Tafsir Maudhu'i dan Muqarran
Friday, August 21, 2015
Add Comment
PENDAHULUAN
- A. Latar belakang
Kitab suci al-Quran merupakan
kitab pedoman seluruh umat islam, oleh karenanya umat islam perlu mengkaji
lebih jauh isi dari kitab suci al-quran. Ilmu tafsir sudah ada sejak nabi
Muhammad SAW, kalau pada masa-masa awal islam nabi berfungsi sebagai mubayyin
al-Quran. Sehingga para sahabat langsung bertanya kepada nabi jika mereka tidak
mengetahui maknanya. Maka sepeninggalan rasulullah mereka harus berijtihad
tentang pemahaman ayat- ayat al-Quran sehingga lahirlah berbagai macam bentuk
penafsiran. Bentuk tafsir berkembang sedemikian pesat dari waktu ke waktu
sesuai dengan tuntutan dan konteks. Dasar pengelompokkan terhadap tafsir
pun berbeda-beda. Diantara pengelompokan tersebut dan sudah dikenal sejak masa
nabi Muhammad SAW adalah tafsir bi al-atsar, dan banyak yang menyebut
dengan tafsir riwayah.
Yaitu yang menggunakan
nash dalam menafsirkan, baik al-Qur’an dengan
al-Qur’an maupun al-Qur’an dengan sunnah. Sementara tafsir bial-ra’y atau
dikenal juga dengan tafsir dirayah adalah tafsir yang lebih mengandalkan pada
ijtihad yang shahih.[1]
Tafsir berkembang terus dari waktu ke waktu
sesuai dengan tuntutan dan kontek zaman. Berdasarkan metode terbagi menjadi
tafsir tahlili, tafsir maudhu’i, tafsir kulli dan tafsir muqaran.Tafsir
maudhu’i atau tematik ada berdasar surah al-
Qur’an ada berdasar subjek atau topik.Tafsir tematik berdasarkan surah digagas
pertama kali oleh Syaikh Mahmud Syaltut, sementara tafsir tematik
berdasarkan topik oleh Prof.Dr.Abdul Hay al- Farmawi.
Pada makalah ini pemakalah
akan menguraikan apa yang dikatakan dengan tafsir maudhui bagaimana sejarah
perkembangan dan manfa’at tafsir tematik dan apa langkah-langkah yang ditempuh
dalam menerapkan metode tafsir tematik dan bagaimana keistimewaan tafsir
tematik dalam menuntaskan persoalan-persoalan masyarakat kontemporer.
- B. Rumusan masalah
Pada tulisan ini akan
membahas tentang metode tafsir penafsiran al-Quran dengan metode tematik dan muqaran
yang meliputi :
- Menjelaskan pengertian tafsir tematik dan muqaran.
- Sejarah perkembangan kedua metode tersebut.
- Nama-nama kitab yang berkaitan dengan metode
tematik dan muqaran.
- Contoh dari tafsir tematik dan muqaran.
- Langkah-langkah penerapan metode keduanya.
- Perbedaan metode tematik dengan metode muqaran.
- C. Tujuan pembahasan.
Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah
- Supaya kita memahami apa yang dimaksud dengan
tafsir dan apa saja metode metodenya.
- Memahamai apa itu metode tematik dan metode
muqaran
- Mengetahui perbedaan keduanya dan mengetahui kelebihan
salah satu diantara keduanya.
- Mengetahui contoh-contoh diantara keduanya
beserta tokoh- tokohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Pengertian tafsir
Tafsir adalah masdardari
kata kerja (fi‘il) fassara yufassiru tafsiranyang bermakna
menafsirkan. Di dalam al-Qur’an kata tafsir tersebut dalam Qs. al-Furqan
(25): 33 dan Qs. al-Nisa‟ (4): 59. Dalam pengertian bahasa (etimologi, lughaghi)
ini tafsir memiliki beberapa makna, yaitu keterangan (al-idhah) dan
penjelasan (al-bayan),[2]
M. Husain al-Dzahabi juga
menjelaskan dalam karyanya al-Tafsir wa al-Mufassirun apa yang
dimaksud dengan tafsir secara istilah.
Tafsir secara istilah
adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan
kemampuan manuasia (mufassir).[3] Quraish Shihab juga
sependapat dengan pendapat al-Dzahabi dalam pengertian tafsir secara istilahi.[4]
Definisi ini memberi ruang
tanpa batas bahwa siapa pun bisa untuk menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan
kemampuannya (petunjuk ilahi).
- B. Sejarah Perkembangan
Metode Tafsir hingga Metode Tematik.
Secara garis besar penafsiran
al-Qur’an dilakukan melalui empat cara atau metode, yaitu:
- Metode ijmali ( global )
- Metode tahlili ( analitis )
- Metode muqaran( perbandingan )
- Metode maudhu’i ( tematik )
Lahirnya metode-metode tafsir
yang tersebut diatas, disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang
selalu dinamis. Katakan saja, pada zaman Nabi dan Sahabat, pada umumnya mereka
adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat
( asbab al-nuzul), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika
ayat-ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relatif dapat memahami
ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat. Maka, pada kenyataannya
umat pada saat itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan
isyarat dan penjelasan secara global ( ijmal ).
Tetapi pada periode
berikutnya, setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar
Arab, dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi logis
terhadap perkembangan pemikiran Islam.Maka, konsekuensi dari perkembangan ini
membawa pengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan
perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan ummat yang semakin kompleks dan
beragam.
Kondisi ini, merupakan
pendorong lahirnya tafsir dengan metode analitis ( tahlili), sebagaimana
tertuang di dalam kitab-kitab tafsir tahlili, seperti tafsir al-Thabrani dan
lain-lain. Metode penafsiran serupa itu terasa lebih cocok di kala itu, karena
dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman
ayat-ayat al-Qur’an.Ummat merasa terayomi oleh penjelasan-penjelasan dan
berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat-ayat al-Qur’an.
Maka pada perkembangan
selanjutnya, metode penafsiran serupa juga diiukuti oleh ulama-ulama tafsir
yang datang kemudian, bahkan berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk
penafsiran yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai corak yang
dihasilkannya, seperti fiqih, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi ijtima’I.[5]dan lain-lain.
Dengan munculnya dua bentuk
penafsiran dan didukung dengan berbagai corak tersebut, ummat Islam ingin
mendapatkan informasi yang lebih jauh berkenaan dengan kondisi dan
kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir.Selain itu, ummat juga ingin
mengetahui pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatannya mirip, padahal bahwa
pengertiannya berbeda.Kondisi ini, mendorong para ulama khususnya mufassir untuk
melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang pernah diberikan
oleh mufassir sebelumnya dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. ”Dengan demikian
lahirlah tafsir dengan metode perbandingan [muqaran] seperti yang diterapkan
oleh al-Iskaf di dalam kitabnya Darrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil, dan oleh
al-Karmani di dalam kitabnya al-Burhan fi Taujih Mutasyabah al-Qur’an.[6]
Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk
menanggulangi permasalahan yang dihadapi ummat pada abad modern yang jauh lebih
kompleks dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir
al-Qur’an yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat. Untuk itu,
”ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir al-Qur’an dengan metode baru,
yang disebut dengan metode tematik.[7]
Menurut catatan
Quraish, tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang
guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Syaikh
Mahmud Syaltut, pada Januari 1960. Karya ini termuat
dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Karim.
Sedangkan tafsir maudu‘i berdasarkan subjek digagas pertama kali oleh
Prof. Dr. AhmadSayyidal-Kumiy,Seorang guru besar di institusi
yang sama dengan Syaikh Mahmud Syaltut,
jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, dan
menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. Model tafsir ini digagas pada
tahun seribu sembilan ratus enam puluhan.[8] Buah dari
tafsir model ini menurut Quraish Shihab di antaranya adalah karya-karya Abbas
Mahmud al-Aqqad, al-Insân fî al-Qur’ân, al-Mar’ah fî al-Qur’ân,
dan karya Abul A’la al-Maududi, al-Ribâ fî al-Qur’ân.[9]
- C. Pengertian Tafsir
Maudhui dan Tafsir Muqaran.
1.
Metode Tafsir Maudlu’i
AdalahSatu metode tafsir yang
mufassirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surah dan
yang berkaitan dengan persoalan dan topik yang ditetapkan sebelumnya.Kemudian
penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi
satu kesatuan yang utuh.[10]
Metode ini di Indonesia dikenal dengan metode tafsir
Tematik, yang kemudian di kembangkan oleh Quraish Shihab, salah seorang pakar
tafsir dan ilmu-ilmu al-Qur’an kebanggaan masyarakat Indonesia.[11]
Ada juga yang mendefenisikan sebagai sebuah metode
penafsiran dengan cara menghimpun seluruh ayat- ayat al-Quran yang membahas
masalah tertentu dari berbagai surat yang disesuaikan dengan masa turunnya,
sambil memerhatikan sebab turunnya ayat seterusnya menganalisa lewat ilmu bantu
dari masalah yang dibahas sebagai konsep yang utuh dari al-Quran.[12]
Adapun tafsir tematik
secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
- tematik berdasar surah al-Qur’an
Tematik berdasarkan
surah al-Qur’an adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara membahas
satu surah tertentu dari al-Qur’an dengan mengambil bahasan pokok
dari surat dimaksud.
- tematik berdasar subyek.
tematik subjek
adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara menetapkan satu
subjek tertentu untuk dibahas. Misalnya ingin mengetahui bagaimana konsep zakat
menurut Islam, metode tematik ini dapat digunakan.
·
langkah penerapan Metode Maudlu’i
Menurut Abdul
Hay Al-Farmawiy dalam bukunya Al-Bidayah
fi Al-Tafsir Al-mawdhu’i secara rinci menyebutkan ada
tujuh langkah yang ditempauh dalam menerapkan metode tematik ini, yaitu:
- Menetapkan masalah yang akan dibahas ( topik )
- Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
masalah terseabut.
- Menyusun runtutan ayat sesuai masa
turunnya.disertai pengetahuan tentang azbabun nuzulnya.
- Memahami kolerasi ayat-ayat tersebut dalam
surahnya masing masing.
- Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
- Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang
relevan dengan pokok pembahasan.
- Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan
dengan jalan menghimpun
Ayat-ayatnya yang
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am
( umum) dan yang khash (khusus),
muthlak dan muqayyad, atau yang pada
lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara,
tanpa perbedaan.[13]
Sementara menurut
M.Quraish Shihab ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan didalam
menerapkan metode tematik ini. Antara lain :
1. Penetapan masalah
Walaupun metode ini dapat
menampaung semua masalah yang diajukan namun akan lebih baik apabila
permasalahan yang dibahas itu diproritaskan pada persoalan yang langsung
menyentuh dan dirasakan oleh masyarakat, misalnya petunjuk Al-Qur’an tentang
kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan lain-lainnya. Dengan
demikian, metode penafsiran semacam ini langsung memberi jawaban
terhadap problem masyarakat tertentu di tempat tertentu pula.
2. Menyusun ayat sesuai dengan
masa turun.
Bagi mereka yang bermaksud
menguraikan suatu kisah tau kejadian maka
runtutan yang dibutuhkanadalahruntutankronologis peristiwa yang terjadi pada kisah tsb.Kesempurnaan metode
tematik dapat dicapai apabila sejak dini
sang mufassir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan
merujuk kepada penggunaan Al-Qur’an sendiri.Hal ini dapat dinilai sebagai
pengembangan dari tafsir bi al-ma’tsur yang pada
hakikatnya merupakan benih awal dari metode tematik[14]
Dari uraian dan pembahasan di atas,
baik yang dikemukakan oleh Abdul Hay
Al-farmawiy maupun M.Quraish sama-sama sependapat bahwa langkah
awal yang ditempuh dalam mempergunakan metode tafsir tematik adalah
menetapkan topik atau masalah yang akan dibahas kemudian menghimpun
ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama dengan topik dan dilengkapi
dengan hadis-hadis yang relefan dengan pokok bahasan dan yang perlu dicatat
topik yang dibahas diusahakan pada persoalan yang langsung
menyentuh kepentingan msyarakat. agar
Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup dapat memberi jawaban
terhadap problem masyarakat itu.
Nama-nama Kitab
Tafsir Tematik.
Sebuah kesempurnaan dalam
sebuah pemahaman terhadap alQur’an.Al Qur’am mampu menemani dan berbicara
dengan dunia alam semesta sepanjang zaman. Beberapa kitab tafsir yang
menggunakan metode tematik ini adalah:
- Pada tahun 1977, Prof. Dr. Abdul Hay
Al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin
Al-Azhar, menerbitkan buku Al-Bidayah fi Al- TafsirAl-Mawdhu’i.
- Prof. Dr. Al-Husaini Abu Farhah menulis
Al-Futuhat Al-Rabbaniyyah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i li Al-Ayat
Al-Qur’aniyyah.
- Al bayan Fi Aqsamil Qur’an, oleh Ibnu
Qoyyim.
- Majazul Qur’an, oleh Abu Ubaidah.
- Mufrodatul Qur’an, oleh Ar Raghib.
- Nasikh Wa Mansukh Minal Qur’an, oleh Abu
Ja’far An Nuhas
- Asbabun Nuzul, oleh Al Wahidi.
- Ahkamul Qur’an, oleh Al Jashshash.
- Contoh penafsiran yang menggunakan Metode Maudhui.
Akhirnya, al-Quranul karim
menyajikan perkara wanita di dalam dua suratnya: an-Nisa’ al-Kubra (an-Nisa’)
dan an-Nisa’ ash-Shughra (at-Thalaq).Tidak sedikit kaum wanita yang merasa
senang dan gembira, lantaran Allah memuliakan dan memperhatikan mereka. Yaitu,
ketika mereka mendengar atau mengetahui, bahwa al-Quran menampilkan mereka
didalam seluruh surat ini, dan diantara surat-surat ini ada dua buah surat yang
disebut dengan menggunakan nama mereka (an-Nisa’).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا
Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu….(QS. 4 an-Nisa: 1)
Dengan seruan dan perintah
inilah surat an-Nisa di mulai dan dengan itu pula surat al-Hajj di mulai.
Didalam nada perintah untuk bertaqwa kepada ar-Rabb, surat an-Nisa menunjuk
kepda nikmat yang paling utama dan penting, yaitu nikmat penciptaan dan
silahturahmi yang mengatur seluruh manusia dan yang melahirkan mereka dari
seorang diri.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِيخَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَارِجَالًا كَثِيرًا
وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِوَالْأَرْحَامَ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.(QS. 4 an-Nisa:1)
Dengan demikian, al-Quran
memandang seluruh manusia dengan berbagai kebangsaan, bahasa, dan daerah mereka
dengan satu keluarga.Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.Tidak ada kezaliman,
kesemena-menaan, kelas-kelas dan penindasan diantara mereka.Yang ada hanyalah
kecintaan, kasih sayang, keadilan dan persamaan.Ini adalah dasar yang telah
ditetapkan oleh al-Quran menyeru umat manusia agar saling ikhlas antara mereka,
saling menolong, saling mengingatkan supaya berbuat kebenaran dan saling
mengingatkan supaya berbuat sabar.
Setelah surat an-Nisa, maka
surat al-Hajj ini menyeru seluruh manusia dan memerintahkan kepada mereka
supaya bertaqwa. Selanjutnya menyinggung masalah hari kiamat yang mengerikan,
hari berbangkit dan hari pembalasan atas segala amal.Hal ini di maksudkan untuk
membangkitkan semangat berbuat amal baik dan memerangi kejahatan, disamping
dijadikan jalan untuk menegakkan argumentasi bahwa hari kiamat itu pasti datang
dan Allah pasti membangkitkan kembali orang-orang yang berada di dalam kubur.
Sama halnya dengan surat an-Nisa, ia menjadikan dasar yang telah ditetapkannya
jalan yang diwahyukan kepada manusia untuk melaksanakan hukum-hukum, yang
kemudian disyari’atkan oleh Allah sebagai alat untuk mengatur keadaan serta
sebagai landasan urusan dan kehidupan mereka.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ إِنَّ زَلْزَلَةَالسَّاعَةِ شَيْءٌ
عَظِيمٌ (1) يَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ كُلُّ مُرْضِعَةٍعَمَّا أَرْضَعَتْ
وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَسُكَارَى وَمَا هُمْ
بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِشَدِيدٌ
Hai manusia, bertakwalah
kepada Tuhanmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian
yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat
kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang
disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat
manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi
azab Allah itu sangat kerasnya.(QS. 22 al-Hajj: 1-2)
Begitulah surat keempat dari
setengah bagian pertama, al-Quran turun sebagai pengingat akan aspek dasar dan
pensyari’atan hal-hal yang dituntut oleh kebahagiaan di dalam kehidupan dunia.
Sedangkan surat keempat dari pertengahan kedua, al-Quran turun sebagai
pengingat akan aspek “tempat kembali” dan apa-apa yang dipersiapkan di dalamnya
bagi orang-orang yang berbuat baik dan berbuat buruk semasa hidup di
dunia.Dengan semua ini, selesailah sudah gambaran tentang dua kehidupan,
sehingga manusia mengetahui jalan menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[15]
- Keistimewaan Tafsir Tematik dan kekurangannya.
- 1. Keistimewaan.
Tafsir tematik mempunyai
keistimewaan di dalam menuntaskan persoalan-persoalan masyarakat dibandingkan
metode lainnya, antara lain,
- menafsirkan ayat dengan ayat
atau dengan hadis Nabi adalah suatu
cara terbaik di dalam menafsirkan Al-Qur’an,
- kesimpulan yang dihasilkan oleh metode tematik
mudah dipahami. Hal ini disebabkan ia membawa pembaca kepada petunjuk
Al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam
satu disiplin ilmu.Dengan demikian ia dapat membawa kita kepada pendapat
Al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan
jawaban-jawabannya. Hal ini membuktikan bahwa
Al-Qur’an adalah petunjuk hidup.
- Metode ini memungkinkan seseorang
untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat
yang bertentangan dalam Al-Qura’an,
sekaligus membuktikan bahwa Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan masyarakat.
- 2. Kelemahan.
Tafsir tematik juga memiliki
kekurangan antara lain adalah.
- Memenggal ayat al-Quran
Menggeal ayat al-Quran yang
dimaksud disini adalah menggambil suatu kasus yang terdapat dalam satu ayat
atau lebih yang mengandung banyak permasalahan nyang berbeda.
Misalnya, dalam ayat yang
terdapat petunjuk tentang shalat dan zakat, biasanya kedua ibadah itu
diungkapkan dalam satu ayat, apabila ingin membahas tentang zakat misalnya,
maka mau tak mau masalah shalat harus ditinggalkan, dan fokus pada pembahsan
zakat suapaya tidak mengganggu waktu menganlisanya.
Cara seperti ini dipandang
kurang sopan terhadap ayat alquran terutama oleh kalangan ulama shalaf,sebab
letat urut ayat dalam al-quran merupakan maslah taufiqy.[16]
Namun selama tidak merusak pemahaman, sebenarnya cara
seperti itu tidak dianggap suatu yang negatif, apalagi kebanyakan ulama dahulu
sering memenggal ayat-ayat al-Quran sesuai dengan keperluan yang sedang mereka
bahas, seperti maslah fiqh,tauhid tasauf dan lain lain.
- Membatasi pemahaman ayat.
Dengan ditetapkannya judul
penafsiran maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada masalah yang akan di
bahas, akibatnya seorang mufasir hanya terikat oleh judul padahal tidak
mustahil suatu ayat dapat ditinjau dari berbagai macam sudut, karena seperti
yang dinyatakan oleh imam zarkasyi, bahwa setiap ayat al-Quran itu mengandung
makna zahir dan makna batin. Dan setiap huruf mengandung makna yang dapat
dijangkau oleh manusia dan ada juga yang tak terjangkau oleh manusia, dan
setiap batas mengandung makna yang paling dalam.[17]
2.
Tafsir Metode Muqaran.
Tafsir al-Muqaran adalah
penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan
cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadis baik
dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir
dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.
Jadi yang dimaksud dengan
metode Muqaran ialah:
- membandingkan teks [nash] ayat-ayat al-Qur’an
yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih,
dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama.
- membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang
pada lahirnya terlihat bertentangan,
- membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir
dalam menafsirkan al-Qur’an.[18]
Ciri utama metode ini adalah
”perbandingan”. Disinilah letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara
metode ini dengan metode-metode yang lain. Hal ini disebabkan karena yang
dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau dengan hadis,
perbandingan dengan pendapat para ulama.
- Langkah-langkah penerapan Metode Muqaran.
Langkah-langkah yang ditempuh
ketika menggunakan metode at-tafsir al-muqaran menurut al-Farmawi ada 4 cara,
yaitu sebagai berikut:
1. Mengumpulkan sejumlah ayat alquran.
Seorang jika hendak membandingkan
antara ayat yang mempergunakan redaksi yang berbeda terhadap suatu masalah yang
sama, atau menggunakan redaksi yang mirip terhadap kasus yang berbeda, maka
harus mengumpulkan sejumlah ayat al-Quran kemudian membandingkannya. Begitu juga
dengan membandingkan ayat dengan hadis, mufassir juga harus mengumpulkan
hadis-hadis yang mempunyai redaksi yang sama.
2. Mengemukakan penjelasan para mufassir.
Baik dikalangan ulama salaf maupun
khalaf, baik tafsirnya bercorak bi al-ma’tsur atau bi ar-ra’yi Langkah ini
dilakukan seorang mufassir dengan cara membaca, mentelaah serta meneliti
sehingga dapat diketahui kecendrungan seorang mufassir dalam penafsirannya.
3. Membandingkan
kecendrungan tafsir mereka masing-masing.
4. Menjelaskan siapa diantara
mereka yang menafsirkan.
Penafsiran yang dipengaruhi-secara subjektif- oleh
mazhab tertentu, Penelitian terhadap
kitab-kitab mufassir akan didapati kecendrungan mufassir terhadap suatu mazhab
atau suatu aliran teologi tertentu, dan dapat juga diketahui tentang tidak
sepahamnya atau bahkan menolak terhadap madzhab yang lainnya.
Dari sini mufassir akan mendapatkan gambaran yang
jelas tentang berbagai penafsiran yang telah ada, untuk kemudian memilih atau
mengadakan penafsiran yang ia pandang lebih sesuai, lebih kuat dan lebih
tepat.dengan beberapa argumentasi yang dikemukakan, mufassir yang bersangkutan
dapat saja mengkompromikan berbagai penafsiran yang telah ada, atau memilih dan
memperkuat salah satu dari padanya, bahkan boleh jadi dia menolak semua
tafsiran yang telah ada seraya mengedepankan penafsiran dalam kaitan dengan
soal-soal yang sedang dibahasnya .
·
Nama-nama Kitab yang memakai Metode Muqaran.
Kitab-kitab tafsir yang
menggunakan metode tafsir al-muqaran sangat langka tidak seperti kitab-kitab
lainnya, diantara kitab tafsir al-muqaran adalah:
- Durrat at-Tanzil wa Qurrat at-Ta’wil (mutiara
at-Tanzil dan Kesejukan at-Ta’wil), karya al-Khatib al-Iskafi (w. 420 H /
1029 M)
- Al-Burhan fi Taujih Mutasyabih al-Quran (Bukti
Kebenaran dalam Pengarahan Ayat-ayat Mutasyabih al-Quran), karya Taj
al-Qarra’ al-Kirmani (w. 505 H / 1111 M).
- Al-Jami’ li Ahkam al-Quran (Himpunan Hukum-hukum
al-Quran), karya al-Qurtubi (w. 671 H).
- Contoh tafsir menggunakan Metode Muqaran.
Contoh penafsiran tersebut
adalah terdapat dalam surah al-Qasas dan surah Yasin.
وَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَى قَالَ يَامُوسَى إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكمِنَ النَّاصِحِين
ََ
Artinya: Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) karena sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu”. ( Q.S. Al-Qasas: 20).
Artinya: Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) karena sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepadamu”. ( Q.S. Al-Qasas: 20).
وجاء من اقصى المدينة رجل يسعى قال يا قوم اتبعوا المرسلين
Artinya: dan datanglah dari
ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: “Hai kaumku,
ikutilah utusan-utusan itu”. (Q.S. Yasin: 20).
Bila diamati dengan
seksama, kedua ayat di atas tampak mirip redaksinya meskipun maksudnya
berlainan. Pada ayat pertama, al-Qasas:20 mengisahkan peristiwa yang dialami
nabi Musa as dan kejadiannya di Mesir; sedangkan surah Yasin: 20 berkenaan
dengan kisah yang dialami penduduk sebuah kampung (ashab al-qaryah) di
Inthaqiyah (Antochie), sebuah kota yang terletak disebelah utara Siria dan
peristiwanya bukan pada masa nabi Musa as.
- Keistimewaan dan kelemahan dari metode ini:
- 1. Keistimewaan.
Kelebihan metode ini antara
lain:
- memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih
luas kepada pada pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain. Di
dalam penafsiran ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu
pengetahuan sesuai dengan keahlian mufassirnya.
- membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi
terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat
kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme
yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu.
- tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka
yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.
- dengan menggunakan metode ini, mufassir didorong
untuk mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat para mufassir
yang lain.
- 2. Kelemahan.
Kelemahan metode ini antara
lain:
- penafsiran dengan memakai metode ini tidak dapat
diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir, karena pembahasan
yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim.
- metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab
permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat, karena metode ini
lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah.
- metode ini terkesan lebih banyak menelusuri
penafsiran-penafsiran yang pernah dilakukan oleh para ulama daripada
mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.[19]
- D. Perbedaan Metode Maudhui
dengan Metode lain.
Perbedaan ini didasarkan pada
pendapat bahwa lahirnya metode tematik adalah upaya dari penggabungan antara
metode tahlili dan metode muqaran.
1. Perbedaan dengan Metode
Tahlili.
Mufassir berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam mushaf.
Di dalam metode ini mufassir memaparkan arti kosakata, menjelaskan arti yang
dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat baik unsur i‟jaz, balaghah
dan keindahan susunan kalimatnya, asbabun nuzul, munasabah, pendapat
para ulama tafsir dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan
ayat-ayat al-Qur‟an.
Di dalam metode ini juga
dijelaskan tentang sesuatu yang dapat diistinbatkan dari ayat baik hukum figh,
dalil syar‟iy, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah, perintah,
larangan, janji, ancaman, haqiqat, majaz, kinayah, isti‟arah, serta
mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan
sesudahnya. Baqir al-Shadr memberi nama lain metode tahlily dengan
metode tajzi‟iy, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dari beberapa
segi.[20]
Metode tersebut jelas berbeda
dengan metode maudhui yang telah kita jelaskan diatas, perbedaan itu antara
lain adalah.
- Mufasir maudhui ketika menafsirkan ayat mereka
tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf, tetapi lebih terikat
dengan susunan dengan masa turunnya ayat, sedangklan mufasir tahlili
sangat memerhatikan susunan ayat dalam al-Quran.
- Mufasir maudhui tidak membahas segala masalah
yang terkandung dalam ayat, tetapi hanya membahas pokok masalah yang akan
di bahas. Sedangkan mufasir tahlili berusaha untuk mengungkapkan segaka
sesuatu yang bersangkutan dengan ayat.
- Mufasir maudhui berusaha untuk menuntaskan
permaslahan yang menjadi pokok pembahsan. Sedangkan mufasir tahlili hanya
mengungkapkan penafsiran ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan
yang di bahas tidak tuntas, karena ayat yang di tafsirkan sering
kali di temukan keterkaitannya dengan suatu ayat yang lain atau surat yang
lain.[21]
2.
Perbedaan dengan Metode Muqaran.
Metode muqaran merupakan
metode menafsirkan al-Quran dengan membandingkan ayat-ayat al-Quran yang
memiliki persamaan atu kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau
kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau
kasus yang di duga sama.
Termasuk dalam objek ini
membandingkan ayat at-Quran dengan hadits nabi yang nampaknya bertentangan,
serta membandingkan pendapat ulama ulama tafsir yang menyangkut dengan
penafsiran sebuah ayat.[22]
Mufasir yang menempuh metode ini, tidak mengarahkan
pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang
dibandingkannya itu, kecuali dalam rangka penjelasan sebab-sebab perbedaan
redaksional. Sementara dalam metode Mawdhu’i, seorang mufasir, disamping
menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga
mencari persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya, selama
berkaitan dengan pokok bahasan yang ditetapkan.
Di sini kita melihat bahwa jangkauan bahasan metode
komparasi lebih sempit dari metode Mawdhu’i, karena yang pertama hanya terbatas
dalam perbedaan redaksi semata-mata. Membandingkan ayat dengan
hadis, yang kelihatannya bertentangan, dilakukan juga oleh ulama hadis,
khususnya dalam bidang yang dinamakan mukhtalif al-hadits.Sikap ulama dalam hal
ini berbeda-beda.Abu Hanifah dan penganut mazhabnya menolak sejak dini hadis
yang bertentangan atau tidak sejalan dengan ayat Al-Quran.Sementara itu, Imam
Malik dan penganut mazhabnya dapat menerima hadis yang tidak sejalan dengan
ayat, apabila ada qarinah (pendukung bagi hadis tersebut) berupa pengalaman
penduduk Madinah atau ijma’ ulama. Lainnya, Imam Syafi’i, berupaya untuk
mengkompromikan ayat dan hadis tersebut, khususnya jika sanad hadis tersebut
sahih.
Disini sangat jelas kalau
metode penafsiran muqaran sangat menonjolkan perbedaan yang kemudian
membandingkan antara perbedaan tersebut. Sementar dalam metode maudhui, seorang
mufasir disamping menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas, ia juga mencari persamaan persamaan, serta segala petunjuk yang
terkandung dalamnya selama berkaitan dengan pokok yang dibahasnya.
A. Kesimpulan.
Tafsir adalah masdardari
kata kerja (fi‘il) fassara yufassiru tafsiranyang bermakna
menafsirkan. Tafsir secara istilah adalah penjelasan tentang arti atau
maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manuasia (mufassir).
Secara garis besar penafsiran
al-Qur’an dilakukan melalui empat cara atau metode, yaitu:Metode ijmali (
global ), Metode tahlili ( analitis ), Metode muqaran( perbandingan ), Metode
maudhu’i ( tematik ).
Adapun yang dimaksud dengan
tafsir metode muqaran adalah penafsiran ayat al-Qur’an yang berbicara dalam
suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antara
ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara
pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan
tertentu dari obyek yang dibandingkan.
Adapun yang dimaksud dengan
tafsir metode tematik AdalahSatu metode tafsir yang mufassirnya berupaya
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan
persoalan dan topik yang ditetapkan sebelumnya.Kemudian penafsir membahas dan
menganalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang
utuh.
Perbedaan keduanya didasarkan
pada pendapat bahwa lahirnya metode tematik adalah upaya dari penggabungan
antara metode tahlili dan metode muqaran.
Dimana penggunaan metode muqaran
ruang lingkupnya lebih sempit daripada metode tematik,dimana metode tematik
berusaha untuk mengumpulkan semua informasi dan berusaha untuk menjelaskannya
sehingga lebih mudah dicerna oleh para pembaca.
- B. Saran-saran.
Setelah kita memahami apa yang
dimaksud dengan metode tafsir tematik dan muqaran beserta perbedaannya, kepada para
pembaca yang budiman,
- Supaya terus mengkaji tafsir-tafsir yang ada agar
menambah pemahaman tentang tafsir dari zaman ke zaman agar tidak terputus.
- Berusaha untuk mencoba mencari metode-metode baru
dalam
penafsiran al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
T. M. Hasi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an: Media Pokok dalam Menafsirkan
Al-Qur’an (Djakarta:
Bulan Bintang, 1972).
Muhammad Huzain
Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I. ( Mesir: Dar al-
Kutub al-Hadithah .1961).
Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur‟an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat. ( Bandung:
Mizan 1992).
Nashruddin Baidan. Metodologi
Penafsiran al-Qur’an. (Jakarta: Pustaka
Pelajar.1988).
Ahmad syurbasyi , studi
tentang sejarah perkembangan tafsir, cet 1. (Jakarta : kalam
mulia 1999)
Mahmud Syalthut, TafsirulQur’anulKarim,
(Diponogoro: Bandung: CV. jilid
2.1990)
Muhammad amin suma, studi
ilmu al-Quran, (jakarta pustak firdaus,2001)
Al-Shadr, Muhammad
Baqir.al-Tafsir al-Maudhu‟iy wa al-Tafsir al-Tajzi‟iy fi al-
Qur‟an al-Karim.(Beirut: Dar
al-Ta‟ruf. 1980)
Ahmad Syurbasyi ,studi
tentang sejarah perkembangan tafsir, cet 1. (Jakarta : kalam
mulia 1999).
[1] T. M. Hasi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an: Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Djakarta: Bulan
Bintang, 1972), hlm. 204 dan 224.
[2] Muhammad Husain Al-Dzahabi.al-Tafsir
wa al-Mufassirun. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1961. Hal 13
[3] Muhammad Huzain Al-Dzahabi.al-Tafsir
wa al-Mufassirun, Jilid I. Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah 1961.halm 59
[4] Quraish Shihab. Membumikan
al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat.Bandung: Mizan
1992.halm 15
[12] Ahmad syurbasyi ,studi
tentang sejarah perkembangan tafsir, cet 1. (Jakarta : kalam mulia 1999),
hal 233.
[13] M.Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, Hlm.115
[16] Muhammad haqqi
an-nazly.khazanha al-asrar jaliyah al-azkar, (semarang, toha putra) hal
14.
[17] Muhammad amin suma, studi
ilmu al-Quran, (jakarta pustak firdaus,2001) hal 128
[18] Nashruddin Baidan. Ibid.
hlm. 65.
[20] Muhammad Baqir Al-Shadr.al-Tafsir
al-Maudhu‟iy wa al-Tafsir al-Tajzi‘iy fi al-Qur‟an al-Karim. Beirut: Dar
al-Ta’ruf. 1980 halm 10
[21] M.Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, Hlm.118
[22] Ahmad syurbasyi ,studi
tentang sejarah perkembangan tafsir, cet 1. (Jakarta : kalam mulia 1999).
Hal 233.
0 Response to "Tafsir Maudhu'i dan Muqarran"
Post a Comment