Muthlaq dan Muqayyad

A.      Pengertian dari Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah  ayat yang secara eksplisit/harfiah  memberi petunjuk tekstual apa adanya tanpa dibatasi oleh batasan tertentu, ayat tersebut berlaku secara umum.
Contoh:)   (شائع فى جنس العبد مؤمنهم و كافرهم على سواء تحرير رقبة
Sedangakan kata “Muthlaq Menurut Ulama Ushul ialah:
لَفْظٌ خَاصٌّ لَمْ يُقَيَّدْ بِقَيْدٍ لَفْظِيٍّ يُقَلِّلُ شُيُوْعَهُ
Suatu lafadz tertentu yang belum ada kaitan atau batasan dengan lafadz lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Misalkan kata: siswa, buku, binatang, burung dan lain sebagainya. Lafadz-lafadz tersebut adalah untuk menyatakan kesatuan dari suatu jenisnya termasuk aman saja tanpa dibatasi oleh apa dan bagaimana satuan ini. Bila telah dibatasi oleh lafadz lain misalnya “binatang mamalia”, “burung kakaktua”, “buku tulis”, dan lain-lain. Maka lafadz tersebut telah menjadi lafadz muqayyad yang artinya luas jangkauanya telah terbatas sedikit daripada ketika lafadz tersebut masih dalam keadaan muthlaq.
Dengan demikian lafadz muqayyad dapat dikatakan:
لَفْظٌ خَاصٌّ قُيِّدَ بِقَيْدٍ لَفْظِيٍّ يُقَلِّلُ شُيُوْعَهُ
Suatu lafadz tertentu yang ada kaitan atau batasan dengan lafadz lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Dengan kata lain sebenarnya lafadz muqayyad ialah lafadz muthlaq yang diberikan kaitan dengan lafadz lain sehingga artinya lebih tegas dan terbatas. Walaupun demikian, keterbatasan lafadz muqayyad seperti contoh di atas itu tidak pula menghilangkan jangkauannya kepada sifat-sifat lain, artinya sifat-sifat yang lain masih ada padanya, contohnya: siswa SMP Ali Maksum Yogyakarta, buku pelajaran Geografi. Untuk lebih jelasnya perhatikan firman allah di bawah ini:
وَالَّذِيْنَ يُظٰهِرُوْنَ مِنْ نِسَآئِهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُ وْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَآسَّا ذٰلِكُمْ تُوْعَظُوْنَ بِهِ وَ اللهُ بِمَا تَعْلَمُوْنَ خَبِيْرٌ. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَآسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَاِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا* ﴿المجادلة؛ 3-4﴾.
“ Orang-orang yang menzhihar istri mereka kemudian hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu sekalian kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan budak maka wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka barang siapa yang tidak kuasa wajiblah atasnya memberi makan enam puluh orang miskin. (Al-Mujadalah: 3-4).
Penyebutan lafadz رقبة , dalam ayat tersebut adalah muthlaq maka boleh budak yang kafir atau yang mu’min. Sedang penyebutan lafadz شهرين متتابعين adalah muqayyad maka puasa harus berturut-turut selama dua bulan, tidak boleh terputus-putus.[1]
Pembagian Muthlaq dan Muqoyad
1.    أن يتحد السبب والحكم كالصيام فى كفارة اليمين
2.    أن يتحد السبب ويختلف الحكم, كالأيدى فى الوضؤ والتيمم, قيد غسل الأيدى فى الوضؤ إلى المرافق
3.    أن يختلف السبب ويتحد الحكم, كعتق الرقبة فى الكفارة, ورد اشتراط الإيمان فى الرقبة
4.    أن يختلف السبب و يختلف الحكم, كاليد فى الوضؤ والسرقة

B.       Beristinbath Menggunakan Kaidah Muthlaq dan Muqayyad
Nash yang muthlaq hendaknya tetap dipegang sesuai dengan sifat muthlaqnya itu, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Demikian juga nash yang muqayyad harus dipegang sesuai dengan sifat muqayyadnya itu.
Apabila dalam suatu nash khithab datang bersifat muthlaq tetapi dalam nash lain bersifat muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan menurut para ‘ulama:
1.    Jika persoalan dan hukum dalam nash itu sama serta keadaan muthlaq dan muqayyad terletak pada hukum, maka harus berpegang pada yang muqayyad. Seperti ada seorang sahabat yang bersetubuh dengan istrinya sang hari pada bulan Ramadhan, kemudian menyampaikan masalah ini kepada nabi . Ia berkata إنِّي أفْطَرْتُ في رَمَضَانَ , mendengar kata-kata itu (dalam suatu riwayat) nabi  bersabda:
اِعْتِقْ رَقَبَةً أَوْ صُمْ شَهْرَيْنِ أوْ اَطْعِمْ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا.
Merdekakanlah seorang hamba sahaya, atau berpuasalah dua bulan atau berilah makan enam puluh fakir miskin.
Namun dalam riwayat lain nabi  bersabda:
فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَينِ مُتَتَابِعَيْنِ؟
Apakah engkau sanggup berpuasa selama dua bulan berturut-turut?
Dalam hadits pertama tidak disebutkan lafadz متتابعين (berturut-turut), berarti muthlaq. Sedang dalam hadits kedua disebutkan, berarti muqayyad. Maka yang dijadikan pegangan adalah hadits kedua, yaitu puasa dua bulan berturut-turut.
2.    Jika persoalannya berbeda dan hukumnya sama, maka menurut jumhur ‘ulama Syafi’iyyah wajib berpegang yang muqayyad. Seperti mengenai kifarat pembunuhan tersalah dan kifarat zhihar.
Mengenai kifarat pembunuhan tersalah, Allah U berfirman:
وَ مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَاءً فَتَحْريْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ...* ﴿النسآء؛ 92﴾.
Bagi siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…(An-Nisaa’: 92)
Sedang mengenai kifarat zhihar, Allah U berfiraman:
فَتَحْريْرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَآسَّا...* ﴿المجادلة؛ 3﴾.
Maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum keduanya bercampur...(Al-Mujadalah: 3).
Masalah yang ada dalam dua ayat tersebut berbeda, yaitu pada ayat pertama mengenai pembunuhan tersalah sedang pada ayat kedua tentang zhihar. Hukum terhadap kedua sama yaitu  memerdekakan hamba sahaya. Namun yang pertama disebutkan hamba sahaya yang beriman sedang yang kedua hanya hamba sahaya. Karenanya, yang dijadikan pegangan adalah memerdekakan hamba sahaya yang beriman, baik atas pembunuhan tersalah maupun zhihar.
3.    Jika persoalan sama dan hukum berbeda, maka menurut jumhur ‘ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah harus berpegang kepada yang muqayyad. Sedang menurut Malikiyyah dan Hanabilah harus berpegang kepada masing-masing, yaitu yang muthlaq harus muthlaq dan yang muqayyad harus muqayyad. Misalnya mengenai bersuci (dengan wudhu dan tayammum).
Dalam ayat wudhu dikatakan :
فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ...* ﴿المائدة؛ 6﴾.
Sedang dalam ayat tayammum dinyatakan :
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَ أَيْدِيْكُمْ مِنْهُ...* ﴿المائدة؛ 6﴾.
Batas membasuh atau mengusap dalam dua ayat di atas berbeda. Untuk wudhu sampai siku-siku (muqayyad) sedang tayammum tidak ada batasan (muthlaq). Karena itu, menurut jumhur ‘ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah yang harus dipegang adalah sampai batas siku-siku (muqayyad), baik wudhu maupun tayammum. Sedang menurut ‘ulama Malikiyyah dan Hanabilah untuk wudhu harus membasuh sampai siku-siku (muqayyad) dan untuk tayammum cukup mengusap sampai pergelangan tangan (muthlaq).
4.    Jika persoalan berbeda dan hukumnya berbeda pula, maka yang harus dijadikan pegangan adalah masing-masing, yang muthlaq sesuai dengan muthlaqnya dan yang muqayyad sesuai dengan muqayyadnya. Misalnya mengenai kifarat pembunuhan tersalah (an-Nisaa’: 92) dan kifarat sumpah (al-Maidah: 89).[2]



[1] Drs. H. Kamal Muchtar dkk. Ushul Fiqh. (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 54-55.

[2] Drs. H. M. Suparta, MA. Dan Drs. Djedjen Zainuddin, MA. Fiqh; Madrasah Aliyah Kelas 3. (Semarang: PT. Karya Toha Putra,  1996), hlm 206-210.
Sonie Elbalarjani Muta'alim, Mahasiswa, Santri

Related Posts

0 Response to "Muthlaq dan Muqayyad"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel