RESENSI BUKU PERLAWANAN SANTRI PINGGIRAN

RESENSI BUKU
PERLAWANAN SANTRI PINGGIRAN
 Resensi ini ditulis guna memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Budaya Lokal yang diampu oleh Drs.Radjasa Mu’tasim. M.Si




  
Peresensi
Soni Agus Setiawan    11420098




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013


Judul Buku             : Perlawanan Santri Pinggiran
Penulis                    : Drs.Radjasa Mu’tasim.M.Si
Penerbit                  : Insan  Madani
Tanggal Terbit        : Juli 2010
Jumlah Halaman     : 191
Jenis Cover             : Hard & Soft Cover
Kategori                  : Penelitian
Teks                        : Bahasa Indonesia
Peresensi                 : Soni Agus Setiawan
PERLAWANAN SANTRI PINGGIRAN
Agama yang berkembang di masyarakat desa dengan masyarakat kota tampak terlihat berbeda. Hal ini dikarenakan para pemeluk agama menyesuaikan dengan kondisi budayanya, Inilah yang sering dikenal dengan  istilah “akulturasi” , yang terjadi antara agama yang masuk dengan budaya setempat. Sama halnya ketika agama yang datang dalam suatu Negara, misal Indonesia, dimana mayoritas penduduk di negara ini adalah beragama islam. perilaku agama mereka berbeda dengan pemeluk agama islam yang berada di Amerika, Australia dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa agama yang berkembang dalam masyarakat itu saling berpengaruh dalam budaya setempat. Inilah beberapa hal yang dibahas dalam buku perlawanan santri pinggiran.
Dalam buku  ini, Drs.Radjasa Mu’tasim.M.Si hendak mengangkat kasus yang terjadi di Desa Mangadeg yang berkaitan dengan ekspresi keagamaan yang terjadi di pedesaan Kota Sleman, Yogyakarta. Dengan judul buku yang menarik dan bahasa yang mudah dipahami, penulis mencoba mengupas tuntas dengan penelitian yang dilakukannya selama berada di desa tersebut. Jika dilihat dari lokasinya, pedesaan ini memang berada dipinggiran. Begitu juga untuk bidang sosial maupun politik yang bisa dikatakan “terpinggirkan”. Yang kemudian membentuk santri pinggiran.
Desa Mangadeg merupakan pedesaan yang berada pada dataran rendah yang subur. Berbagai tanaman produktif seperti padi, palawija, tembakau dan tebu banyak dijumpai. Desa ini terletak di  daerah sleman yang notabene masyarakatnya agraris , mereka lebih suka menggarap sawah dan berternak ketimbang bekerja di sektor lain.  Selain itu, airnya yang melimpah, tanah yang subur dan udara yang sedang menjadikan daerah ini menjadi desa yang nyaman untuk disinggahi. Jika diperhatikan, desa ini dulunya pernah ada yang menghuni, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan yang usianya setara dengan umur candi Borobudur dan candi prambanan yang dibangun pada abad VII Masehi.
Lokasi desa yang tidak terlalu jauh dengan perkotaan menjadikan peluang bagi para penduduk untuk mengakses pusat-pusat ekonomi dan pendidikan yang berada di kota. Hal ini didukung dengan dibangunnya sektor transportasi yang berupa jalan beraspal yang mempermudah transportasi dari desa ke kota. Listrik pun sudah masuk di desa ini, sehingga mempermudah informasi seperti desa-desa lain. Tetapi penduduk desa ini lebih memilih berprofesi menjadi petani ketimbang harus pergi ke kota. Hal ini disebabkan karena keterbatasan SDM yang menuntut agar bisa meraih pekerjaan di kota dan juga dari sektor pertanian yang merupakan profesi yang paling akrab dengan mereka dan tidak mengandung resiko. Maka meskipun secara geografis desa ini sudah dihubungkan dengan kota, tetapi secara kultural desa ini masih saja terisolasi. Apalagi faktor agama yang berperan melestarikan keterasingan desa ini.  Walaupun fasilitas-fasilitas yang mendukung terjadi perubahan sudah lama, tetapi mereka masih diwarnai pola pikir komunal dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka memilih mempertahankan kebisaaan lama karena dengan itu mereka masih mempertahankan kebersamaan, dari pada berubah tetapi kebersamaan malah hilang. Seperti yang terlihat ketika malam hari, mereka suka  bercengkerama dan berbincang-bincang di badan jalan, yang sebenarnya perilaku ini tidaklah baik, karena dapat mengganggu pengguna jalan dan akan membahayakan bagi mereka juga. Perbedaan mencolok yang terjadi di desa ini antara masyakarat yang stagnan / statis dengan keadaan fisik yang sudah dibangun pemerintah memang menimbulkan pertanyaan. Mereka mengatakan lebih memilih duduk-duduk di badan jalan ketimbang mengganggu tetangga karena juga yang melewati jalan tersebut tidaklah banyak.
Penulis juga menyebutkan bahwa Jumlah Penduduk desa pada tahun 1997 yang tercantum di papan monografi berjumlah 2.457 orang, terdiri dari 1.276 lak- laki dan 1.181 perempuan. Dengan mayoritas penduduk desa ini adalah petani (80,7 %) sisanya terdiri dari pegawai negeri sipil (8,3 %), buruh pabrik (10,2%), dagang dan usaha swasta(1,8%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa mayoritas petani menunjukkan tidak adanya pola yang tidak menyukai perubahan dan lebih mementingkan ketenangan dan kemapanan. Selain itu mereka juga memelihara binatang ternak seperti sapi, kambing dan ayam. Hal tersebut menunjukkan adanya keakraban antara penduduk desa Mangadeg dengan alam, sehingga dalam kehidupan mereka seperti tak terlepas dengan alam.
Binatang ternak yang mereka miliki dijadikan sebagai tolok ukur atau prestise dalam sektor ekonomi, dimana ketika seseorang yang mempunyai binatang banyak berarti dia mempunyai perekonomian yang lebih baik. Binatang ini dipajang di depan rumah layaknya mobil, selain itu, alasan mereka meletakkan di depan rumah karena demi keamanan bagi mereka, walaupun sebenarnya perilaku ini merusak keindahan dan dapat beresiko teradap kesehatan mereka.
Selain itu, penulis juga menyebutkan bahwa Agama yang dipeluk oleh masyarakat Mangadeg hanya satu yaitu Islam. dengan bermadzhabkan syafi’i sebagaimana muslimin di Indonesia pada umumnya. Mereka sangat teguh berafiliasi dengan NU (Nahdlatul ‘Ulama) yang dikenal dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dalam memeluk islam masyarakat Mangadeg sangat fanatik sesuai yang diajarkan oleh Kiai. Mereka melaksanakan agama sebagaimana orang tua terdahulu secara turun temurun. Apabila ada pemeluk agama lain yang datang ke desa ini, mereka akan terasingkan karena tidak mendapatkan lingkungan yang kondusif. Seperti ketika akan dibangun perumahan. Mereka menentang keras dengan alasan yang tidak jelas, walaupun telah mendapatkan persetujuan dari pihak pemerintah daerah sampai tingkat lurah. Setelah pembangunan perumahan itu tetap berjalan, mereka melarang bagi pemilik perumahan tersebut untuk memakamkan di kuburan desa. Karena kuburan itu dikhususkan untuk muslim. Hal ini merupakan penentangan mereka yang akan mengancam eksistensi mereka dan tokoh agama.
Agama selalu dijadikan dasar dalam mengambil keputusan dan alat legimitasi dalam pengambilan sikap. Bahkan agama menjadi pertimbangan dalam hubungannya dengan ekonomi dan politik. Mereka akan memilih partai yang diikuti oleh Kiai. Pola keberagaman seperti ini menempatkan Kiai sebagai tokoh sentral dalam segala hal. Kiai bukan hanya dijadikan sebagai figure teladan tetapi juga sebagai acuan dalam hampir seluruh aspek kehidupan di desa ini. Tetapi juga bentuk ketundukan ini mengakibatkan lambatnya perubahan masyakat, karena mereka tidak akan bergerak sebelum Kiai memberikan lampu hijau.
Dalam kehidupan bermasyarakat mereka sangat mematuhi perintah pemimpin yang direpresentasikan oleh Kiai, apa yang diyakininya juga menjadi keyakinan masyarakat. Sehingga ketika terjadi wacana yang berbeda dengan apa yang diwacanakan pemimpin, maka akan muncul reaksi keras dari masyarakat itu sendiri, karena mereka tidak menginginkan ketidakselarasan dalam kehidupan mereka. Dalam hal ini juga mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memproduksi sendiri wacana-wacana yang bekaitan dengan kepentingan hidup mereka. Seperti yang terjadi pada pemilihan partai politik, ketika Kiai memilih Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masyarakat memilih partai tersebut, bahkan menjadi pendukung yang fanatik. Kemudian ketika seorang Kiai berpindah ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) seketika itu juga masyarakat ikut berubah mengikuti partai tersebut. Semua itu terjadi karena pendirian Kiai yang berubah sehingga masyarakat pun ikut berubah.
Bukan hanya itu, Pola beragama (islam) yang fanatik, sangat ketat mengontrol warganya untuk beragama yang sudah dilaksanakan secara turun temurun menjadikan desa ini dikenal sebagai desa santri. Karena memang di desa ini mayoritas penduduknya adalah para santri. Dan berbagai macam kegiatan yang mereka lakukan pun dikaitkan dengan persoalan agama. Kelompok masyarakat yang berada di luar desa ini melihat Mangadeg sebagai patron dalam menjalankan ajaran agama karena wibawa tokoh keagamaannya. Namun bagi masyarakat umum, justru sebaliknya. Mereka melihat Mangadeg sebagai desa kelam, karena sebagian tindak criminal yang dilakukan oleh sebagian desa ini. Memang agak kontradiktif, Mangadeg desa santri tetapi sering terjadi tindak criminal di dalamnya. Dan beberapa penduduknya menjadi residivis.(1)
Dalam kehidupan penduduknya terlihat bahwa mereka adalah penduduk yang taat. Seorang laki-laki dihiasi dengan busana berpeci dan bersarung, bagi perempuan berkerudung dan berpakaian panjang dengan norma agama yang akan sangat mereka pegang erat. Tetapi jika ditinjau dari pola beragama yang kaku, mereka memahami perintah agama hanya sebatas normative-individualis dan mengarah pada sikap yang fatalistik.
Upaya membangun citra desa Mangadeg dilakukan oleh Kiai dengan cara membangkitkan kebanggaan sebagai penduduk desa yang memiliki sejarah yang patut untuk dibanggakan seperti tokoh sejarah yang mereka puja yaitu Pangeran Diponegoro. Nama desa mereka pun konon berkaitan dengan Pangeran  Diponegoro. Nama desa Mangadeg dalam bahasa jawa artinya adalah berdiri, tinggal dan singgah.  Hal ini dikaitkan dengan tinggal atau singgahnya Pangeran Diponegoro di desa ini untuk bersembunyi dari kejaran Belanda. Dalam padangan masyarakat Pangeran Diponegoro bukan hanya sebatas Pahlawan pemberontak terhadap penjajahan pemerintahan belanda. Tetapi juga sebagai Kiai yang memperjuangkan Islam.
Buku ini juga membahas tentang Pangeran Diponegoro yang merupakan tokoh yang melegenda di Yogyajakarta, sehingga hal-hal yang berkaitan dengannya akan dianggap keramat. Dari sinilah masyarakat Mangadeg mendapatkan keuntungan sejarah, sehingga dihormati oleh masyarakat sekitar. Hal serupa juga terjadi di Magelang, misalnya desa Pabelan karena di masyarakat berkembang wacana yang diyakini kebenarannya bahwa Pabelan merupakan tempat Pangeran Diponegoro bersembunyi, dan bahkan salah satu pengikutnya, Kiai Mojo, tinggal di desa itu. Maka Desa Pabelan sampai sekarang sangat disegani, dan disitu berdiri pesantren yang cukup maju.
Salah satu pengaruh besar yang dibawakan oleh Kiai dengan mengangkat citra Pangeran Diponegoro nampak jelas ketika masyarakat berhubungan dengan pemerintah, yaitu ketika terjadi pemilihan parpol pada masa orde baru. Indentifikasi diri sebagai seorang pemberontak kepada pemerintah sekarang masih berkembang kuat. Hal ini dibuktikan dengan bukan hanya penolakan salah satu parpol, tetapi juga terahadap symbol-simbol resmi pemerintah. Seperti acara dalam memperingati Hari kemerdekaan yang mereka isi dengan tahlilan. Dimana dalam acara ini bukan pejabat Negara tententunya. Tetapi seorang Kiai yang menjadi panutan masyarakat.
Peran Kiai dalam mengembangkan kemimpinan terlihat dengan adanya hubungan Kiai dengan aparatur pemerintah, yaitu dengan dijadikannya Kiai sebagai pemimpin formal di masyarakat. Kiai adalah tokoh sentral, sementara itu, kepala dukuh bukan hanya menjadi subordinasi dari kepemimpinan Kiai. Tetapi menjadi faktor dalam menjaga kewibaan Kiai. Posisi kepala dukuh di hadapan Kiai kepala dukuh diberi kesempatan untuk memberikan sambutan dalam suatu acara. Baik acara tersebut yang notebene memang acara keagamaan maupun acara formal dimana kepala dukuh tetap merasa menjadi pengikut Kiai yang tunduk atas keputusan Kiai.
Dalam bab lain, Rajasa Mu’tasim menjelaskan bahwa wacana keagamaan yang berkembang di masyarakat ini tidaklah agama yang bersifat universal tetapi lebih bersifat lokal, karena agama yang masuk dalam masyarakat berbentur dengan budaya  faktual  yang terjadi dalam kehidupan mereka, sehigga agama harus menyesuaikan dengan wacana yang berkembang dan terjadi dalam masyarakat. Teks-teks keagamaan yang dikembangkan dan bisa dipahami masyarakat adalah yang mengikuti pola kebudayaan lokal.
Teks-teks keagamaan ini menjadi sumber pengetahuan masyarakat menjadi terbatas dan bersifat normative individualistic. Teks-teks tersebut mengalami transformasi dan berkembang dalam bentuk wacana publik yang pada awalnya disampaikan tokoh agama setempat yang kemudian menyebar dan diyakini kebenarannya oleh para pengikutnya. Dalam hal penafsiran teks agama, mereka tidak bisa semerta-merta menafsirkan dan melaksanakan apa yang diperintahkan. Mereka sendiri tidak bisa memahami teks yang berbahasa arab walaupun mereka bisa membaca teks arab. Sehingga mereka menggantungkan diri kepada Kiai yang menjadi salah satu sumber kebenaran. Dalam belajar bahasa arab mereka hanya sekedar bisa membaca atau mengenal huruf, karena dalam belajar bahasa arab diperlukan pendidikan tertentu dan waktu yang lama apalagi belum ada pola pengajaran yang efisien.
Dalam hal yang hampir sama, terkait dengan teks-teks yang berupa buku agama. Drs.Radjasa Mu’tasim.M.Si memaparkan bahwa mereka tidak semerta-merta menggunakan dan mengamalkannya juga. Walaupun mereka mungkin akan paham dengan isinya karena telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tetapi mereka tidak mau menggunakannya, karena buku agama atau kitab itu harus mendapatkan izin dari Kiai dan apabila sang Kiai tidak mengizinkan maka seolah-olah buku itu haram untuk diamalkan. Ada juga kitab yang hanya boleh diamalkan oleh orang tertentu, mereka yang mendapatkan ijazah dari Kiai. Sehingga tidak semua orang bisa mengamalkannya. Kalau dilihat desa ini masih terpengaruh terhadap tradisi pesantren salaf, yaitu pesantren yang masih memegangi nilai-nilai lama. Mereka memang harus mendapatkan izin dari Kiai dalam hal tersebut.
Buku ini menerangkan bahwa teks keagamaan di desa ini adalah apa yang diajarkan oleh Kiai kepada masyarakat. Sehingga menjadi sumber agama secara kolektif. Teks keagamaan ini kemudian  melahirkan  wacana-wacana local di masyarakat. Tetapi untuk masyarakat Mangadeg mereka membutuhkan Kiai untuk bisa menjelaskan maksud dan isi dari teks-teks agama tersebut. Jadi tidak teoat menghubungkan secara langsung teks dengan wacana dan perilaku. Yang mungkin dianalisis adalah keterkaitan teks dengan interpretasi Kiai dan substansi yang diajakan Kiai kepada masyarakat.dimana apa yang telah difatwakan tidak dijadikan referensi yang tidak pernah mengalami perubahan dan perkembangan. Referensi itu berupa kitab yang diajarkan di pesantren yang merupakan karya ulama pada abad pertengahan. Referensi lain adalah teks khotbah jum’at yang lebih actual , dimana khotbah ini disampaikan oleh Kiai. Kiatab khotbah ini dikatakan lebih actual karena kitab ini ditulis pada  abad kini. Teks khotbah ini ditulis dalam aksara Arab. Walaupun bahasanya adalah bahasa jawa. Huruf seperti ini disebut sebagai arab pegon. Yaitu g\huruf arab yang digunakan untuk menulis bahasa jawa atau bahasa Indonesia. Isi dari buku tersebut telah disusun sedemikian rupa sehingga cukup untuk setahun. Jika dilihat dari tema yang disampaikan dalam khotbah, cukup relevan dengan pembinaan kualitas lebih diutamakan daripada pembinaan kualitas jama’ah / sosial.
Beberapa upacara keagamaan juga berkembang pada  masyakakat Mangadeg , hal ini ada bukan karena peranan agama saja tetapi karena kebudayaan lokal yang berakar pada kebudayaan lama. Hal ini menunjukkan betapa kebudayaan jawa masih kuat mengakar di masyarakat dan mewarnai ajaran agama itu sendiri. Upacara yang dilakukan memang dikemas dengan symbol-simbol islam tetapi system kepercayaannya masih berlandaskan pada system keyakinan jawa. Pada upacara-upacara terlihat terjadinya proses interaksi antara kebudayaan jawa dengan islam. Ada proses islamisasi di jawa pedesaan, dan ini Nampak jelas pada tingkat simbolik. Tetapi di balik itu semua berlangsung juga proses jawanisasi Islam.
Pelaksaan ritual agama yang berupa shalat jum’at dilaksanakan rutin sesuai jadwal yang sudah ditetapkan. Ketika adzan shalat jum’at telah dikumadangkan, mereka bergegas-gegas menuju masjid, Berbagai wacana agama disampaikan oleh sang khotib yang tidak lain adalah Kiai. Dalam shalat jum’at yang salah satu hikmahnya adalah untuk menjalin ukhuwah islamiyah kadang malah tidak terasa bahkan tidak ada. Mereka melaksanakan shalat jum’at ada yang hanya sekedar untuk melaksanakan kewajiban menghilangkan tuntutan dan untuk mendapatkan pahala. Sehingga rasa kebersamaan yang seharusnya terjalin malah tidak tercapai. Ajaran islam yang mengajarkan bahwa shalat jum’at harus dilaksanakan secara berjamaah, maka mereka lakukan sesuai dengan ajaran itu. Jadi mereka berkumpul bukan untuk membangun sebuah kebersamaan, melainkan untuk melaksanakan kewajiban. Sehabis shalat jum’at mereka kembali ke rumahnya masing-masing tanpa ada panggilan bahwa di sekeliling mereka sebenarnya banyak persoalan yang perlu untuk diselesaikan secara bersama-sama.
Penulis juga menambahkan, ketika Khotbah disampaikan, kadang tidak menyangkut persoalan masyarakat dan lebih condong kepada perintah untuk bertaqwa. yaitu dengan cara melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dimana hal ini telah menjadi wacana umum yang termuat dalam semua buku khotbah. Sehingga masyarakat memahaminya sebagai wacana mutlak yang disampaikan Tuhan. Wacana yang menyingung persoalan bersama hanya dapat dipahami secara implisit, itu pun disampaikan dalam bahasa Arab. Kalau wacana sosial tidak pernah muncul pada saat itu, ketika semua berkumpul semua, maka dapat dipahami bahwa wacana sosial yang dimaksud tidak muncul juga dalam momen lain. Padahal tanpa ada wacana sosial yang baik, maka wawasan sosial masyarakat  menjadi sempit, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada perilaku sosial anggota masyarakat.
Wacana keagamaan local yang berkembang di masyarakat di interpretasikan oleh Kiai dengan menggunakan perspektif budaya local (jawa) dengan apa yang dipahaminya. Kemudian hasil dari interpretasi tersebut dijadikan sebagai pegangan yang perlahan mempengaruhi dan membentuk perilaku masyarakat. Dalam perspektif analisis wacana, perilaku masyarakat itu merupakan refleksi dari kesadaran kolektif masyarakat. Dalam hal yang sama masih ada perilaku masyarakat yang berpandangan bahwa mencuri dan merampok terhadap lawan politik bisa dibenarkan seperti pemahaman nenek moyang mereka pada masa perang melawan penjajah. Hal ini karena masih ada hubungannya dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro terhadap penjajahan belanda. Walaupun sebenarnya pemberontakan yang dilakukan tidak sesuai dengan wacana zaman sekarang.
Dari pernyataan lain yang diungkapkan oleh Drs.Radjasa Mu’tasim.M.Si adalah ketika penelitian ini dilakukan pada akhir tahun 1998 masih banyak masyarakat yang masih anti terhadap segala sesuatu yang berasal dari pemerintah. Misalnya kepada aparatur pemerintah partai Golkar yang mereka anggap musuh. Persaingan politik antara partai Golkar sebagai partai pemerintah dan PPP sebagai partai Kiai membuat Kiai sangat membenci golkar dengan sangat serius.
Sebagai seorang peneliti, penulis mejelaskan berbagai macam hal yang terjadi di desa mangadeg secara jelas dan bahkan dalam ritual-ritual yang ada di desa tersebut
Buku ini memiliki kelebihan dan kelemahan,beberapa kelebihan dalam buku karena di dalamnya disajikan beberapa praktik keagamaan yang terjadi di mangadeg di daerah magelang. beberapa skema tata ruang dalam kegiatan juga disajikan. Semisal dalam acara pengajian. Selain bahasa yang mudah dicerna dan dipahami, di dalam buku ini juga kedetailan materi juga menjadi hal yang menjadi kelabihannya.
Adapun kekurangan buku ini adalah masih ada ketidakjelasan kapan tepatnya penelitian di desa mangadeg, karena tanggal, bulan maupun tahun sangat perlu dipaparkan agar mengetahui persisnya penelitian ini dilakukan, kemudian dalam hal menjelaskan tentang kiai terkesan terlalu memojokkan sehingga kesan kiai seperti pelaku utama adanya segala hal yang terjadi di desa tersebut. Selain itu bahasa dan ungkapan yang dimuat berulang-ulang dan hampir semua yang dituturkan kembali ke kiai.
Hemat peresensi, buku ini memuat berbagai hal yang terjadi di desa magadeg, mulai dari latar belakang desa, letak geografis dan hal-hal yang berhubungan dengan praktik agama dan budaya.

Soni Agus Setiawan    11420098

 
Dengan demikian, buku ini sangat bagus untuk dibaca, sehingga para pembaca dapat mendapat informasi untuk sumber penelitian yang lainnya, dan bisa memahami pola pikir masyarakat dan hal-hal terjadi di dalamnya.
Sonie Elbalarjani Muta'alim, Mahasiswa, Santri

0 Response to "RESENSI BUKU PERLAWANAN SANTRI PINGGIRAN"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel