RESENSI BUKU PERLAWANAN SANTRI PINGGIRAN
Thursday, August 27, 2015
Add Comment
RESENSI BUKU
PERLAWANAN SANTRI PINGGIRAN
Resensi ini ditulis guna memenuhi
tugas mata kuliah Islam dan Budaya Lokal yang diampu oleh Drs.Radjasa
Mu’tasim.
M.Si
Peresensi
Soni
Agus Setiawan 11420098
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013
Judul Buku : Perlawanan Santri Pinggiran
Penulis : Drs.Radjasa Mu’tasim.M.Si
Penerbit : Insan Madani
Tanggal Terbit : Juli 2010
Jumlah Halaman : 191
Jenis Cover : Hard & Soft Cover
Kategori : Penelitian
Teks : Bahasa Indonesia
Peresensi : Soni Agus Setiawan
PERLAWANAN
SANTRI PINGGIRAN
Agama yang berkembang di masyarakat desa dengan masyarakat
kota tampak terlihat berbeda. Hal ini dikarenakan para pemeluk agama
menyesuaikan dengan kondisi budayanya, Inilah yang sering dikenal dengan istilah
“akulturasi” ,
yang terjadi antara agama yang masuk dengan budaya setempat. Sama halnya ketika
agama yang datang dalam suatu Negara, misal Indonesia, dimana mayoritas
penduduk di negara ini adalah beragama islam. perilaku agama mereka berbeda
dengan pemeluk agama islam yang berada di Amerika, Australia dan sebagainya.
Hal ini menunjukkan bahwa agama yang berkembang dalam masyarakat itu saling berpengaruh
dalam budaya setempat. Inilah beberapa hal yang dibahas dalam
buku perlawanan santri pinggiran.
Dalam
buku ini, Drs.Radjasa Mu’tasim.M.Si
hendak mengangkat kasus yang terjadi di Desa Mangadeg yang berkaitan dengan
ekspresi keagamaan yang terjadi di pedesaan Kota Sleman, Yogyakarta. Dengan
judul buku yang menarik dan bahasa yang mudah dipahami, penulis mencoba
mengupas tuntas dengan penelitian yang dilakukannya selama berada di desa
tersebut. Jika dilihat dari lokasinya, pedesaan ini memang berada dipinggiran.
Begitu juga untuk bidang sosial maupun politik yang bisa
dikatakan “terpinggirkan”. Yang kemudian membentuk santri pinggiran.
Desa Mangadeg merupakan pedesaan yang berada pada dataran
rendah yang subur. Berbagai tanaman produktif seperti padi, palawija, tembakau dan tebu banyak
dijumpai. Desa ini terletak di
daerah sleman yang notabene masyarakatnya agraris , mereka lebih suka
menggarap sawah dan berternak ketimbang bekerja di sektor lain. Selain itu, airnya yang melimpah, tanah yang
subur dan udara yang sedang menjadikan daerah ini menjadi desa yang nyaman
untuk disinggahi. Jika diperhatikan, desa ini dulunya pernah ada yang menghuni,
hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan yang usianya setara dengan
umur candi Borobudur dan candi prambanan yang dibangun pada abad VII Masehi.
Lokasi desa yang tidak terlalu jauh dengan perkotaan
menjadikan peluang bagi para penduduk untuk mengakses pusat-pusat ekonomi dan
pendidikan yang berada di kota. Hal ini didukung dengan dibangunnya sektor transportasi yang berupa jalan beraspal yang mempermudah
transportasi dari desa ke kota. Listrik pun sudah masuk
di desa ini, sehingga
mempermudah informasi seperti desa-desa lain. Tetapi penduduk desa ini lebih
memilih berprofesi menjadi petani ketimbang harus pergi ke kota. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan SDM yang menuntut agar bisa meraih pekerjaan di
kota dan juga dari sektor pertanian yang merupakan profesi yang paling akrab
dengan mereka dan tidak mengandung resiko. Maka meskipun secara geografis desa
ini sudah dihubungkan dengan kota, tetapi secara kultural desa ini masih saja
terisolasi. Apalagi faktor agama yang berperan melestarikan keterasingan desa
ini. Walaupun fasilitas-fasilitas yang
mendukung terjadi perubahan sudah lama, tetapi mereka masih diwarnai pola pikir komunal dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Mereka memilih mempertahankan kebisaaan lama
karena dengan itu mereka masih mempertahankan kebersamaan, dari pada berubah
tetapi kebersamaan malah hilang. Seperti yang terlihat ketika malam hari,
mereka suka bercengkerama dan berbincang-bincang
di badan jalan, yang sebenarnya perilaku ini tidaklah baik, karena dapat
mengganggu pengguna jalan dan akan membahayakan bagi mereka juga. Perbedaan
mencolok yang terjadi di desa ini antara masyakarat yang stagnan / statis
dengan keadaan fisik yang sudah dibangun pemerintah memang menimbulkan
pertanyaan. Mereka mengatakan lebih memilih duduk-duduk di badan jalan
ketimbang mengganggu tetangga karena juga yang melewati jalan tersebut tidaklah
banyak.
Penulis juga menyebutkan bahwa Jumlah Penduduk desa pada
tahun 1997 yang tercantum di papan monografi berjumlah 2.457 orang, terdiri dari
1.276 lak- laki dan 1.181 perempuan. Dengan mayoritas penduduk desa ini adalah
petani (80,7 %) sisanya terdiri dari pegawai negeri sipil (8,3 %), buruh pabrik
(10,2%), dagang dan usaha swasta(1,8%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
mayoritas petani menunjukkan tidak adanya pola yang tidak menyukai perubahan
dan lebih mementingkan ketenangan dan kemapanan. Selain itu mereka juga
memelihara binatang ternak seperti sapi, kambing dan ayam. Hal tersebut
menunjukkan adanya keakraban antara penduduk desa Mangadeg dengan alam,
sehingga dalam kehidupan mereka seperti tak terlepas dengan alam.
Binatang ternak yang mereka miliki dijadikan sebagai
tolok ukur atau prestise dalam sektor ekonomi, dimana ketika seseorang yang
mempunyai binatang banyak berarti dia mempunyai perekonomian yang lebih baik.
Binatang ini dipajang di depan rumah layaknya mobil, selain itu, alasan mereka meletakkan
di depan rumah karena demi keamanan bagi mereka, walaupun sebenarnya perilaku
ini merusak keindahan dan dapat beresiko teradap kesehatan mereka.
Selain itu, penulis juga menyebutkan bahwa Agama yang
dipeluk oleh masyarakat Mangadeg hanya satu yaitu Islam. dengan bermadzhabkan
syafi’i sebagaimana muslimin di Indonesia pada umumnya. Mereka sangat teguh
berafiliasi dengan NU (Nahdlatul ‘Ulama) yang dikenal dengan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Dalam memeluk islam masyarakat Mangadeg sangat fanatik sesuai yang
diajarkan oleh Kiai. Mereka melaksanakan agama sebagaimana orang tua terdahulu
secara turun temurun. Apabila ada pemeluk agama lain yang datang ke desa ini,
mereka akan terasingkan karena tidak mendapatkan lingkungan yang kondusif.
Seperti ketika akan dibangun perumahan. Mereka menentang keras dengan alasan
yang tidak jelas, walaupun telah mendapatkan persetujuan dari pihak pemerintah
daerah sampai tingkat lurah. Setelah pembangunan perumahan itu tetap berjalan,
mereka melarang bagi pemilik perumahan tersebut untuk memakamkan di kuburan
desa. Karena kuburan itu dikhususkan untuk muslim. Hal ini merupakan
penentangan mereka yang akan mengancam eksistensi mereka dan tokoh agama.
Agama selalu dijadikan dasar dalam mengambil keputusan
dan alat legimitasi dalam pengambilan sikap. Bahkan agama menjadi pertimbangan
dalam hubungannya dengan ekonomi dan politik. Mereka akan memilih partai yang
diikuti oleh Kiai. Pola keberagaman seperti ini menempatkan Kiai sebagai tokoh
sentral dalam segala hal. Kiai bukan hanya dijadikan sebagai figure teladan
tetapi juga sebagai acuan dalam hampir seluruh aspek kehidupan di desa ini.
Tetapi juga bentuk ketundukan ini mengakibatkan lambatnya perubahan masyakat,
karena mereka tidak akan bergerak sebelum Kiai memberikan lampu hijau.
Dalam kehidupan bermasyarakat mereka sangat mematuhi
perintah pemimpin yang direpresentasikan oleh Kiai, apa yang diyakininya juga
menjadi keyakinan masyarakat. Sehingga ketika terjadi wacana yang berbeda
dengan apa yang diwacanakan pemimpin, maka akan muncul reaksi keras dari
masyarakat itu sendiri, karena mereka tidak menginginkan ketidakselarasan dalam
kehidupan mereka. Dalam hal ini juga mereka tidak mempunyai kemampuan untuk
memproduksi sendiri wacana-wacana yang bekaitan dengan kepentingan hidup
mereka. Seperti yang terjadi pada pemilihan partai politik, ketika Kiai memilih
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masyarakat memilih partai tersebut, bahkan
menjadi pendukung yang fanatik. Kemudian ketika seorang Kiai berpindah ke
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) seketika itu juga masyarakat ikut berubah mengikuti
partai tersebut. Semua itu terjadi karena pendirian Kiai yang berubah
sehingga masyarakat pun ikut berubah.
Bukan hanya itu, Pola beragama (islam) yang fanatik,
sangat ketat mengontrol warganya untuk beragama yang sudah dilaksanakan secara
turun temurun menjadikan desa ini dikenal sebagai desa santri. Karena memang di desa ini mayoritas penduduknya adalah para santri.
Dan berbagai macam kegiatan yang mereka lakukan pun dikaitkan dengan persoalan
agama. Kelompok masyarakat yang berada di luar desa ini melihat Mangadeg
sebagai patron dalam menjalankan ajaran agama karena wibawa tokoh keagamaannya.
Namun bagi masyarakat umum, justru sebaliknya. Mereka melihat Mangadeg sebagai
desa kelam, karena sebagian tindak criminal yang dilakukan oleh sebagian desa
ini. Memang agak kontradiktif, Mangadeg desa santri tetapi sering terjadi
tindak criminal di dalamnya. Dan beberapa penduduknya menjadi residivis.(1)
Dalam kehidupan penduduknya terlihat bahwa mereka adalah
penduduk yang taat. Seorang laki-laki dihiasi dengan busana berpeci dan
bersarung, bagi perempuan berkerudung dan berpakaian panjang
dengan norma agama yang akan sangat mereka pegang erat.
Tetapi jika ditinjau dari pola beragama yang kaku, mereka memahami perintah
agama hanya sebatas normative-individualis dan mengarah pada sikap yang
fatalistik.
Upaya membangun citra desa Mangadeg dilakukan oleh Kiai
dengan cara membangkitkan kebanggaan sebagai penduduk desa yang memiliki
sejarah yang patut untuk dibanggakan seperti tokoh sejarah yang mereka puja
yaitu Pangeran Diponegoro. Nama desa mereka pun konon berkaitan dengan Pangeran
Diponegoro. Nama desa Mangadeg dalam
bahasa jawa artinya adalah berdiri, tinggal dan singgah. Hal ini dikaitkan dengan tinggal atau
singgahnya Pangeran Diponegoro di desa ini untuk bersembunyi dari kejaran
Belanda. Dalam padangan masyarakat Pangeran Diponegoro bukan hanya sebatas
Pahlawan pemberontak terhadap penjajahan pemerintahan belanda. Tetapi juga
sebagai Kiai yang memperjuangkan Islam.
Buku
ini juga membahas tentang Pangeran
Diponegoro yang
merupakan tokoh yang melegenda di Yogyajakarta, sehingga hal-hal yang berkaitan
dengannya akan dianggap keramat. Dari sinilah masyarakat Mangadeg mendapatkan
keuntungan sejarah, sehingga dihormati oleh masyarakat sekitar. Hal serupa juga
terjadi di Magelang, misalnya desa Pabelan karena di masyarakat berkembang
wacana yang diyakini kebenarannya bahwa Pabelan merupakan tempat Pangeran
Diponegoro bersembunyi, dan bahkan salah satu pengikutnya, Kiai Mojo, tinggal
di desa itu. Maka Desa Pabelan sampai sekarang sangat disegani, dan disitu
berdiri pesantren yang cukup maju.
Salah satu pengaruh besar yang dibawakan oleh Kiai dengan
mengangkat citra Pangeran Diponegoro nampak jelas ketika masyarakat berhubungan
dengan pemerintah, yaitu ketika terjadi pemilihan parpol pada masa orde baru.
Indentifikasi diri sebagai seorang pemberontak kepada pemerintah sekarang masih
berkembang kuat. Hal ini dibuktikan dengan bukan hanya penolakan salah satu
parpol, tetapi juga terahadap symbol-simbol resmi pemerintah. Seperti acara
dalam memperingati Hari kemerdekaan yang mereka isi dengan tahlilan. Dimana
dalam acara ini bukan pejabat Negara tententunya. Tetapi seorang Kiai yang
menjadi panutan masyarakat.
Peran Kiai dalam mengembangkan kemimpinan terlihat dengan
adanya hubungan Kiai dengan aparatur pemerintah, yaitu dengan dijadikannya Kiai
sebagai pemimpin formal di masyarakat. Kiai adalah tokoh sentral, sementara
itu, kepala dukuh bukan hanya menjadi subordinasi dari kepemimpinan Kiai.
Tetapi menjadi faktor dalam menjaga kewibaan Kiai. Posisi kepala dukuh di
hadapan Kiai kepala dukuh diberi kesempatan untuk memberikan sambutan dalam
suatu acara. Baik acara tersebut yang notebene memang acara keagamaan maupun
acara formal dimana kepala dukuh tetap merasa menjadi pengikut Kiai yang tunduk
atas keputusan Kiai.
Dalam bab lain, Rajasa Mu’tasim menjelaskan bahwa wacana keagamaan
yang berkembang di masyarakat ini tidaklah agama yang bersifat universal tetapi
lebih bersifat lokal, karena agama yang masuk dalam masyarakat berbentur dengan
budaya faktual yang terjadi dalam kehidupan mereka, sehigga
agama harus menyesuaikan dengan wacana yang berkembang dan terjadi dalam
masyarakat. Teks-teks keagamaan yang dikembangkan dan bisa dipahami masyarakat
adalah yang mengikuti pola kebudayaan lokal.
Teks-teks keagamaan ini menjadi sumber pengetahuan
masyarakat menjadi terbatas dan bersifat normative individualistic. Teks-teks
tersebut mengalami transformasi dan berkembang dalam bentuk wacana publik yang
pada awalnya disampaikan tokoh agama setempat yang kemudian menyebar dan
diyakini kebenarannya oleh para pengikutnya. Dalam hal penafsiran teks agama,
mereka tidak bisa semerta-merta menafsirkan dan melaksanakan apa yang
diperintahkan. Mereka sendiri tidak bisa memahami teks yang berbahasa arab
walaupun mereka bisa membaca teks arab. Sehingga mereka menggantungkan diri
kepada Kiai yang menjadi salah satu sumber kebenaran. Dalam belajar bahasa arab
mereka hanya sekedar bisa membaca atau mengenal huruf, karena dalam belajar
bahasa arab diperlukan pendidikan tertentu dan waktu yang lama apalagi belum
ada pola pengajaran yang efisien.
Dalam hal yang hampir sama, terkait dengan teks-teks yang
berupa buku agama. Drs.Radjasa Mu’tasim.M.Si memaparkan bahwa mereka tidak
semerta-merta menggunakan dan mengamalkannya juga. Walaupun mereka mungkin akan
paham dengan isinya karena telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tetapi mereka
tidak mau menggunakannya, karena buku agama atau kitab itu harus mendapatkan
izin dari Kiai dan apabila sang Kiai tidak mengizinkan maka seolah-olah buku
itu haram untuk diamalkan. Ada juga kitab yang hanya boleh diamalkan oleh orang
tertentu, mereka yang mendapatkan ijazah dari Kiai. Sehingga tidak semua orang
bisa mengamalkannya. Kalau dilihat desa ini masih terpengaruh terhadap tradisi
pesantren salaf, yaitu pesantren yang masih memegangi nilai-nilai lama. Mereka
memang harus mendapatkan izin dari Kiai dalam hal tersebut.
Buku ini menerangkan bahwa teks keagamaan di desa ini
adalah apa yang diajarkan oleh Kiai kepada masyarakat. Sehingga menjadi sumber
agama secara kolektif. Teks keagamaan ini kemudian melahirkan
wacana-wacana local di masyarakat. Tetapi untuk masyarakat Mangadeg mereka
membutuhkan Kiai untuk bisa menjelaskan maksud dan isi dari teks-teks agama
tersebut. Jadi tidak teoat menghubungkan secara langsung teks dengan wacana dan
perilaku. Yang mungkin dianalisis adalah keterkaitan teks dengan interpretasi Kiai
dan substansi yang diajakan Kiai kepada masyarakat.dimana apa yang telah
difatwakan tidak dijadikan referensi yang tidak pernah mengalami perubahan dan
perkembangan. Referensi itu berupa kitab yang diajarkan di pesantren yang
merupakan karya ulama pada abad pertengahan. Referensi lain adalah teks khotbah
jum’at yang lebih actual , dimana khotbah ini disampaikan oleh Kiai. Kiatab
khotbah ini dikatakan lebih actual karena kitab ini ditulis pada abad kini. Teks khotbah ini ditulis dalam
aksara Arab. Walaupun bahasanya adalah bahasa jawa. Huruf seperti ini disebut
sebagai arab pegon. Yaitu g\huruf arab yang digunakan untuk menulis bahasa jawa
atau bahasa Indonesia. Isi dari buku tersebut telah disusun sedemikian rupa
sehingga cukup untuk setahun. Jika dilihat dari tema yang disampaikan dalam
khotbah, cukup relevan dengan pembinaan kualitas lebih diutamakan daripada
pembinaan kualitas jama’ah / sosial.
Beberapa upacara keagamaan juga berkembang pada masyakakat Mangadeg , hal ini ada bukan
karena peranan agama saja tetapi karena kebudayaan lokal yang berakar pada
kebudayaan lama. Hal ini menunjukkan betapa kebudayaan jawa masih kuat mengakar
di masyarakat dan mewarnai ajaran agama itu sendiri. Upacara yang dilakukan
memang dikemas dengan symbol-simbol islam tetapi system kepercayaannya masih
berlandaskan pada system keyakinan jawa. Pada upacara-upacara terlihat terjadinya
proses interaksi antara kebudayaan jawa dengan islam. Ada proses islamisasi di
jawa pedesaan, dan ini Nampak jelas pada tingkat simbolik. Tetapi di balik itu
semua berlangsung juga proses jawanisasi Islam.
Pelaksaan ritual agama yang berupa shalat jum’at
dilaksanakan rutin sesuai jadwal yang sudah ditetapkan. Ketika adzan shalat
jum’at telah dikumadangkan, mereka bergegas-gegas menuju masjid, Berbagai
wacana agama disampaikan oleh sang khotib yang tidak lain adalah Kiai. Dalam
shalat jum’at yang salah satu hikmahnya adalah untuk menjalin ukhuwah islamiyah
kadang malah tidak terasa bahkan tidak ada. Mereka melaksanakan shalat jum’at
ada yang hanya sekedar untuk melaksanakan kewajiban menghilangkan tuntutan dan
untuk mendapatkan pahala. Sehingga rasa kebersamaan yang seharusnya terjalin
malah tidak tercapai. Ajaran islam yang mengajarkan bahwa shalat jum’at harus
dilaksanakan secara berjamaah, maka mereka lakukan sesuai dengan ajaran itu.
Jadi mereka berkumpul bukan untuk membangun sebuah kebersamaan, melainkan untuk
melaksanakan kewajiban. Sehabis shalat jum’at mereka kembali ke rumahnya
masing-masing tanpa ada panggilan bahwa di sekeliling mereka sebenarnya banyak
persoalan yang perlu untuk diselesaikan secara bersama-sama.
Penulis juga menambahkan, ketika Khotbah disampaikan,
kadang tidak menyangkut persoalan masyarakat dan lebih condong kepada perintah
untuk bertaqwa. yaitu dengan cara melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya, dimana hal ini telah menjadi wacana umum yang termuat dalam semua
buku khotbah. Sehingga masyarakat memahaminya sebagai wacana mutlak yang
disampaikan Tuhan. Wacana yang menyingung persoalan bersama hanya dapat
dipahami secara implisit, itu pun disampaikan dalam bahasa Arab. Kalau wacana sosial
tidak pernah muncul pada saat itu, ketika semua berkumpul semua, maka dapat
dipahami bahwa wacana sosial yang dimaksud tidak muncul juga dalam momen lain.
Padahal tanpa ada wacana sosial yang baik, maka wawasan sosial masyarakat menjadi sempit, yang pada gilirannya akan
berpengaruh pada perilaku sosial anggota masyarakat.
Wacana keagamaan local yang berkembang di masyarakat di interpretasikan
oleh Kiai dengan menggunakan perspektif budaya local (jawa) dengan apa yang
dipahaminya. Kemudian hasil dari interpretasi tersebut dijadikan sebagai
pegangan yang perlahan mempengaruhi dan membentuk perilaku masyarakat. Dalam
perspektif analisis wacana, perilaku masyarakat itu merupakan refleksi dari
kesadaran kolektif masyarakat. Dalam hal yang sama masih ada perilaku
masyarakat yang berpandangan bahwa mencuri dan merampok terhadap lawan politik bisa
dibenarkan seperti pemahaman nenek moyang mereka pada masa perang melawan
penjajah. Hal ini karena masih ada hubungannya dengan pemberontakan yang
dilakukan oleh Pangeran Diponegoro terhadap penjajahan belanda. Walaupun
sebenarnya pemberontakan yang dilakukan tidak sesuai dengan wacana zaman
sekarang.
Dari pernyataan lain yang diungkapkan oleh Drs.Radjasa
Mu’tasim.M.Si adalah ketika penelitian ini dilakukan pada akhir tahun 1998
masih banyak masyarakat yang masih anti terhadap segala sesuatu yang berasal
dari pemerintah. Misalnya kepada aparatur pemerintah partai Golkar yang mereka
anggap musuh. Persaingan politik antara partai Golkar sebagai partai pemerintah
dan PPP sebagai partai Kiai membuat Kiai sangat membenci golkar dengan sangat
serius.
Sebagai seorang peneliti, penulis mejelaskan berbagai
macam hal yang terjadi di desa mangadeg secara jelas dan bahkan dalam
ritual-ritual yang ada di desa tersebut
Buku ini memiliki kelebihan dan kelemahan,beberapa
kelebihan dalam buku karena di dalamnya disajikan beberapa praktik keagamaan
yang terjadi di mangadeg di daerah magelang. beberapa skema tata ruang dalam
kegiatan juga disajikan. Semisal dalam acara pengajian. Selain bahasa yang
mudah dicerna dan dipahami, di dalam buku ini juga kedetailan materi juga
menjadi hal yang menjadi kelabihannya.
Adapun kekurangan buku ini adalah masih ada
ketidakjelasan kapan tepatnya penelitian di desa mangadeg, karena tanggal,
bulan maupun tahun sangat perlu dipaparkan agar mengetahui persisnya penelitian
ini dilakukan, kemudian dalam hal menjelaskan tentang kiai terkesan terlalu
memojokkan sehingga kesan kiai seperti pelaku utama adanya segala hal yang
terjadi di desa tersebut. Selain itu bahasa dan ungkapan yang dimuat
berulang-ulang dan hampir semua yang dituturkan kembali ke kiai.
Hemat peresensi, buku ini memuat berbagai hal yang
terjadi di desa magadeg, mulai dari latar belakang desa, letak geografis dan
hal-hal yang berhubungan dengan praktik agama dan budaya.
|
Dengan demikian,
buku ini sangat bagus untuk dibaca, sehingga para pembaca dapat mendapat informasi
untuk sumber penelitian yang lainnya, dan bisa memahami pola pikir masyarakat dan hal-hal terjadi
di dalamnya.
0 Response to "RESENSI BUKU PERLAWANAN SANTRI PINGGIRAN"
Post a Comment