam ia adalah tafsir, takwil, bayan, syarh dan sebutan lainnya. Dalam kajian ushul al fiqh cara atau teori memahami atau menafsirkan teks-teks al Qur-an, hadits atau sumber lainnya dikenal dengan istilah “al istidlal bi al alfazh”.
Tetapi berbeda dengan analisis tradisional yang lebih menekankan pada aspek “lafaz”, kajian Hermeneutik memandang bahwa sebuah kalimat, apapun bentuknya, selalu mengandung tiga hal: orang yang menyampaikan atau mengatakannya (mutalaffizh/mutakallim), bahasa itu sendiri (teks/'ibarah) dan orang yang diajak bicara, penerima atau pembaca (mutalaqqi/sami'). Inilah prinsip-prinsip yang ada dalam analisis Hermeneutis .
Dalam khazanah Islam klasik kajian mengenai perlunya memahami hal-hal tersebut sudah lama dikemukakan oleh para ulama. Di dalam kajian ilmu tafsir atau ilmu ushul fiqh, para ulama membahas tentang makna suatu lafaz yang ada dalam al Qur-an. Mereka memperkenalkan sejumlah istilah misalnya lafaz “musytarak”, “majaz” “naql”, “idhmar”, “am” “khash” “muthlaq”, “muqayyad” dan sebagainya. Hal ini juga dikemukakan oleh Ibnu Qutaibah al Dinawari. Katanya: “Kalimat dalam bahasa Arab mengandung bentuk majaz (metafora), isti'arah, tamtsil (perumpamaan), qalb (pembalikan), taqdim (didahuklukan), ta'khir (diakhirkan), hadzf (dibuang), tikrar (pengulangan), ikhfa (samar) izh-har (jelas), mukhathabah al wahid mukhathabah al jami' (berbentuk kata tunggal tetapi untuk banyak orang) atau al jami' khithab wahid (kata jama', tetapi dimaksudkan untuk seorang), al wahid wa al jami' khithab al itsnain (bentuk kata tunggal atau banyak tetapi ditujukan untuk dua orang), al qashd bi lafzh al khushsush li ma'na al umum (kata untuk orang tertentu, tetapi dimaksudkan untuk umum), atau lafzh al umum li ma'na al khushush (kata berbentuk umum tetapi maksudnya untuk orang tertentu”.(Takwil Musykil al Qur-an, hlm. 78-79).
Itulah yang dimaksud Ali bin Abi Thalib: “al Qur-an hammalu awjuhi” (al Qur-an mengandung berbagai dimensi). Pada sisi lain kita juga menemukan banyak kata dalam al Qur-an yang tidak hanya bisa dimaknai secara harfiyah. Misalnya “Yadullah”, “Baitullah” “Wajhu rabbik” dan lain-lain yang disebut sebagai “ayat-ayat mutasyabihat”. Dalam pandangan kaum sunni Asy'ari, ayat-ayat ini bisa ditakwil sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesan menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
Namun demikian, analisis Hermeneutika melangkah lebih jauh dari itu. Imam Al Syathibi dalam bukunya yang terkenal “al Muwafaqat” berpendapat bahwa untuk memahami pernyataan-pernyataan al Qur-an tidak cukup hanya dengan mengerti makna lahiriahnya saja tetapi harus juga memahami konteks yang menyertainya maupun konteks di luarnya yang disebutnya sebagai “muqtadhyat al ahwal”. Ia mengatakan: “mengetahui makna dan kejelasan al Qur-an dan memahami maksud kalimat (uslub) bahasa Arab yang indah dengan mana al Qur-an diturunkan, tergantung kepada bentuk/kondisi kata-kata (hal al khithab) dari aspek bahasa itu sendiri (nafs al khitab), situasi/kondisi penyampainya (hal al mukhathib) dan keadaan pembacanya (hal mukhathab) atau ketiga-tiganya. Hal ini karena sebuah pernyataan (khithab) bisa dipahami secara berbeda-beda tergantung pada keadaan teks itu sendiri, pada keadaan pembacanya dan pada keadaan lainnya. Sebuah kalimat pertanyaan (istifham) bisa memiliki sejumlah arti lain; bisa untuk menegaskan (taqrir) atau mencela (taubikh). Kalimat perintah (amr) bisa juga bermakna boleh (ibahah), ancaman (tahdid), mencela (taubikh) dan lain-lain. Berbagai perbedaan makna ini hanya dapat diketahui melalui kondisi-kondisi di luar bahasa itu sendiri”. Syathibi, selanjutnya mengatakan bahwa tidak setiap kondisi dapat dialihkan dan tidak setiap kondisi senantiasa menyertai teks yang dialihkan tersebut. Jika kita gagal memahami konteksnya, kita tidak dapat memahami pernyataan tersebut dengan baik.dan tepat”. (III/hlm. 347).
Menurut al Syathibi ketidak mengertian kita tentang konteks (asbab al nuzul/wurud) dari sebuah pernyataan akan melahirkan kesalahpahaman dan kesulitan-kesulitan tersendiri bahkan juga bisa menimbulkan konflik. Ada sebuah kisah yang menarik. Suatu hari Umar merenung di tempat sepi dan berbicara sendiri; “mengapa umat ini berbeda-beda padahal nabinya satu dan kiblatnya juga satu”. Manakala demikian Ibnu Abbas mengatakan; “Amir al Mukminin, Kitab suci diturunkan kepada kita, lalu kita membacanya dan kita mengetahui situasinya. Kelak sesudah kita umat Islam membaca al Qur-an dan mereka tidak mengetahui konteksnya. Mereka lalu berbeda pendapat. Tidak jarang mereka kemudian saling membunuh”. Mendengar ini Umar gusar dan menyuruh Ibnu Abbas pulang. Tetapi Umar terus merenungi kata-katanya. Tidak lama kemudian Ibnu Abbas dimintanya mengulangi ucapannya. Begitu selesai Umar mengakui dan mengagumi pikiran Ibnu Abbas.
Demikianlah, maka hermeneutika sesungguhnya bukanlah sesuatu yang asing dalam diskursus Islam. Analisis ini dimaksudkan sebagai cara atau usaha manusia untuk dapat memahami maksud utama sebuah pernyataan (khitab). Al Syathibi menyebutnya sebagai “maqashid al Syari'ah” dan ini berarti kemaslahatan manusia. Para ulama klasik dengan pandangan dan pikirannya yang berbeda-beda sesungguhnya juga tidak lepas dari tanggungjawabnya mewujudkan tujuan tersebut melalui cara menafsirkan atau mentakwilkan teks-teks suci yang juga dilakukan secara berbeda-beda. Tetapi pepatah mengatakan: “likulli maqal maqam wa li kulli maqam maqal” (setiap wacana ada tempatnya sendiri dan setiap tempat ada wacananya sendiri).[]

Sonie Elbalarjani Muta'alim, Mahasiswa, Santri

0 Response to "HERMENEUTIKA Dalam Tradisi Klasik"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel