FILSAFAT EMPIRISME
Sunday, August 16, 2015
Add Comment
FILSAFAT EMPIRISME
MAKALAH MATA KULIAH
FILSAFAT UMUM
Dosen Pengampu :
DR. Sembodo Ardi
M. Imam Zamroni M.Si.
Charisma
Alimshadeq P. 11420097
Cecep
Jaenudin 11420073
Sulandari 11420099
Wahidah
Rahman Noor M. 11420078
JURUSAN PENDIDIKAN
BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN
KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Uraian pendahuluan ini memuat pembahasan mengenai latar belakang,
perumusan masalah dan sistematika penulisan makalah.
A. Latar Belakang
Filsafat adalah studi tentang seluruh
fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam
konsep mendasar.[1]
Filsafat Yunani klasik merupakan permulaan dari pemikiran filsafat
atau pembahasan filsafat secara spekulatif rasional dan irrasional dogmatis. Filsafat Yunani
klasik merupakan contoh ilustrasi pemikiran dan pembahasan masalah filsafat
secara sistematis dan lengkap dan berlaku sampai sekarang.[2]
Berbagai pemikiran
tentang filsafat mengalami kemajuan pada masa Renaissance. Memasuki abad ke-17 beberapa filosuf
mencapai penyempurnaan dan kedewasaan pemikiran. Pengaruhnya sangat besar bagi
pemikiran-pemikiran filsafat pada masa berikutnya.
Oleh karena itu, pada
masa ini yang dipandang sebagai sumber pengetahuan hanya apa yang secara
alamiah dapat dipakai manusia yaitu akal atau rasio dan pengalaman atau
empiris. Orang cenderung untuk memberikan tekanan kepada salah satu dari
keduanya. Pada abad ini muncul dua aliran filsafat yang saling bertentangan
yaitu rasionalisme dan
empirisme.[3]
Rasionalisme adalah sebuth aliran filsafat yang menekankan akal atau rasio sebagai sumber
pengetahuan yang memiliki nilai kebenaran dan dapat diuji keilmiahannya. Maka
pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat kebenaran ilmiah
secara mutlak. Adapun pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan
pengetahuan yang telah diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman karena
akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirnya sendiri yaitu atas dasar
asas-asas yang pasti. Metode yang diterapkan adalah deduktif dengan pendekatan ilmu pasti.
Segala sesuatu dapat dan
harus dimengerti secara rasional. Suatu pernyataan hanya boleh diterima sebagai
benar dan sebuah claim hanya dapat dianggap sah apabila dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.[4]
Wewenang tradisional otoritas dan dogma merupakan pernyataan yang dianggap
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
Rasionalisme merupakan
semacam pemberontakan terhadap otoritas-otoritas tradisional yang bersifat dogmatis. Tidak cukup untuk
mendasarkan sebuah tuntutan atas wewenang pihak yang menuntut, melainkan isi
tuntutan itu sendiri harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Aliran
filsafat ini secara hakiki bersifat anti tradisional.
Adapun aliran empirisme
berpendapat bahwa empirik atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan
baik pengalaman yang batiniyah maupun yang lahiriayah. Akal bukan menjadi sumber
pengetahuan,
akan tetapi akal mendapatkan tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari
pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Semula aliran ini seperti
masih menganut semacam realisme yang naif yang menganggap bahwa
pengenalan yang diperoleh melalui pengalaman tanpa penyelidikan lebih lanjut
telah memiliki nilai yang obyektif. Akan tetapi kemudian nilai pengenalan yang
diperoleh memalui pegalaman itu sendiri dijadikan sasaran atau obyek
penelitaian.
Aliran ini muncul di
Inggris pada awalnya dipelopori Francis Bacon (1531-1626). Pada perkebangannya
dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes seperti Thomas Hobbes (1588-1679),
John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan yang terpenting adalah David
Hume (1711-1776).[5]
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat dalam latar belakang,
pemakalah mengajukan permaslahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan empirisme beserta
konstruksinya?
2. Bagaimanakah pemikiran para filosuf
empiriseme tentang ilmu pengetahuan?
3. Jelaskan telaah kritis
pemikiran filsafat empirisme?
C. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pokok
permsalahan, maka penulis menyusun makalah ini dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab I : Pendahuluan, pemakalah menyajikan latar
belakang, permasalahan dan kerangka teori
serta sistematika penulisan.
Bab II : Pembahasan berisi tentang pengertian dan
konstruksi empirisme, pemikiran empirisme beserta filosofnya dan telaah kritis
tentang pemikiran filsafat empirisme.
Bab III : Penutup, disajikan beberapa kesimpulan,
saran/kritik dan kata penutup.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Filsafat Empirisme
Dalam ilmu pengetahuan
yang paling berguna, pasti dan benar itu deperoleh orang melalui inderanya.
Empirislah yang memegang peranan amat penting bagi pengetahuan, malahan
barangkali satu-satunya dasar pendapat di atas itu disebut empirisme.[6]
Empirisme merasa puas
untuk menggarap hasil pekerjaannya dalam bidang materi hanya sebagai hipotesa
yang dapat diubah menurut pengalaman di kemudian hari.[7]
Pada perkembangannya, empirispun diupayakan menjadi radikal dengan klaimnya
harus tidak menerima dalam bentuknya unsur apa saja yang tidak dialami secara
langsung atau mengeluarkan dari bentuknya unsur yang dialami secara langsung.
Pengalaman-pengalaman dan fakta-fakta kehidupan sehari-hari merupakan dasar,
realitas adalah hal yang dialami baik merupakan benda atau perubahan keadaan.
1. Pengertian Empirisme
Beberapa pemahaman
tentang pengertian empirisme cukup beragam, namun intinya adalah pengalaman
Di antara pemahaman
tersebut antara lain:
a. Empirisme berasal
dari kata Yunani empirikos yang berasal dari kata empeiria,
artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamnnya. Bila dikembalikan kepada kata Yunaninya pengalaman yang dimaksud
adalah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula
manis karena ia mencicipinya.[8]
b. Empirisme adalah
faham filsafat yang mengajarkan bahwa benar adalah yang logis dan ada bukti
empiris. Menurut empirisme yang benar adalah anak panah bergerak sebab secara
empiris dapat dibutktikan bahwa anak panah itu bergerak. Coba saja perut anda
menghadang anak panah itu perut anda akan tembus, benda yang tembus sesuatu
haruslah benda yang bergerak.[9]
c. Empirisme dalam
bahasa Inggris, empiricism; dari Yunani empeiria, empiris
(berpengalaman dalam, berkenalan dengan, terampil untuk) latin experienta
(pengalaman). Empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus
dicari dalam pengalaman. Salah satu teori mengenai asal pengetahuan.
d. Secara etimologi, istilah empirisme berasal dari kata Yunani empeiria
yang berarti pengalaman.[10]
2. Konstruk Empiris
Rome Harre dalam
tulisannya “Varieties of Realism (1986)” membedakan tiga realm (domein)
entitas empirik sebagaimana dinukil Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir.[11]
a. Realm 1 adalah
entitas empirik yang dapat ditangkap dengan panca indera manusia.
Benda-benda yang bisa
diamati indera manusia adalah nyata. Yang benar-benar nyata adalah gerak dari
bagian-bagian kecil benda itu yang menunjukkan sifatnya.[12]
b. Realm 2 adalah
entitas empirik yang tidak dapat ditangkap panca indera secara langsung.
Mikro-organisme, sinar X
merupakan entitas empiris yang hanya dapat ditangkap panca indera kita dengan
instrumen. Entitas empiris realm 2 ini merupakan evidensi
instrumentatif. Benda-benda yang bisa diamati walaupun dengan alat bantu karena
memiliki sifat kebendaan sehingga bisa ditangkap dengan panca indera adalah
nyata.
c. Entitas empirik realm 3 adalah evidensi seperti neutron,
chip dengan berjuta fungsi dan lain-lain. Entitas empirik realm 3 dapat
dibuktikan dengan terapan disertai penjelasan teoretik logik.
Prof. Dr. Noeng Muhadjir
membedakan konstruk empirik atas pengahanyatan empirik sensual, penghayatan
empirik logik, penghayatan empirik etik dan penghayatan empirik transendental. [13]
konstruk empirik ini ternyata lebih detail dan datarannya lebih berlanjut.
Namun bila dikorelasikan denga pendapat Rome Hare sebenarnya sangat berhubungan
dan saling mendukung.
Entitas empirik realm
1 termasuk dalam penghayatan empirik sensual. Sedangkan realm 2 dan realm 3
termasuk dalam penghayatan empirik logik. Penghayatan konstruk empirik tersebut
dapat diteruskan pada dataran berikutnya, yakni penghayatan empirik etik dan
penghayatan empirik transendental.
Dengan meminjam konsep
entitas emprik Rome Harre barangkali telaah entitas emprik konsep Noeng
Muhadjir; entitas empirik bisa dikategorikan sebagai realm 4. Entitas
empirik etik secara konseptual merupakan entitas empirik yang kebenarannya
dapat dibuktiakan dengan uji koherensi pada values yang diakui sebagai
kriteria moral universal.
Penghayatan empirik
transendental dapat pula disebut sebagai realm 5. Realm 5 ini
merupakan entitas empirik yang dapat dihayati oleh banyak orang dalam tampilan rahmah,
himah, maghfirah dan semacamnya. [14]
karena bersifat pribadi perseorangan namun bisa juga dialami oleh banyak orang
dalam term yang bervariatif berdasar tingkat keimanan maupun rasio yang mereka
miliki.
B. Beberapa Pemikiran Filosof Empirisme
Pada abad 17 masa Ranaissance
bermunculan berbagai pandangan filsafat atas ilmu pengetahuan. Empirisme adalah
bagian dari filsafat pada masanya dengan memunculkan beberapa tokoh filosof.
Berikut penulis sampaikan tiga filosuf sebagai sampel pemikiran empirisme yang
cukup berpngaruh, yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume.
1. Thomas Hobbes (1588-1679)
Thomas Hobbes adalah
anak seorang pedeta, minatnya dari semula terarahkan kepada kesusastraan dan
filsafat. [15]
Ia seorang filosuf Inggris, memahami manusia secara mekanik semata.
Cita-citanya untuk mengembangkan suatu filsafat atau teori negara yang dapat
membantu untuk menyusun masyarkat dalam keadaan damai dan adil.[16]
Bukanlah yang abstrak
dan umum yang sungguh-sungguh ada. Pengertian umum itu hanya nama belaka yang
sesungguhnya ada ialah hal sendiri. Adapun hal ini hanya tercapai pengenalannya
dengan persentuhan indera. Hanya kalau dapat disentu dengan indera itulah suatu
tanda kebenaran dan kesungguhannya. Pengetahuan kita tak mengatasi pengideraan;
dengan kata lain pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan indera saja
selainnya bukanlah pengetahuan.
Materialisme yang dianut
Thomas Hobbes mensinyalir bahwa segala sesuatu yang ada bersifat bendawi yakni
segala kejadian adalah gerak yang berlangsung karena keharusan dan realitas
tidak bergantung pada gagasan kita, terhisap di dalam gerak itu. Sebagai
penganut empirisme, ia beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala
pengenalan.[17]
Ada yang menyebut ia
seorang penganunt sensualisme, karena ia amat mengutamakan sensus (indera)
dalam pengetahuan, memang tidak salah tetapi dalam hubungan ini tentulah ia
dianggap salah satu dari penganut empirisme-yang mengatakan bahwa persentuhan
dengan indera (empirik) itulah yang menjadi pangkal dan sumber ilmu pengetahuan.
Pengalaman inderawi
sebagai permulaan segala pengenalan. Pengalaman intelektual tidak lain semacam
perhitungan (kalkulus) yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama dengan
cara yang berlainan.[18]
Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap, berpangkal kepada empirisme
secara konsekuen. Sekalipun ia berpangkal pada dasar-dasar empiris, namun ia
menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia
telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis.
Baginya filsafat adalah
suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu
pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat atau tentang
penampakan-penampakan yang sedemikian seperti yang kita peroleh dengan
merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebab atau
asalnya.
Sasaran filsafat adalah
fakta-fakta yang diamati dengan maksud mencari sebab-sebabnya. Dalam pengamatan
disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada
dalam kesadaran kita seperti: ruang, waktu, bilangan dan gerak dari pengamatan
pada benda.
Tidak semua yang diamati
pada benda-benda itu nyata. Yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian
kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang ada pada pengamat saja,
segala yang ada ditentukan oleh sebab, dunia adalah suatu keseluruhan
sebab-akibat. [19]
Pengalaman adalah
keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di dalam ingatan dan
dibagungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa yang
telah diamati pada masa yang lampau. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak
benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita.
Gerak ini diteruskan kepada otak kemudian diteruskan ke jantung. Di dalam
jantung timbullah suatu reaksi, suatu gerak yang berlawanan. Pengamatan yang
sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Sasaran yang diamati
adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan obyek atau
sasaran kualitas dalam obyek-obyek yang sesuai dengan penginderaan kita
bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengar
bukan benda di dalam obyek melainkan di dalam subyeknya. Sifat-sifat inderawi
tidak memberi gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan,
rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani bersandar semata-mata
pada aosiasi gambaran-gambaran yang murni bersifat mekanis.
Thomas Hobbes menjadi
besar namanya disebabkan karena teorinya yang lebih modern tentang negara
dibanding dengan teori tentang negara yang mendahuluinya. Pemikirannya didasari
dengan tabiat alamiah manusia hingga dibutuhkan negara yang absolut bahkan
hingga pemikiran atheisnya bahwa Allah yang dapat mati.
Di antara pemikirannya antara lain:
Menurut tabiatnya segala
manusia adalah sama, dalam keadaannya yang alamiah tiap manusia ingin
mempertahankan kebebasannya dan menguasai orang lain. Pada dasarnya manusia
cenderung untuk mempertahankan dirinya sendiri karena waktu itu yang ada hanya
hukum alam. Akibanya mereka tertekan sehingga menimbulkan perang total sehingga
hidup menjadi buruk, kasar dan singkat. Sebab dalam perang total itu kebijakan
pokok ialah kekautan dan kecurangan agar manusia dapat bebas dari pada bahaya
kehancuran, pengalaman mengajarkan bahwa akal sehat menuntut supaya tiap orang
mau melepaskan haknya untuk berbuat sekehendak sendiri. Oleh karenanya mereka
bersatu dan bersama-sama membuat perjanjian bahwa mereka akan tunduk kepada
penguasa pusat yang mereka bentuk. Oleh karena itu warga negara tidak berhak
untuk meberontak. Orang banyak yang dipersatukan demikian itu disebut “commonwealth”.
Commonwelath ini disebut Leviatan, Allah yang dapat mati. Di dalam commonwealth
yang dipentingkan adalah perdamaian yang awet yang tahan lama. Pemerintah harus
diberi kuasa mutlak tanpa batas. Sumber segala hak, hukum, moral adalah kuasa
yang memerintah. Baik dan jahat bagi perbuatan manusia diukur menurut peraturan
dan larangan negara. [20]
2. Jhon Locke
(1632-1704)
John Locke adalah
filosof Inggris, lahir tahun 1632 di Wrington, Somersetshire. Tahun 1647-1652
ia belajar di Westminster. Tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford
mempelajari agama Kristen, namun ia juga mempelajari pengetahuan di luar tugas
pokoknya. [21]
Lock menyelidiki
kemampuan pengetahuan manusia, sampai kemanakah ia dapat mencapai kebenaran dan
bagaimanakah mencapainya itu. Ia mempergunakan istilah sensation dan reflection
dalam upaya mencari kebenaran atas pengetahuan.
Reflection itu pengenalan intuitif
serta memberi pengetahuan apakah kepada manusia lebih baik lebih penuh dari
pada sensation. Sansation merupakan suatu yang memiliki hubungan
dengan dunia luar tetapi tak dapat meraihnya dan tak dapat mengerti
sesungguhnya. Tetapi tanpa sensations manusia tak dapat juga suatu
pengetahuan
Tiap-tiap pengetahuan
itu terjadi dari kerja sama antara sensation dan reflections.
Tetapi haruslah ia mulai dengan sensation sebab jiwa manusia itu waktu
dilahirkan merupakan yang putih bersih; tabula rasa, tak ada bekal dari siapa
pun yang merupakan ide innatae.[22]
Seluruh pengetahuan kita
peroleh dengan jalan menggunakan dan membandingkan gagasan-gagasan yang
diperoleh dari pengindraan dan refleksi. Akal manusia hanya merupakan tempat
penampungan yang secara pasif menerima hasil penginderaan kita.[23]
Menurut Locke kita tidak melihat pohon atau orang atau mendengar bunyi
sangkakala melainkan kita melihat kesan inderawi pada retina yang disebabkan
oleh apa yng kita lihat sebagai pohon. Kita mendengarkan reaksi selaput kuping
terhadap getaran-getaran udara yang disebabkan oleh peniupan sangkakala.[24]
Buku Jhon Locke, "Essay Concerning Human Understanding"
1689 ditulis berdasarkan premis yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman
(halaman 108). Ini berarti, tidak ada yang dapat di jadikan idea atau konsep
tentang sesuatu yang berada dibelakang pengalaman tidak ada idea yang
diturunkan.[25]
Faktor bawaan (innate)
itu tidak ada, argumennya adalah:
1. Dari jalan masuknya
pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada. Pengetahuan
datang melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan.
2. Persetujuan umum
adalah argumen yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum
tentang adanya innate idea itu sebagai suatu daya yang inhern.
3. Persetujuan umum
membuktikan tidak adanya innate idea.
4. Apa innate idea
itu sebernya tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga tidak diketahui adanya.
Bukti-bukti yang mengatakan ada innate idea justru sebagai alasan untuk
mengatakan ia tidak ada.
5. Tidak juga dicetakkan
(ditempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, idea innate itu tidak
ada. Padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berpikir.
Bedasarkan asas-asas
teori pengenalan, dalam etikanya Locke menolak adanya pengertian keberhasialan
yang tidak menjelaskan bawaan tabiat manusia. Apa yang menjadi bawaan tabiat
kita hanyalah kecenderungan- kecenderungan yang menguasai perbuatan-perbuatan
kita. Segala kecenderungan itu dapat di kombinasikan kepada usaha untuk
mendapatkan kebahagian.[26]
Kesimpulan Locke adalah subtance is we know not what.
Tentang subtansi kita tidak tahu apa-apa. Ia mengetahui menyatakan bahwa apa
yang dianggapnya subtansi ialah pengertian tentang obyrk sebagai idea tentang
obyek itu dibentuk oleh jiwa berdasarkan masukan dari indera.[27]
3. David Hume
(1711-1776)
Hume seorang Skot, lahir
didekat kota Edinburgh Inggris tahun 1711. Ia telah pernah mengajar di
Universitas, barangkali juga karena ia dianggap ateis sehingga tidak akan
diterima sebagian profesor. Ia banyak berkeliling di Eropa terutama di
Perancis. [28]
Buku yang ia tulis ketika berumur duapuluh tahunan adalah Kretise Of Human
Nature (1739), namun tidak banyak menarik perhatian orang. Waktu mudanya ia
juga berpolitik tetapi tak terlalu mendapat sukses,[29]
kemudian ia beralih menjadi sejarawan. Pada tahun 1948 ia menulis buku yang
sangat terkenal, An Enquiry Concerring the Princeiples of Morals (1751).
Hume meninggal pada tahun 1776.
Ia menganalisis
pengertian substansi, seluruh pengetahuan itu tak lain dari jumlah pengalaman
kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak sesuai dengan impression
yang disebabkan “hal” di luar kita. Adapun yang bersentuhan dengan indera kita
itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut. Yang menyebabkan kita
mempunyai pengertian sesuatu yang tetap–substansi–itu tidak lain dari perulangan
pengalaman yang demikian acapkalinya. Subtansi itu hanya anggapan, khayal, yang
sebenarnya tak ada.[30]
Manusia tidak membawa
pengtahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan.
Pengamatan memberikan dua hal yaitu kesan-kesan (impressions) dan
pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas).[31]
Yang dimaksud dengan impressions
atau kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman baik
pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah yang menampakkan diri dengan
jelas, hidup dan kuat seperti merasakan tangan terbakar. Adapun ideas
adalah gambaran tentang pengamatan yang hidup, samar-samar yang dihasikan
dengan merenungkan kembali atau ter-refleksikan dalam kesan-kesan yang diterima
dari pengalaman.
Perbedaan kedua-keduanya
terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju jiwa dan jalan masuk kesadaran.
Persepsi yang termasuk denagn kekuatan besar dan kasar disebut impression
(kesan) dan semua sensasim nafsu emosi termasuk kategori ini begitu mereka
masuk kedalam jiwa. Idea adalah gambaran kabur (faint image) tentang
persepsi yang masuk kedalam pemikiran.
Selanjutnya David Hume
menyatakan sebagaimana dinukil Prof.Dr. Ahmad Tafsir sebagai berikut:
Setelah saya pikirkan
secara teliti ternyata persepsi itu dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
pesepsi yang sederhana (simple) dan persepsi yang ruwet (complex).
Seluruh kesan dan idea kita saling berhubunan. Dalam penyelidikan saya ternyata
hanya idea yang kompleks yang tidak memiliki kesan (impression) yang
berhubungan dengan idea itu. Banyak juga kesan yang kompleks yang tidak direkam
dalam idea kita. Saya tidak bisa menggambarkan suatu kota yang belum pernah
saya lihat. Akan tetapi saya pernah melihat kota Paris namun saya harus
mengatakan saya tidak sanggup membentuk idea tentang kota Paris yang lengkap
dengan gedung-gedung, jalan dan lain lengkap dengan ukuran masing-masing.
Mengapa? Karena tidak semua kesan (impression) direkam dalam idea.[32]
Pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika
atau kemestian sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak lain hanya hubungan
saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti api membuat air
mendidih. Dalam api tidak bisa diamati adanya "daya aktif" yang
mendidihkan air. Daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu tidak bisa
diamati. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan
peristiw-peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-peristiwa terdahulu.[33]
Pemikirannya tentang
eksistensi Tuhan adalah ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam
ini kita berhadapan dengan dilema, kita berpikir tentang Tuhan menurut
pengalaman masing-masing sedangkan itu hanya setumpuk persepsi dan koleksi
emosi saja. Kemudian, bagaimana kita dapat mengatakan Tuhan itu Maha sempurna
dan Maha Kuasa, sedangkan di alam terjadi kejahatan dan berbagai bencana.
Seharusnya alam ini juga sempurna sesuai denga penciptanya tetapi ternyata
tidak. Tuhan juga sumber kejahatan, terbatas dan memiliki sifat mencintai dan
membenci. Penelitiannya tentang dunia tidak mampu membuktikan Tuhan kecuali
Tuhan itu tidak sempurna.[34]
Lebih lanjut Hume berkomentar,
tidak ada bukti yang dapat dipahami untuk membuktikan bahwa Allah ada dan bahwa
Ia menyelenggrakan dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jiwa tidak dapat mati.
Dalam praktik, orang-orang yang beragama selalu mengikuti kepercayaan yang
dianggap pasti sedang akal tidak dapat membuktikannya. Menurutnya banyak sekali
keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan tidak
berguna bagi hidup. Agama berasal dasri penghargaan dan ketakutan manusia
terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia mengangkat berbagai
dewa untuk disembah.
Mukjizat adalah ajaran
agama yang juga diserang oleh David Hume. Dia memberikan lima alasan untuk
menolak mukjizat, yaitu:
1. Sepanjang sejarah
mukjizat tidak pernah diakui oleh sejumlah ilmuan dan kaum terpelajar.
2. Sebagian manusia
memang memiliki kecenderungan untuk percaya kepada peristiwa-peristiwa yang
luar biasa. Namun keyakinan ini tidak mendukung kebenaran mukjizat.
3. Kajian peradaban
membuktikan bahwa mukjizat hanya cocok terutama bagi masyarakat terbelakang
sedangkan bagi masyarakat yang telah maju justru menolaknya. Semakin kita
percaya kepada ilmu semakin tidak mampu kita ditipu oleh takhayul (the more
we believe in science the less we are likely to be deceived by superstition).
4. Semua agama wahyu
memonopoli kebenaran mukjizat.
5. Data sejarah yang
dapat dipecaya menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa di dunia ini jelas,
seperti kita bisa mengetahui tanggal terbunuhnya Julius Caesar.[35]
Apa relevansi filsafat
yang amat ekstrem dan memang sudah sering dikritik itu? Bahwa kita tidak dapat
mempunyai dan memang sudah pasti dan tidak dapat memahami apa-apa. Jadi,
sebaiknya kita hidup bagi sesaat saja. Paham seperti Allah, tanggung jawab dan
nilai adalah tanpa arti. Empirisme mempersiapkan nihilisme.[36]
4. George Berkeley
George Berkeley sebagai
penganut empirisme mencanangkan teori yang dinamakan “immaterialisme” atas
dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia bertolak belakang dengan pendapat John
Locke yang masih menerima substansi dari luar. Berkeley berpendapat sama sekali
tidak ada substansi-substansi material dan yang ada hanya pengalaman ruh saja
karena dalam dunia material sama dengan ide-ide.[37]
Berkeley
mengilustrasikan dengan gambar film yang ada dalam layar putih sebagai benda
yang riil dan hidup. Pengakuannya bahwa “aku” merupakan suatu substansi rohani.
Tuhan adalah asal-usul ide itu ada yang menunjukkan ide-ide pada kita dan
Tuhanlah yang memutarkan film pada batin kita.
Sepintas kita pahami
bahwa konsep pemikirannya ada kemiripan dengan paham fatalism dari Inggris,
perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Tuhan. Juga
hampir sama dengan paham Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki
kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatan.
C. Telaah Kritis atas Pemikiran Filsafat Empirisme
Meskipun aliran filsafat
empirisme memiliki beberapa keunggulan bahkan memberikan andil atas beberapa
pemikiran selanjutnya, kelemahan aliran ini cukup banyak. Prof. Dr. Ahmad
Tafsir mengkritisi empirisme atas empat kelemahan,[38]
yaitu:
1. Indera terbatas,
benda yang jauh kelihatan kecil padahal tidak. Keterbatasan kemampuan indera
ini dapat melaporkan obyek tidak sebagaimana adanya.
2. Indera menipu, pada
orang sakit malaria, gula rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan
menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
3. Obyek yang menipu,
conthohnya ilusi, fatamorgana. Jadi obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia
ditangkap oleh alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan
pengetahuan inderawi salah.
4. Kelemahan ini berasal dari indera dan obyek sekaligus. Dalam
hal ini indera (di sisi meta) tidak mampu melihat seekor kerbau secara
keseluruhan dan kerbau juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara
keseluruhan.
Metode empiris tidak
dapat diterapkan dalam semua ilmu, juga menjadi kelemahan aliran ini, metode
empiris mempunyai lingkup khasnya dan tidak bisa diterapkan dalam ilmu lainnya.
Misalnya dengan menggunakan analisis filosofis dan rasional, filosuf tidak bisa
mengungkapkan bahwa benda terdiri atas timbuanan molekul atom, bagaimana
komposisi kimiawi suatu makhluk hidup, apa penyebab dan obat rasa sakit pada
binatang dan manusia. Di sisi lain seluruh obyek tidak bisa dipecahkan lewat
pengalaman inderawi seperti hal-hal yang immaterial.[39]
Kritik Hume terhadap
agama tampaknya tidak seluruhnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia terlalu
tergesa-gesa mengambil kesimpulan tentang teologia. Di antara kritikan Hume
yang tidak relevan itu ada tiga,[40]
yakni:
Pertama, Hume cenderung mempertentangkan
dua bentuk teisme yang monopolar dan mengabaikan sintesis dipolar.
Dalam hal ini ada dua pola, yaitu mistisisme dan antropromorpisme. Dalam
mistisisme, Tuhan berada dalam konsepsi positif tetapi tidak sempurna. Tuhan
adalah sempurna, abadi dan wajib ada. Dunia di lain pihak tidak sempruna,
terbatas dan mungkin ada. Sesuatu yang sempurna hanya dapat dijelaskan lewat
pendekatan dipolar, bukan monopolar sebagaimana yang dikemukakan
Hume.
Kesempurnaan Tuhan dapat
digambarkan dari ketidaksempurnaan dunia. Seandainya dunia tidak ada atau ada
tetapi sempurna, maka kesempurnaan Tuhan akan sulit diidentifikasi. Kritikan
Hume hanya terbatas pada aspek empiris saja, yakni Tuhan yang tak terbatas
berada dalam dunia yang terbatas. Contoh lain memperkuat argumen ini adalah
kebaikan hanya dapat dipahami kalau ada kejahatan.
Kedua, Hume mengabaikan
peranan akal dalam menangkap realitas. Padahal akal mampu menghubungkan
kejadian-kejadian yang lampau dengan kejadian sekarang bahkan meramalkan
sesuatu yang akan datang. Akal juga mampu memberikan ide-ide umum tentang
fakta-fakta yang beragam. Contohnya mobil, sepeda dan pesawat diabstraksikan
oleh akal menjadi alat transportasi.
Ketiga, Hume terlalu meredusir
semua realitas dalam kajian empiris sehingga dia terjerumus pada determinisme
empiris. Realitas alam menjadi sempit dan kecil serta mutlak dan tidak pernah
berubah. Padahal realitas sangat luas dan di luar alam empiris masih tedapat
wujud lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemikiran filsafat
mengalami kemajuan pesat pada abad 17-18. Setelah para sarjana menyelesaikan
studinya di Barat. Empirisme dan rasionalisme adalah dua aliran filsafat yang
cukup berpengaruh pada saat itu.
2. Emprisme adalah suatu
paham filsafat yang mengajarkan bahwa kebenaran itu adalah yang logis dan ada
bukti empris.
3. Peletak dasar empiris
pertama adalah Francis bacon, bapak empirisnya Jhon Locke dan beberapa filsuf
lainya seperti Thomas Hobbes, Berkeley, David Hume dan lainnya.
4. Meskipun aliran
empirisme sangat berpengaruh atas pemikiran-pemikiran filsafat selanjutnya
namun banyak dijumpai kelemahan baik metode, obyek tentang empiris.
5. Empirisme menganggap
agama, mukjizat, bahkan Tuhan sebagai keyakinan yang tidak logis dan tidak bisa
dibuktikan secara ilmiah hanya karena empirisme tidak mampu membuktikan
eksistensi immateri.
B. Saran dan Kritik
Dengan kerendahan hati,
penulis merasa makalah ini sangat sederhana dan jauh dari kesempuraan. Saran
kritik yang konstuktif sangat diperlukan demi kesempurnaan makalah sehingga
akan lebih bernanfaat kontibusinya bagi hazanah keilmuan. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati
Sejak Thales Sampai James, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan,
Surabaya : Usaha Nasional, 1403.
Amsal Baktiar, Filsafat Agama 1, Jakarta:
Logos, 1997.
Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu
Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Eika Sejak
Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta: kanisius, 1997.
Harold H. Titus, et.all, terj. Muhammad Rasjidi,
Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, tt.
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat
2, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam
Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Juhana S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan
Etika, Jakarta : Prenada media, 2008.
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al
Quran, Bandung : Mizan, 1989.
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu-ilmu, Yogyakarta:
Belukar, 2005.
M. Thoyibi (ed), Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya, Surakarta: Muhammadiyah Universitas Press, 1994.
Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Dasar
Filsafat Islam, Bandung: Mizan, tt.
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Rakesarasin, 2001.
[2] Ali Saifullah, Antara Filsafat dan
Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1403 H, hlm. 56
[7] Harold H. Titus, et.all, terj. Muhammad
Rasjidi, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, tt, hlm.
343.
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati
sejak Thales sampai James, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 21.
[23] M. Thoyibi (ed), Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya, Surakarta: Muhammadiyah Universitas Press, 1994, hal. 69
[28] Franz Magnis – Suseno, 13 Tokoh Eika Sejak
Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta: kanisius, 1997, hal. 123.
0 Response to "FILSAFAT EMPIRISME"
Post a Comment