Muthlaq dan Muqayyad
Thursday, August 20, 2015
Add Comment
A. Pengertian
dari Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah ayat yang secara eksplisit/harfiah memberi petunjuk tekstual apa adanya tanpa
dibatasi oleh batasan tertentu, ayat tersebut berlaku secara umum.
Contoh:) (شائع فى جنس العبد مؤمنهم
و كافرهم على سواء تحرير رقبة
Sedangakan kata “Muthlaq” Menurut Ulama Ushul
ialah:
لَفْظٌ خَاصٌّ لَمْ
يُقَيَّدْ بِقَيْدٍ لَفْظِيٍّ يُقَلِّلُ شُيُوْعَهُ
Suatu lafadz tertentu yang belum ada kaitan atau
batasan dengan lafadz lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Misalkan kata: siswa, buku, binatang, burung dan lain
sebagainya. Lafadz-lafadz tersebut adalah untuk menyatakan kesatuan dari suatu
jenisnya termasuk aman saja tanpa dibatasi oleh apa dan bagaimana satuan ini.
Bila telah dibatasi oleh lafadz lain misalnya “binatang mamalia”, “burung
kakaktua”, “buku tulis”, dan lain-lain. Maka lafadz tersebut telah menjadi lafadz
muqayyad yang artinya luas jangkauanya telah terbatas sedikit daripada
ketika lafadz tersebut masih dalam keadaan muthlaq.
Dengan demikian lafadz muqayyad
dapat dikatakan:
لَفْظٌ خَاصٌّ قُيِّدَ
بِقَيْدٍ لَفْظِيٍّ يُقَلِّلُ شُيُوْعَهُ
Suatu lafadz tertentu yang ada kaitan atau batasan
dengan lafadz lain yang mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Dengan
kata lain sebenarnya lafadz muqayyad ialah lafadz muthlaq yang
diberikan kaitan dengan lafadz lain sehingga artinya lebih tegas dan terbatas.
Walaupun demikian, keterbatasan lafadz muqayyad seperti contoh di atas
itu tidak pula menghilangkan jangkauannya kepada sifat-sifat lain, artinya
sifat-sifat yang lain masih ada padanya, contohnya: siswa SMP Ali Maksum
Yogyakarta, buku pelajaran Geografi. Untuk lebih jelasnya perhatikan firman
allah di bawah ini:
وَالَّذِيْنَ
يُظٰهِرُوْنَ مِنْ نِسَآئِهِمْ ثُمَّ يَعُوْدُ وْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِيْرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَآسَّا ذٰلِكُمْ تُوْعَظُوْنَ بِهِ وَ اللهُ بِمَا
تَعْلَمُوْنَ خَبِيْرٌ. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَآسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَاِطْعَامُ سِتِّيْنَ
مِسْكِيْنًا* ﴿المجادلة؛
3-4﴾.
“ Orang-orang
yang menzhihar istri mereka kemudian hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu sekalian kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan
budak maka wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya
bercampur. Maka barang siapa yang tidak kuasa wajiblah atasnya memberi makan
enam puluh orang miskin. (Al-Mujadalah:
3-4).
Penyebutan lafadz رقبة , dalam ayat tersebut adalah muthlaq
maka boleh budak yang kafir atau yang mu’min. Sedang penyebutan lafadz شهرين
متتابعين
adalah muqayyad maka puasa harus berturut-turut selama dua bulan, tidak
boleh terputus-putus.[1]
Pembagian Muthlaq dan
Muqoyad
1.
أن يتحد السبب والحكم كالصيام فى كفارة اليمين
2.
أن يتحد السبب ويختلف الحكم, كالأيدى فى الوضؤ والتيمم, قيد غسل
الأيدى فى الوضؤ إلى المرافق
3. أن
يختلف السبب ويتحد الحكم, كعتق الرقبة فى الكفارة, ورد اشتراط
الإيمان فى الرقبة
4. أن
يختلف السبب و يختلف الحكم, كاليد فى الوضؤ والسرقة
B. Beristinbath
Menggunakan Kaidah Muthlaq dan Muqayyad
Nash yang muthlaq hendaknya tetap dipegang sesuai dengan sifat muthlaqnya itu,
selama tidak ada dalil yang membatasinya. Demikian juga nash yang muqayyad
harus dipegang sesuai dengan sifat muqayyadnya itu.
Apabila
dalam suatu nash khithab datang bersifat muthlaq
tetapi dalam nash lain bersifat muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan
menurut para ‘ulama:
1. Jika
persoalan dan hukum dalam nash itu sama serta keadaan muthlaq dan muqayyad
terletak pada hukum, maka harus berpegang pada yang muqayyad. Seperti
ada seorang sahabat yang bersetubuh dengan istrinya sang hari pada bulan
Ramadhan, kemudian menyampaikan masalah ini kepada nabi . Ia berkata إنِّي
أفْطَرْتُ في رَمَضَانَ , mendengar kata-kata itu (dalam suatu
riwayat) nabi bersabda:
اِعْتِقْ
رَقَبَةً أَوْ صُمْ شَهْرَيْنِ أوْ اَطْعِمْ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا.
Merdekakanlah
seorang hamba sahaya, atau berpuasalah dua bulan atau berilah makan enam puluh fakir
miskin.
Namun
dalam riwayat lain nabi bersabda:
فَهَلْ
تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَينِ مُتَتَابِعَيْنِ؟
Apakah
engkau sanggup berpuasa selama dua bulan berturut-turut?
Dalam
hadits pertama tidak disebutkan lafadz متتابعين (berturut-turut),
berarti muthlaq. Sedang dalam hadits kedua disebutkan, berarti muqayyad.
Maka yang dijadikan pegangan adalah hadits kedua, yaitu puasa dua bulan
berturut-turut.
2. Jika
persoalannya berbeda dan hukumnya sama, maka menurut jumhur ‘ulama Syafi’iyyah
wajib berpegang yang muqayyad. Seperti mengenai kifarat pembunuhan
tersalah dan kifarat zhihar.
Mengenai
kifarat pembunuhan tersalah, Allah U
berfirman:
وَ
مَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَاءً فَتَحْريْرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ...* ﴿النسآء؛ 92﴾.
Bagi siapa yang membunuh seorang mukmin karena
tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…(An-Nisaa’: 92)
Sedang mengenai kifarat zhihar, Allah U berfiraman:
فَتَحْريْرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَآسَّا...* ﴿المجادلة؛ 3﴾.
Maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
sebelum keduanya bercampur...(Al-Mujadalah:
3).
Masalah yang ada dalam dua ayat tersebut berbeda, yaitu pada ayat
pertama mengenai pembunuhan tersalah sedang pada ayat kedua tentang zhihar.
Hukum terhadap kedua sama yaitu memerdekakan
hamba sahaya. Namun yang pertama disebutkan hamba sahaya yang beriman sedang
yang kedua hanya hamba sahaya. Karenanya, yang dijadikan pegangan adalah
memerdekakan hamba sahaya yang beriman, baik atas pembunuhan tersalah maupun zhihar.
3. Jika persoalan sama dan hukum berbeda, maka menurut
jumhur ‘ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah harus berpegang kepada yang muqayyad.
Sedang menurut Malikiyyah dan Hanabilah harus berpegang kepada masing-masing,
yaitu yang muthlaq harus muthlaq dan yang muqayyad harus muqayyad.
Misalnya mengenai bersuci (dengan wudhu dan tayammum).
Dalam
ayat wudhu dikatakan :
فَاغْسِلُوْا
وُجُوْهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ...* ﴿المائدة؛ 6﴾.
Sedang
dalam ayat tayammum dinyatakan :
فَامْسَحُوْا
بِوُجُوْهِكُمْ وَ أَيْدِيْكُمْ مِنْهُ...* ﴿المائدة؛ 6﴾.
Batas membasuh atau mengusap dalam dua ayat di atas berbeda. Untuk wudhu
sampai siku-siku (muqayyad) sedang tayammum tidak ada batasan (muthlaq).
Karena itu, menurut jumhur ‘ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah yang harus
dipegang adalah sampai batas siku-siku (muqayyad), baik wudhu maupun
tayammum. Sedang menurut ‘ulama Malikiyyah dan Hanabilah untuk wudhu harus
membasuh sampai siku-siku (muqayyad) dan untuk tayammum cukup mengusap
sampai pergelangan tangan (muthlaq).
4. Jika
persoalan berbeda dan hukumnya berbeda pula, maka yang harus dijadikan pegangan
adalah masing-masing, yang muthlaq sesuai dengan muthlaqnya dan
yang muqayyad sesuai dengan muqayyadnya. Misalnya mengenai kifarat pembunuhan tersalah (an-Nisaa’:
92) dan kifarat sumpah (al-Maidah: 89).[2]
[2] Drs. H. M. Suparta, MA. Dan Drs. Djedjen Zainuddin, MA. Fiqh;
Madrasah Aliyah Kelas 3. (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1996), hlm 206-210.
0 Response to "Muthlaq dan Muqayyad"
Post a Comment