KRITIK NALAR DALAM STUDI HUKUM ISLAM: SEBUAH PENGANTAR 1
Wednesday, August 19, 2015
Add Comment
KRITIK NALAR DALAM STUDI HUKUM ISLAM: SEBUAH PENGANTAR
1
Oleh:
Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si
2
Judul ini saya pilih bukan tanpa alasan. Jujur judul ini dipilih berangkat
dari pengalaman pribadi ketika nyantri di beberapa pesantren dan ketika aktif di
berbagai kelompok diskusi di UIN Sunan Kalijaga, pascasarjana UGM dan
program Doktor Ilmu Hukum serta ketika penulis menjadi Hakim pada
Pengadilan Agama. Juga karena pengalaman tersebut, judul ini --setidaknya
menurut saya-- sangat penting untuk didiskusikan dewasa ini oleh para pecinta
hukum.
Mengapa? saya melihat saat ini lulusan pesantren cenderung unggul di
bidang tradisi Islam klasik, tapi cenderung lemah di bidang penguasaan tradisi
Islam kontemporer. Sebaliknya, intelektual kampus cenderung unggul di bidang
tradisi Islam kontemporer, tapi kebanyakan lemah dan tidak menguasai tradisi
Islam klasik.
Kecenderungan itu juga nampak dalam Pengadilan Agama. Umumnya
Hakim Pengadilan Agama yang background keilmuannya didominasi pesantren
juga cenderung unggul di bidang tradisi hukum Islam klasik, tapi lemah dalam
tradisi hukum Islam dan hukum kontemporer. Hakim yang hanya lulus dari
fakultas hukum tanpa pernah nyantricenderung unggul di bidang tradisi hukum
kontemporer, tapi kebanyakan lemah dan tidak menguasai tradisi hukum Islam
klasik. Konsekuensinya, pertimbangan hukum dalam putusan yang dibuat hakim
sangat dipengaruhi oleh pola pikir berat sebelah seperti diatas.
Memang ada beberapa Hakim, santri atau intelektual kampus yang mampu
menguasai kedua tradisi tersebut secara baik, tapi jumlahnya minoritas dan bisa
dihitung dengan jari. Padahal sinergi dua tradisi tersebut merupakan kebutuhan
1
Makalah ini pernah penulis sampaikan ketika menjadi pemateri dalam Studium
General Mahasiswa Baru STIT Pacitan tahun akademik 2006/2007, tanggal 22 september 2006.
Dengan berbagai revisi, penulis kirim ke www.badilag.netuntuk dimuat.
2
Hakim Pengadilan Agama Martapura, Alumni Sekolah Pascasarjana UGM
Yogyakarta, saat ini sedang menyelesaikan studi pada Universitas 17 Agustus 1945 (Untag)
Surabaya.
mendesak untuk konstekstualisasi hukum Islam dan mengakhiri krisis pemikiran
hukum Islam saat ini.
Lebih-lebih, belakangan ini sering muncul kritik bahwa kajian hukum
Islam di Indonesia tidak mempuyai proyek yang jelas, sehingga arah dari
pemikiran yang berkembang juga menjadi tidak jelas. Bahkan secara sinis
intelektual Indonesia ada yang menyebut “intelektual musiman” atau (maaf)
“hangat-hangat tahi ayam”. Ketika sedang musim post modernisme atau post
tradisionalisme semua orang bicara tentang tema tersebut, di sana-sini digelar
berbagai diskusi tentang itu. Ketika tiba-tiba muncul isu Islam liberal, civil socity,
gender dan sebagainya, hampir semua orang hangat membicarakannya.
Singkatnya, tidak ada sesuatu yang menjadi “proyek pemikiran bersama”,
karenanya pemikiran Islam di Indonesia belum mampu memberi kontribusi
signifikan bagi kepentingan dunia Islam secara keseluruhan.
Sebenarnya pada akhir 80-an dan awal 90-an sudah mulai muncul arah
yang baik seperti tema tentang “pribumisasi hukum Islam” dan “hukum Islam
transformatif”, namun sayangnya tema ini surut tanpa sebab yang jelas. Bahkan
pada akhir 90-an dan sampai saat ini, energi kebangsaan kita seluruhnya banyak
tersedot untuk urusan politik, sehingga hampir-hampir tidak ada perkembangan
pemikiran yang berarti.
Kritik semacam ini bisa dipahami dan dilihat sebagai kegelisahan untuk
mewujudkan hukum Islam yang mempuyai kepedulian terhadap proyek-proyek
kemanusiaan. Untuk menuju kearah tersebut, satu hal yang tak dapat dihindari
adalah meninjau ulang metode kajian hukum Islam yang lebih mamayungi paham
ortodoksi dan memusuhi paham “islam madzhab kritis”. Dalam konteks ini,
metodologi kajian yang mengedepankan kritik nalar (naqd al-aql) merupakan
salah satu alternatif yang layak dipertimbangkan, meskipun harus diakui, ini
merupakan “proyek antara” dan tidak berpretensi menyelesaikan semua hal yang
berkaitan dengan metodologi studi hukum Islam. Meskipun demikian, hal ini
paling tidak bisa mendorong munculnya pemikiran-pemikiran baru yang
bermanfaat bagi kemanusiaan. Tulisan ini juga tidak bermaksud membangun
sebuah metodologi baru, tetapi sekadar pemaparan umum menuju kritik nalar
dengan cara memberi bingkai atas kajian keislaman yang sudah dilakukan oleh
tokoh-tokoh yang concerndengan kritik nalar.
Tradisi Kritik dalam Islam
Tradisi kritik dalam Islam sebenaranya bukanlah hal yang baru, karena
kelahiran Islam di dalamnya mengandung unsur kritik, yaitu kritik terhadap
kondisi masyarakat arab jahiliyah yang sangat membelenggu, baik belenggu
keyakinan, keyakinan atau budaya (Asghar, 1999). Tardisi keilmuan Islam
sebenarnya sudah cukup lama mengenal tradisi kritik, yaitu sejak abad ke 3 H. hal
itu secara samar-samar dapat dilihat dengan munculnya ilmu mustalah hadis yang
didalamnya dikaji ilmu jarh wa ta’dil, ilm rijal al-hadits, kritik sanad, kritik
matan dan sebagainya (M. Khudlori, 1981). Dari sini bisa dipahami bahwa ada
potensi kritisisme dalam tradisi keilmuan Islam. Namun sayangnya, pada
perkembangan selanjutnya tradisi kritik tersebut tidak berkembang, bahkan ia
tidak lagi sebagai instrumen kritik tapi telah ditempatkan sebagai penjaga
ortodoksi hadis.
Dalam ilmu al-Quran juga dikenal asbab al-nuzul yang membicarakan
sebab-sebab turunnya ayat al-Quran. Namun sayangnya ilmu tersebut seolah telah
“mati”, tidak berkembang karena dianggap tidak terkait dengan histiorigrafi,
hermeneutika, kritik sejarah dan sebagainya. Asbab al-nuzul dipertimbangkan
hanya sejauh dan dalam pengertian bahwa peristiwa-peristiwa itu merupakan
keterangan-keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat.
Sebab peristiwa-peristiwa itu baukanlah tujuan atau syarat mutlak mengapa turun
wahyu. Dari sini kemudian memunculkan pemahaman bahwa pentingnya wahyu
terletak pada generalisasi kata-kata yang digunakan, bukan pada peristiwa
pewahyuan, sehingga muncul kaidah al-ibrah bi umum al-lafadz la bi khusus alsabab. Hal yang sama terjadi pada fiqih, ilmu teologi dan tasawuf. (Nasr Hamid
Abu Zaid, 1993; Rumadi, 2001).
Singkatnya, embrio ilmu kritis yang ada dalam Islam tidak berkembang,
tapi justru menjadi bagian dari proses ortodoksi ilmu keagamaan. Dalam bukubuku sejarah hukum Islam (tarikh tasyri) menunjukkan bahwa proses ini
berlangsung dalam kurun waktu yang panjang yang pada akhirnya berujung pada
corak nalar Islam menjadi baku dan beku. Teks-teks Islam yang semula hidup,
dinamis dan terbuka terhadap semua penafsiran berubah menjadi tertutup.
Masalah-masalah keagamaan yang semula –meminjam istilah Muhammad
Arkoun—berada dalam wilayah yang terpikirkan (thinkable) berubah menjadi
wilayah tak terpikirkan (unthinkable), sehingga terjadi pensakralan terhadap
pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar al-dini) (M. Arkoun,1990; Rumadi, 2001).
Kenyataan demikian harus segera diubah, jika kita ingin mengangkat
agama dari ”kubangan” sejarah. Tentunya, yang perlu dilakukan adalah
memberikan ruang bagi tumbuhnya kritisisme dalam masyarakat islam, kemudian
segera diikuti dengan pembongkaran terhadap merelativisasi pemikiran masa
lampau dengan melakukan kritik nalar. Upaya demikian pada tingkat tertentu
sudah dimulai oleh pemikir-pemikir kritis seperti Muhammad Arkoun,
Muhammad Abid Aljabiri, Nasr Hamid abu Zayd, Hasan Hanafi adan sebagainya.
Masalah selanjutnya adalah bagaimana merawat tardisi kritik nalar tersebut dan
menjadikannya sebagai mainstreamkajian Islam.
Memahami Kritik Nalar
Kritik nalar dalam istilah filsafat ilmu bisa disebut sebagai “kritik
epistimologi”, yaitu kritik terhadap metodologi yang melahirkan suatu ilmu. Oleh
karena itu munculnya kritik nalar merupakan respon ketidakpuasan atas
metodologi kajian Islam yang berkembang selama ini. Istilah “kritik epistimologi”
dalam konteks ini ditujukan pada seluruh bangunan keilmuan Islam yang dilihat
sebagai produk sejarah pemikiran keagamaan biasa yang mempuyai dimensi
relativisme. (M. Arkoun, 1990; al-Jabiri, 2000).
Muara dari proyek kritik nalar, menurut Arkoun, adalah memecah
kebekuan postulat-postulat keagamaan yang selama ini berada dalam wilayah
yang “tidak terpikirkan” (unthought) yang kemudian menjadi “tidak dapat
dipikirkan” (unthinkable). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana
“kritik nalar” bisa menjadi metodologi kajian Islam? Pertanyaan ini niscaya
muncul karena “kritik nalar” selama ini belum dipandang sebagai metode kajian
Islam, karena ia belum memiliki struktur standar yang bisa dijadikan pegangan.
Dan tulisan ini tidak bermaksud menyusun suatu metodologi, tapi hanya
pemaparan umum saja bahwa kritik nalar bisa menjadi salah satu model alternatif
studi Islam untuk melakukan “lompatan tradisi” dari tradisi klasik dan tradisi
kontemporer.
Pola semacam ini mengharuskan Islam didekati sebagai fenomena
historis, yaitu agama yang sudah dipraktekkan umatnya dalam sejarah. Ketika
wahyu sudah turun ke bumi, pada saat yang sama ia telah menjadi sejarah.
Artinya, wahyu yang melahirkan aspek-aspek normatif dalam islam bukan muncul
diruang yang hampa, tapi disekelilingnya sudah ada suasana sejarah yang
melingkupi. Jika logika ini diteruskan, akan diperoleh kesimpulan bahwa
historisitas bisa melampui normativitas, bukan sebaliknya, normativitas melampui
historisitas.
Dalam studi Islam konvensional selama ini lebih menekankan pada
“normativitas melampui historisitas”, artinya realitas historis harus tunduk pada
ketentuan-ketentuan normatif yang terdapat dalam teks al-Quran dan Hadits.
Kalau toh di sana ada kebebasan berpikir, kebebasan itu harus tetap tunduk
kepada teks, tidak bisa melampui teks (beyond the text). Oleh karena itu, jika
dalam fiqh dan ushul fiqh ada jargon bahwa yang harus diutamakan dalam
penetapan hukum adalah maqashid al-syari’ah, namun dalam prakteknya
perhatian utama dalam penerapan hukum adalah maqashid al-lughah. Artinya,
sebuah diktum hukum selama dapat dipertanggungjawabkan secara normatif
dianggap selesai, terlepas apakah diktum hukum itu mempuyai keterkaitan dengan
kemaslahatan manusia atau tidak. Dengan demikian kemaslahatan yang dikejar
bukan kemaslahatan manusia, tapi “kemaslahatan teks”.
Lebih jauh lagi, menurut al-Jabiri dalam upaya memperoleh pandangan
obyektif dalam mengkaji tradisi Islam maka sikap menjaga jarak antara subyek
dan obyek yang diteliti menjadi sebuah keniscayaan. Untuk itu, al-Jabiri
menawarkan tiga jenis pendekatan yang memungkinkan tumbuh tingkat
objektivisme dalam kajian tradisi. Pertama, metode strukturalis. Mengkaji tradisi
melalui metode ini berarti berangkat dari teks-teks yang dilihat sebagaimana
adanya dan meletakkannya sebagai sebuah korpus, satu kesatuan sebuah sistem.
Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah meloklisir pemikiran produsen teks
(penulis, sekte atau aliran tertentu) pada satu fokus. Dalam kerangka ini tercakup
berbagai perubahan yang menggerakkan dan membatasi pemikiran produsen teks.
Kedua, analisis sejarah. Pendekatan ini berupaya untuk menghubungkan
pemikiran pemilik teks dalam lingkup sejarahnya, ruang lingkup budaya, politik
dan seterusnya. Hal ini penting paling tidak karena dua hal: keharusan memahami
historisitas dan genealogi pemikiran; keharusan menguji validitas dan kebenaran
logis konklusi pendekatan strukturalis. “validitas” di sini bukan berarti kebenaran
logis karena hal ini telah menjadi tujuan strukturalisme, tapi lebih sebagai
kemungkinan-kenungkinan historis (imkan at-tarikh), yaitu kemungkinankemungkinan yang mendorong kita untuk mengetahui apa yang terungkap dalam
teks (said), apa yang tidak terkatakan (not said), apa saja yang dikatakan namun
tidak pernah terungkap (never said).
Ketiga, kritik ideologi. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengungkap
fungsi ideologi, termasuk fungsi sosial politik yang dikandung sebuah teks, atau
yang sengaja dibebankan kepada sebuah teks dalam sebuah sistem pemikiran
tertentu. Menyingkap fungsi ideologis sebuah teks klasik merupakana jalan untuk
menjadikan teks itu kontekstual dan dapat secara jelas diposisikan dalam konteks
sejarah tertentu.
Tiga pendekatan tersebut saling terkait satu dengan yang lain, dan sejauh
berkaitan dengan tradisi dapat dilakukan secara berurutan. Namun ketika
merumuskan kesimpulan, urutan yang lazim digunakan adalah dimulai dari
analisis historis, kritik ideologis dan akhirnya analisis strukturalisme (penjelasan
lebih jauh tentang tiga pendekatan ini bisa dilihat dalam al-Jabiri, Post
Tradisionalisme Islam, [Yogyakarta: LKiS, 2000]).
Catatan akhir
Akhirnya, itulah paparan singkat dan pengantar tentang kritik nalar
dalam studi hukum Islam. Karena singkat, tentu masih belujauh dari lengkap dan
banyak kekurangan sehingga butuh pengkajian lebih jauh lagi (bahkan mungkin
diperlukan kritik atas kritik nalar) agar bisa dipahami secara utuh sebagai sebuah
alternatif metode kritik (nalar) tradisi klasik dan tradisi kontemporer.
Kritik nalar (naqd al-aql) merupakan salah satu alternatif yang layak
dipertimbangkan, meskipun harus diakui, ini merupakan “proyek antara” dan
tidak berpretensi menyelesaikan semua hal yang berkaitan dengan metodologi
studi keislaman. Mekipun demikian, hal ini paling tidak diharapkan bisa
mendorong munculnya pemikiran-pemikiran baru yang bermanfaat bagi
kemanusiaan. Sekian dan semoga bermanfaat!
Ba’da subuh
1
Oleh:
Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si
2
Judul ini saya pilih bukan tanpa alasan. Jujur judul ini dipilih berangkat
dari pengalaman pribadi ketika nyantri di beberapa pesantren dan ketika aktif di
berbagai kelompok diskusi di UIN Sunan Kalijaga, pascasarjana UGM dan
program Doktor Ilmu Hukum serta ketika penulis menjadi Hakim pada
Pengadilan Agama. Juga karena pengalaman tersebut, judul ini --setidaknya
menurut saya-- sangat penting untuk didiskusikan dewasa ini oleh para pecinta
hukum.
Mengapa? saya melihat saat ini lulusan pesantren cenderung unggul di
bidang tradisi Islam klasik, tapi cenderung lemah di bidang penguasaan tradisi
Islam kontemporer. Sebaliknya, intelektual kampus cenderung unggul di bidang
tradisi Islam kontemporer, tapi kebanyakan lemah dan tidak menguasai tradisi
Islam klasik.
Kecenderungan itu juga nampak dalam Pengadilan Agama. Umumnya
Hakim Pengadilan Agama yang background keilmuannya didominasi pesantren
juga cenderung unggul di bidang tradisi hukum Islam klasik, tapi lemah dalam
tradisi hukum Islam dan hukum kontemporer. Hakim yang hanya lulus dari
fakultas hukum tanpa pernah nyantricenderung unggul di bidang tradisi hukum
kontemporer, tapi kebanyakan lemah dan tidak menguasai tradisi hukum Islam
klasik. Konsekuensinya, pertimbangan hukum dalam putusan yang dibuat hakim
sangat dipengaruhi oleh pola pikir berat sebelah seperti diatas.
Memang ada beberapa Hakim, santri atau intelektual kampus yang mampu
menguasai kedua tradisi tersebut secara baik, tapi jumlahnya minoritas dan bisa
dihitung dengan jari. Padahal sinergi dua tradisi tersebut merupakan kebutuhan
1
Makalah ini pernah penulis sampaikan ketika menjadi pemateri dalam Studium
General Mahasiswa Baru STIT Pacitan tahun akademik 2006/2007, tanggal 22 september 2006.
Dengan berbagai revisi, penulis kirim ke www.badilag.netuntuk dimuat.
2
Hakim Pengadilan Agama Martapura, Alumni Sekolah Pascasarjana UGM
Yogyakarta, saat ini sedang menyelesaikan studi pada Universitas 17 Agustus 1945 (Untag)
Surabaya.
mendesak untuk konstekstualisasi hukum Islam dan mengakhiri krisis pemikiran
hukum Islam saat ini.
Lebih-lebih, belakangan ini sering muncul kritik bahwa kajian hukum
Islam di Indonesia tidak mempuyai proyek yang jelas, sehingga arah dari
pemikiran yang berkembang juga menjadi tidak jelas. Bahkan secara sinis
intelektual Indonesia ada yang menyebut “intelektual musiman” atau (maaf)
“hangat-hangat tahi ayam”. Ketika sedang musim post modernisme atau post
tradisionalisme semua orang bicara tentang tema tersebut, di sana-sini digelar
berbagai diskusi tentang itu. Ketika tiba-tiba muncul isu Islam liberal, civil socity,
gender dan sebagainya, hampir semua orang hangat membicarakannya.
Singkatnya, tidak ada sesuatu yang menjadi “proyek pemikiran bersama”,
karenanya pemikiran Islam di Indonesia belum mampu memberi kontribusi
signifikan bagi kepentingan dunia Islam secara keseluruhan.
Sebenarnya pada akhir 80-an dan awal 90-an sudah mulai muncul arah
yang baik seperti tema tentang “pribumisasi hukum Islam” dan “hukum Islam
transformatif”, namun sayangnya tema ini surut tanpa sebab yang jelas. Bahkan
pada akhir 90-an dan sampai saat ini, energi kebangsaan kita seluruhnya banyak
tersedot untuk urusan politik, sehingga hampir-hampir tidak ada perkembangan
pemikiran yang berarti.
Kritik semacam ini bisa dipahami dan dilihat sebagai kegelisahan untuk
mewujudkan hukum Islam yang mempuyai kepedulian terhadap proyek-proyek
kemanusiaan. Untuk menuju kearah tersebut, satu hal yang tak dapat dihindari
adalah meninjau ulang metode kajian hukum Islam yang lebih mamayungi paham
ortodoksi dan memusuhi paham “islam madzhab kritis”. Dalam konteks ini,
metodologi kajian yang mengedepankan kritik nalar (naqd al-aql) merupakan
salah satu alternatif yang layak dipertimbangkan, meskipun harus diakui, ini
merupakan “proyek antara” dan tidak berpretensi menyelesaikan semua hal yang
berkaitan dengan metodologi studi hukum Islam. Meskipun demikian, hal ini
paling tidak bisa mendorong munculnya pemikiran-pemikiran baru yang
bermanfaat bagi kemanusiaan. Tulisan ini juga tidak bermaksud membangun
sebuah metodologi baru, tetapi sekadar pemaparan umum menuju kritik nalar
dengan cara memberi bingkai atas kajian keislaman yang sudah dilakukan oleh
tokoh-tokoh yang concerndengan kritik nalar.
Tradisi Kritik dalam Islam
Tradisi kritik dalam Islam sebenaranya bukanlah hal yang baru, karena
kelahiran Islam di dalamnya mengandung unsur kritik, yaitu kritik terhadap
kondisi masyarakat arab jahiliyah yang sangat membelenggu, baik belenggu
keyakinan, keyakinan atau budaya (Asghar, 1999). Tardisi keilmuan Islam
sebenarnya sudah cukup lama mengenal tradisi kritik, yaitu sejak abad ke 3 H. hal
itu secara samar-samar dapat dilihat dengan munculnya ilmu mustalah hadis yang
didalamnya dikaji ilmu jarh wa ta’dil, ilm rijal al-hadits, kritik sanad, kritik
matan dan sebagainya (M. Khudlori, 1981). Dari sini bisa dipahami bahwa ada
potensi kritisisme dalam tradisi keilmuan Islam. Namun sayangnya, pada
perkembangan selanjutnya tradisi kritik tersebut tidak berkembang, bahkan ia
tidak lagi sebagai instrumen kritik tapi telah ditempatkan sebagai penjaga
ortodoksi hadis.
Dalam ilmu al-Quran juga dikenal asbab al-nuzul yang membicarakan
sebab-sebab turunnya ayat al-Quran. Namun sayangnya ilmu tersebut seolah telah
“mati”, tidak berkembang karena dianggap tidak terkait dengan histiorigrafi,
hermeneutika, kritik sejarah dan sebagainya. Asbab al-nuzul dipertimbangkan
hanya sejauh dan dalam pengertian bahwa peristiwa-peristiwa itu merupakan
keterangan-keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat.
Sebab peristiwa-peristiwa itu baukanlah tujuan atau syarat mutlak mengapa turun
wahyu. Dari sini kemudian memunculkan pemahaman bahwa pentingnya wahyu
terletak pada generalisasi kata-kata yang digunakan, bukan pada peristiwa
pewahyuan, sehingga muncul kaidah al-ibrah bi umum al-lafadz la bi khusus alsabab. Hal yang sama terjadi pada fiqih, ilmu teologi dan tasawuf. (Nasr Hamid
Abu Zaid, 1993; Rumadi, 2001).
Singkatnya, embrio ilmu kritis yang ada dalam Islam tidak berkembang,
tapi justru menjadi bagian dari proses ortodoksi ilmu keagamaan. Dalam bukubuku sejarah hukum Islam (tarikh tasyri) menunjukkan bahwa proses ini
berlangsung dalam kurun waktu yang panjang yang pada akhirnya berujung pada
corak nalar Islam menjadi baku dan beku. Teks-teks Islam yang semula hidup,
dinamis dan terbuka terhadap semua penafsiran berubah menjadi tertutup.
Masalah-masalah keagamaan yang semula –meminjam istilah Muhammad
Arkoun—berada dalam wilayah yang terpikirkan (thinkable) berubah menjadi
wilayah tak terpikirkan (unthinkable), sehingga terjadi pensakralan terhadap
pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar al-dini) (M. Arkoun,1990; Rumadi, 2001).
Kenyataan demikian harus segera diubah, jika kita ingin mengangkat
agama dari ”kubangan” sejarah. Tentunya, yang perlu dilakukan adalah
memberikan ruang bagi tumbuhnya kritisisme dalam masyarakat islam, kemudian
segera diikuti dengan pembongkaran terhadap merelativisasi pemikiran masa
lampau dengan melakukan kritik nalar. Upaya demikian pada tingkat tertentu
sudah dimulai oleh pemikir-pemikir kritis seperti Muhammad Arkoun,
Muhammad Abid Aljabiri, Nasr Hamid abu Zayd, Hasan Hanafi adan sebagainya.
Masalah selanjutnya adalah bagaimana merawat tardisi kritik nalar tersebut dan
menjadikannya sebagai mainstreamkajian Islam.
Memahami Kritik Nalar
Kritik nalar dalam istilah filsafat ilmu bisa disebut sebagai “kritik
epistimologi”, yaitu kritik terhadap metodologi yang melahirkan suatu ilmu. Oleh
karena itu munculnya kritik nalar merupakan respon ketidakpuasan atas
metodologi kajian Islam yang berkembang selama ini. Istilah “kritik epistimologi”
dalam konteks ini ditujukan pada seluruh bangunan keilmuan Islam yang dilihat
sebagai produk sejarah pemikiran keagamaan biasa yang mempuyai dimensi
relativisme. (M. Arkoun, 1990; al-Jabiri, 2000).
Muara dari proyek kritik nalar, menurut Arkoun, adalah memecah
kebekuan postulat-postulat keagamaan yang selama ini berada dalam wilayah
yang “tidak terpikirkan” (unthought) yang kemudian menjadi “tidak dapat
dipikirkan” (unthinkable). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana
“kritik nalar” bisa menjadi metodologi kajian Islam? Pertanyaan ini niscaya
muncul karena “kritik nalar” selama ini belum dipandang sebagai metode kajian
Islam, karena ia belum memiliki struktur standar yang bisa dijadikan pegangan.
Dan tulisan ini tidak bermaksud menyusun suatu metodologi, tapi hanya
pemaparan umum saja bahwa kritik nalar bisa menjadi salah satu model alternatif
studi Islam untuk melakukan “lompatan tradisi” dari tradisi klasik dan tradisi
kontemporer.
Pola semacam ini mengharuskan Islam didekati sebagai fenomena
historis, yaitu agama yang sudah dipraktekkan umatnya dalam sejarah. Ketika
wahyu sudah turun ke bumi, pada saat yang sama ia telah menjadi sejarah.
Artinya, wahyu yang melahirkan aspek-aspek normatif dalam islam bukan muncul
diruang yang hampa, tapi disekelilingnya sudah ada suasana sejarah yang
melingkupi. Jika logika ini diteruskan, akan diperoleh kesimpulan bahwa
historisitas bisa melampui normativitas, bukan sebaliknya, normativitas melampui
historisitas.
Dalam studi Islam konvensional selama ini lebih menekankan pada
“normativitas melampui historisitas”, artinya realitas historis harus tunduk pada
ketentuan-ketentuan normatif yang terdapat dalam teks al-Quran dan Hadits.
Kalau toh di sana ada kebebasan berpikir, kebebasan itu harus tetap tunduk
kepada teks, tidak bisa melampui teks (beyond the text). Oleh karena itu, jika
dalam fiqh dan ushul fiqh ada jargon bahwa yang harus diutamakan dalam
penetapan hukum adalah maqashid al-syari’ah, namun dalam prakteknya
perhatian utama dalam penerapan hukum adalah maqashid al-lughah. Artinya,
sebuah diktum hukum selama dapat dipertanggungjawabkan secara normatif
dianggap selesai, terlepas apakah diktum hukum itu mempuyai keterkaitan dengan
kemaslahatan manusia atau tidak. Dengan demikian kemaslahatan yang dikejar
bukan kemaslahatan manusia, tapi “kemaslahatan teks”.
Lebih jauh lagi, menurut al-Jabiri dalam upaya memperoleh pandangan
obyektif dalam mengkaji tradisi Islam maka sikap menjaga jarak antara subyek
dan obyek yang diteliti menjadi sebuah keniscayaan. Untuk itu, al-Jabiri
menawarkan tiga jenis pendekatan yang memungkinkan tumbuh tingkat
objektivisme dalam kajian tradisi. Pertama, metode strukturalis. Mengkaji tradisi
melalui metode ini berarti berangkat dari teks-teks yang dilihat sebagaimana
adanya dan meletakkannya sebagai sebuah korpus, satu kesatuan sebuah sistem.
Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah meloklisir pemikiran produsen teks
(penulis, sekte atau aliran tertentu) pada satu fokus. Dalam kerangka ini tercakup
berbagai perubahan yang menggerakkan dan membatasi pemikiran produsen teks.
Kedua, analisis sejarah. Pendekatan ini berupaya untuk menghubungkan
pemikiran pemilik teks dalam lingkup sejarahnya, ruang lingkup budaya, politik
dan seterusnya. Hal ini penting paling tidak karena dua hal: keharusan memahami
historisitas dan genealogi pemikiran; keharusan menguji validitas dan kebenaran
logis konklusi pendekatan strukturalis. “validitas” di sini bukan berarti kebenaran
logis karena hal ini telah menjadi tujuan strukturalisme, tapi lebih sebagai
kemungkinan-kenungkinan historis (imkan at-tarikh), yaitu kemungkinankemungkinan yang mendorong kita untuk mengetahui apa yang terungkap dalam
teks (said), apa yang tidak terkatakan (not said), apa saja yang dikatakan namun
tidak pernah terungkap (never said).
Ketiga, kritik ideologi. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengungkap
fungsi ideologi, termasuk fungsi sosial politik yang dikandung sebuah teks, atau
yang sengaja dibebankan kepada sebuah teks dalam sebuah sistem pemikiran
tertentu. Menyingkap fungsi ideologis sebuah teks klasik merupakana jalan untuk
menjadikan teks itu kontekstual dan dapat secara jelas diposisikan dalam konteks
sejarah tertentu.
Tiga pendekatan tersebut saling terkait satu dengan yang lain, dan sejauh
berkaitan dengan tradisi dapat dilakukan secara berurutan. Namun ketika
merumuskan kesimpulan, urutan yang lazim digunakan adalah dimulai dari
analisis historis, kritik ideologis dan akhirnya analisis strukturalisme (penjelasan
lebih jauh tentang tiga pendekatan ini bisa dilihat dalam al-Jabiri, Post
Tradisionalisme Islam, [Yogyakarta: LKiS, 2000]).
Catatan akhir
Akhirnya, itulah paparan singkat dan pengantar tentang kritik nalar
dalam studi hukum Islam. Karena singkat, tentu masih belujauh dari lengkap dan
banyak kekurangan sehingga butuh pengkajian lebih jauh lagi (bahkan mungkin
diperlukan kritik atas kritik nalar) agar bisa dipahami secara utuh sebagai sebuah
alternatif metode kritik (nalar) tradisi klasik dan tradisi kontemporer.
Kritik nalar (naqd al-aql) merupakan salah satu alternatif yang layak
dipertimbangkan, meskipun harus diakui, ini merupakan “proyek antara” dan
tidak berpretensi menyelesaikan semua hal yang berkaitan dengan metodologi
studi keislaman. Mekipun demikian, hal ini paling tidak diharapkan bisa
mendorong munculnya pemikiran-pemikiran baru yang bermanfaat bagi
kemanusiaan. Sekian dan semoga bermanfaat!
Ba’da subuh
0 Response to "KRITIK NALAR DALAM STUDI HUKUM ISLAM: SEBUAH PENGANTAR 1"
Post a Comment