KRITIK NALAR DALAM STUDI HUKUM ISLAM: SEBUAH PENGANTAR 1

KRITIK NALAR DALAM STUDI HUKUM ISLAM: SEBUAH PENGANTAR
1
Oleh:
Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si
2
Judul ini saya pilih bukan tanpa alasan. Jujur judul ini dipilih berangkat
dari pengalaman pribadi ketika nyantri di beberapa pesantren dan ketika aktif di
berbagai  kelompok  diskusi  di  UIN  Sunan  Kalijaga,  pascasarjana  UGM  dan
program  Doktor  Ilmu  Hukum  serta  ketika  penulis  menjadi  Hakim  pada
Pengadilan  Agama.  Juga  karena  pengalaman  tersebut,  judul  ini   --setidaknya
menurut saya-- sangat penting untuk didiskusikan dewasa ini oleh para pecinta
hukum.
Mengapa? saya melihat saat ini lulusan pesantren cenderung unggul di
bidang tradisi Islam klasik, tapi cenderung lemah di bidang penguasaan tradisi
Islam kontemporer. Sebaliknya, intelektual kampus cenderung unggul di bidang
tradisi Islam kontemporer, tapi kebanyakan lemah dan tidak menguasai tradisi
Islam klasik.
Kecenderungan  itu  juga  nampak  dalam  Pengadilan  Agama.  Umumnya
Hakim Pengadilan Agama yang  background keilmuannya didominasi pesantren
juga cenderung unggul di bidang tradisi hukum Islam klasik, tapi lemah dalam
tradisi  hukum  Islam  dan  hukum  kontemporer.  Hakim  yang  hanya  lulus  dari
fakultas hukum tanpa pernah  nyantricenderung unggul di bidang tradisi hukum
kontemporer, tapi kebanyakan lemah dan tidak menguasai tradisi hukum Islam
klasik. Konsekuensinya, pertimbangan hukum dalam putusan yang dibuat hakim
sangat dipengaruhi oleh pola pikir berat sebelah seperti diatas.
Memang ada beberapa Hakim, santri atau intelektual kampus yang mampu
menguasai kedua tradisi tersebut secara baik, tapi jumlahnya minoritas dan bisa
dihitung dengan jari. Padahal sinergi dua tradisi tersebut merupakan kebutuhan
1
  Makalah ini pernah  penulis sampaikan ketika menjadi  pemateri dalam  Studium
General Mahasiswa Baru STIT Pacitan tahun akademik 2006/2007, tanggal 22 september 2006.
Dengan berbagai revisi, penulis kirim ke www.badilag.netuntuk dimuat.
2
 Hakim  Pengadilan  Agama  Martapura,  Alumni  Sekolah  Pascasarjana  UGM
Yogyakarta,  saat  ini  sedang  menyelesaikan  studi  pada  Universitas  17  Agustus  1945  (Untag)
Surabaya.
mendesak untuk konstekstualisasi hukum Islam dan mengakhiri krisis pemikiran
hukum Islam saat ini.
Lebih-lebih,  belakangan  ini  sering  muncul  kritik  bahwa  kajian  hukum
Islam  di  Indonesia  tidak  mempuyai  proyek  yang  jelas,  sehingga  arah  dari
pemikiran  yang  berkembang  juga  menjadi  tidak  jelas.  Bahkan  secara  sinis
intelektual  Indonesia  ada  yang  menyebut  “intelektual  musiman”  atau  (maaf)
“hangat-hangat tahi ayam”. Ketika sedang musim post modernisme atau post
tradisionalisme semua orang bicara tentang tema tersebut, di sana-sini digelar
berbagai diskusi tentang itu. Ketika tiba-tiba muncul isu Islam liberal,  civil socity,
gender  dan  sebagainya,  hampir  semua  orang  hangat  membicarakannya.
Singkatnya,  tidak  ada  sesuatu  yang  menjadi  “proyek  pemikiran  bersama”,
karenanya  pemikiran  Islam  di  Indonesia  belum  mampu  memberi  kontribusi
signifikan bagi kepentingan dunia Islam secara keseluruhan.
Sebenarnya pada akhir 80-an dan awal 90-an sudah mulai muncul arah
yang baik seperti tema tentang “pribumisasi hukum Islam” dan “hukum Islam
transformatif”, namun sayangnya tema ini surut tanpa sebab yang jelas. Bahkan
pada akhir 90-an dan sampai saat ini, energi kebangsaan kita seluruhnya banyak
tersedot untuk urusan politik, sehingga hampir-hampir tidak ada perkembangan
pemikiran yang berarti.
Kritik semacam ini bisa dipahami dan dilihat sebagai kegelisahan untuk
mewujudkan hukum Islam yang mempuyai kepedulian terhadap proyek-proyek
kemanusiaan. Untuk menuju kearah tersebut, satu hal yang tak dapat dihindari
adalah meninjau ulang metode kajian hukum Islam yang lebih mamayungi paham
ortodoksi  dan  memusuhi  paham  “islam  madzhab  kritis”.  Dalam  konteks  ini,
metodologi kajian yang mengedepankan kritik nalar (naqd al-aql) merupakan
salah  satu  alternatif  yang  layak  dipertimbangkan,  meskipun  harus  diakui,  ini
merupakan “proyek antara” dan tidak berpretensi menyelesaikan semua hal yang
berkaitan dengan metodologi studi hukum Islam. Meskipun demikian, hal ini
paling  tidak  bisa  mendorong  munculnya  pemikiran-pemikiran  baru  yang
bermanfaat  bagi  kemanusiaan.  Tulisan  ini  juga  tidak  bermaksud  membangun
sebuah metodologi baru, tetapi sekadar pemaparan umum menuju kritik nalar
dengan cara memberi bingkai atas kajian keislaman yang sudah dilakukan oleh
tokoh-tokoh yang concerndengan kritik nalar.
Tradisi Kritik dalam Islam
Tradisi kritik dalam Islam sebenaranya bukanlah hal yang baru, karena
kelahiran  Islam  di  dalamnya  mengandung  unsur  kritik,  yaitu  kritik  terhadap
kondisi  masyarakat  arab  jahiliyah  yang  sangat  membelenggu,  baik  belenggu
keyakinan,  keyakinan  atau  budaya  (Asghar,  1999).  Tardisi  keilmuan  Islam
sebenarnya sudah cukup lama mengenal tradisi kritik, yaitu sejak abad ke 3 H. hal
itu secara samar-samar dapat dilihat dengan munculnya ilmu mustalah hadis yang
didalamnya dikaji  ilmu jarh wa ta’dil,  ilm rijal al-hadits, kritik sanad, kritik
matan dan sebagainya (M. Khudlori, 1981). Dari sini bisa dipahami bahwa ada
potensi  kritisisme  dalam  tradisi  keilmuan  Islam.  Namun  sayangnya,  pada
perkembangan selanjutnya tradisi kritik tersebut tidak berkembang, bahkan ia
tidak  lagi  sebagai  instrumen  kritik  tapi  telah  ditempatkan  sebagai  penjaga
ortodoksi hadis.
Dalam ilmu al-Quran juga dikenal  asbab al-nuzul yang membicarakan
sebab-sebab turunnya ayat al-Quran. Namun sayangnya ilmu tersebut seolah telah
“mati”,  tidak  berkembang  karena  dianggap  tidak  terkait  dengan  histiorigrafi,
hermeneutika,  kritik  sejarah  dan  sebagainya.  Asbab  al-nuzul dipertimbangkan
hanya  sejauh  dan  dalam  pengertian  bahwa  peristiwa-peristiwa  itu  merupakan
keterangan-keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat.
Sebab peristiwa-peristiwa itu baukanlah tujuan atau syarat mutlak mengapa turun
wahyu. Dari sini kemudian memunculkan pemahaman bahwa pentingnya wahyu
terletak  pada  generalisasi  kata-kata  yang  digunakan,  bukan  pada  peristiwa
pewahyuan, sehingga muncul kaidah al-ibrah bi umum al-lafadz la bi khusus alsabab. Hal yang sama terjadi pada fiqih, ilmu teologi dan tasawuf. (Nasr Hamid
Abu Zaid, 1993; Rumadi, 2001).
Singkatnya, embrio ilmu kritis yang ada dalam Islam tidak berkembang,
tapi justru menjadi bagian dari proses ortodoksi ilmu keagamaan. Dalam bukubuku  sejarah  hukum  Islam  (tarikh  tasyri)  menunjukkan  bahwa  proses  ini
berlangsung dalam kurun waktu yang panjang yang pada akhirnya berujung pada
corak nalar Islam menjadi baku dan beku. Teks-teks Islam yang semula hidup,
dinamis  dan  terbuka  terhadap  semua  penafsiran  berubah  menjadi  tertutup.
Masalah-masalah  keagamaan  yang  semula  –meminjam  istilah  Muhammad
Arkoun—berada  dalam  wilayah  yang  terpikirkan  (thinkable)  berubah  menjadi
wilayah  tak  terpikirkan  (unthinkable),  sehingga  terjadi  pensakralan  terhadap
pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar al-dini) (M. Arkoun,1990; Rumadi, 2001).
Kenyataan demikian harus segera diubah, jika kita ingin mengangkat
agama  dari  ”kubangan”  sejarah.  Tentunya,  yang  perlu  dilakukan  adalah
memberikan ruang bagi tumbuhnya kritisisme dalam masyarakat islam, kemudian
segera  diikuti  dengan  pembongkaran  terhadap  merelativisasi  pemikiran  masa
lampau dengan melakukan kritik nalar. Upaya demikian pada tingkat tertentu
sudah  dimulai  oleh  pemikir-pemikir  kritis  seperti  Muhammad  Arkoun,
Muhammad Abid Aljabiri, Nasr Hamid abu Zayd, Hasan Hanafi adan sebagainya.
Masalah selanjutnya adalah bagaimana merawat tardisi kritik nalar tersebut dan
menjadikannya sebagai mainstreamkajian Islam.
Memahami Kritik Nalar
Kritik  nalar  dalam  istilah  filsafat  ilmu  bisa  disebut  sebagai  “kritik
epistimologi”, yaitu kritik terhadap metodologi yang melahirkan suatu ilmu. Oleh
karena  itu  munculnya  kritik  nalar  merupakan  respon  ketidakpuasan  atas
metodologi kajian Islam yang berkembang selama ini. Istilah “kritik epistimologi”
dalam konteks ini ditujukan pada seluruh bangunan keilmuan Islam yang dilihat
sebagai  produk  sejarah  pemikiran  keagamaan  biasa  yang  mempuyai  dimensi
relativisme. (M. Arkoun, 1990; al-Jabiri, 2000).
Muara  dari  proyek  kritik  nalar,  menurut  Arkoun,  adalah  memecah
kebekuan postulat-postulat keagamaan yang selama  ini  berada dalam  wilayah
yang  “tidak  terpikirkan”  (unthought)  yang  kemudian  menjadi  “tidak  dapat
dipikirkan” (unthinkable). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana
“kritik  nalar”  bisa  menjadi  metodologi  kajian  Islam?  Pertanyaan  ini  niscaya
muncul karena “kritik nalar” selama ini belum dipandang sebagai metode kajian
Islam, karena ia belum memiliki struktur standar yang bisa dijadikan pegangan.
Dan  tulisan  ini  tidak  bermaksud  menyusun  suatu  metodologi,  tapi  hanya
pemaparan umum saja bahwa kritik nalar bisa menjadi salah satu model alternatif
studi Islam untuk melakukan “lompatan tradisi” dari tradisi klasik dan tradisi
kontemporer.
Pola  semacam  ini  mengharuskan  Islam  didekati  sebagai  fenomena
historis, yaitu agama yang sudah dipraktekkan umatnya dalam sejarah. Ketika
wahyu  sudah  turun  ke  bumi,  pada  saat  yang  sama  ia  telah  menjadi  sejarah.
Artinya, wahyu yang melahirkan aspek-aspek normatif dalam islam bukan muncul
diruang  yang  hampa,  tapi  disekelilingnya  sudah  ada  suasana  sejarah  yang
melingkupi.  Jika  logika  ini  diteruskan,  akan  diperoleh  kesimpulan  bahwa
historisitas bisa melampui normativitas, bukan sebaliknya, normativitas melampui
historisitas.
Dalam  studi  Islam  konvensional  selama  ini  lebih  menekankan  pada
“normativitas melampui historisitas”, artinya realitas historis harus tunduk pada
ketentuan-ketentuan  normatif  yang  terdapat  dalam  teks  al-Quran  dan  Hadits.
Kalau  toh  di  sana  ada  kebebasan  berpikir,  kebebasan  itu  harus  tetap  tunduk
kepada teks, tidak bisa melampui teks (beyond the text). Oleh karena itu, jika
dalam  fiqh  dan  ushul  fiqh  ada  jargon  bahwa  yang  harus  diutamakan  dalam
penetapan  hukum  adalah  maqashid  al-syari’ah,  namun  dalam  prakteknya
perhatian utama dalam penerapan hukum adalah  maqashid al-lughah. Artinya,
sebuah  diktum  hukum  selama  dapat  dipertanggungjawabkan  secara  normatif
dianggap selesai, terlepas apakah diktum hukum itu mempuyai keterkaitan dengan
kemaslahatan manusia atau tidak. Dengan demikian kemaslahatan yang dikejar
bukan kemaslahatan manusia, tapi “kemaslahatan teks”.
Lebih jauh lagi, menurut al-Jabiri dalam upaya memperoleh pandangan
obyektif dalam mengkaji tradisi Islam maka sikap menjaga jarak antara subyek
dan  obyek  yang  diteliti  menjadi  sebuah  keniscayaan.  Untuk  itu,  al-Jabiri
menawarkan  tiga  jenis  pendekatan  yang  memungkinkan  tumbuh  tingkat
objektivisme dalam kajian tradisi. Pertama, metode strukturalis. Mengkaji tradisi
melalui  metode  ini  berarti  berangkat  dari  teks-teks  yang  dilihat  sebagaimana
adanya dan meletakkannya sebagai sebuah korpus, satu kesatuan sebuah sistem.
Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah meloklisir pemikiran produsen teks
(penulis, sekte atau aliran tertentu) pada satu fokus. Dalam kerangka ini tercakup
berbagai perubahan yang menggerakkan dan membatasi pemikiran produsen teks.
Kedua, analisis sejarah. Pendekatan ini berupaya untuk menghubungkan
pemikiran pemilik teks dalam lingkup sejarahnya, ruang lingkup budaya, politik
dan seterusnya. Hal ini penting paling tidak karena dua hal: keharusan memahami
historisitas dan genealogi pemikiran; keharusan menguji validitas dan kebenaran
logis konklusi pendekatan strukturalis. “validitas” di sini bukan berarti kebenaran
logis  karena  hal  ini  telah  menjadi  tujuan  strukturalisme,  tapi  lebih  sebagai
kemungkinan-kenungkinan  historis  (imkan  at-tarikh),  yaitu  kemungkinankemungkinan yang mendorong kita untuk mengetahui apa yang terungkap dalam
teks (said), apa yang tidak terkatakan (not said), apa saja yang dikatakan namun
tidak pernah terungkap (never said).
Ketiga, kritik ideologi. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengungkap
fungsi ideologi, termasuk fungsi sosial politik yang dikandung sebuah teks, atau
yang sengaja dibebankan kepada sebuah teks dalam sebuah sistem pemikiran
tertentu. Menyingkap fungsi ideologis sebuah teks klasik merupakana jalan untuk
menjadikan teks itu kontekstual dan dapat secara jelas diposisikan dalam konteks
sejarah tertentu.
Tiga pendekatan tersebut saling terkait satu dengan yang lain, dan sejauh
berkaitan  dengan  tradisi  dapat  dilakukan  secara  berurutan.  Namun  ketika
merumuskan  kesimpulan,  urutan  yang  lazim  digunakan  adalah  dimulai  dari
analisis historis, kritik ideologis dan akhirnya analisis strukturalisme (penjelasan
lebih  jauh  tentang  tiga  pendekatan  ini  bisa  dilihat  dalam  al-Jabiri,  Post
Tradisionalisme Islam, [Yogyakarta: LKiS, 2000]).
Catatan akhir
Akhirnya,  itulah  paparan  singkat  dan  pengantar  tentang  kritik  nalar
dalam studi hukum Islam. Karena singkat, tentu masih belujauh dari lengkap dan
banyak kekurangan sehingga butuh pengkajian lebih jauh lagi (bahkan mungkin
diperlukan kritik atas kritik nalar) agar bisa dipahami secara utuh sebagai sebuah
alternatif metode kritik (nalar) tradisi klasik dan tradisi kontemporer.
Kritik nalar (naqd al-aql) merupakan salah satu alternatif yang layak
dipertimbangkan,  meskipun  harus  diakui,  ini  merupakan  “proyek  antara”  dan
tidak berpretensi menyelesaikan semua hal yang berkaitan dengan metodologi
studi  keislaman.  Mekipun  demikian,  hal  ini  paling  tidak  diharapkan  bisa
mendorong  munculnya  pemikiran-pemikiran  baru  yang  bermanfaat  bagi
kemanusiaan. Sekian dan semoga bermanfaat!
Ba’da subuh
Sonie Elbalarjani Muta'alim, Mahasiswa, Santri

0 Response to "KRITIK NALAR DALAM STUDI HUKUM ISLAM: SEBUAH PENGANTAR 1"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel