MUHKAMAT MUTASYABIHATAT

MUHKAMAT MUTASYABIHATAT

Interpretasi  metaforis  atau  ta'wil,  ialah  pemahaman  ataupemberian    pengertian   atas   fakta-fakta   tekstual   darisumber-sumber suci (al-Qur'an dan al-Sunnah)sedemikian  rupa,sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata-kata
pada teks sumber suci itu, tapi pada  "makna  dalam"  (bathin,inward meaning) yang dikandungnya. Metode pemahaman serupa itu(ta'wil) telah muncul sejak masa-masa dini sejarah Islam (jikatidak  malah  sejak masa Rasul Allah saw. sendiri, sebagaimanadikatakan  kalangan  Islam  tertentu).  Karena  itu persoalaninterpretasi  metaforis  ini mempunyai saham cukup besar dalamtimbulnya perselisihan, kemudian perpecahan, di kalangan  kaumMuslim.  Maka  salah  satu manfaat yang menjadi tujuan tulisanini ialah tumbuhnya keinsafan lebih besar tentang  bibit-bibit
perselisihan  paham  dalam  Islam,  serta bagaimana seharusnyakita menempatkan diri dalam  kancah  perselisihan  itu  secaraadil.

Sikap  dapat  memahami persoalan berkenaan dengan perselisihanpaham di kalangan umat itu semakin dirasa mendesak akhir-akhirini.  Dalam  abad  telekomunikasi mondial yang serba cepat danluas,  setiap  pribadi  orang  modern  mengalami   bombardemeninformasi  yang  seringkali  menyangkut segi-segi kesadarannyayang  mendalam.  Dari  sekian  banyak  informasi  itu,   untukkalangan kaum Muslim, ialah yang berkenaan dengan keadaan umatIslam sendiri di seluruh  dunia,  termasuk  informasi  tentangadanya  berbagai  kelompok  dan aliran pemikiran yang beranekaragam  Terlintas  dalam  pikiran,  misalnya  kesadaran  hampirtiba-tiba kaum Muslim Indonesia tentang adanya golongan Syi'ahdan berbagai alirannya, antara lain karena revolusi mereka  diIran  1979.  Lepas  dari  masalah  revolusi  itu sendiri (yangagaknya lebih baik dilihat  sebagai  gejala  politik,  sepertihalnya  dengan  revolusi-revolusi lain), kejadian di Iran padapenghujung dasawarsa lalu  itu  dalam  suatu  sentakan,  telahmelahirkan  sejenis  kesadaran  baru  di  kalangan  umat Islamdunia, yaitu kesadaran tentang pluralitas  Islam  dan  potensiyang ada di balik setiap golongan.

Maka  dengan  menengok masalah ta'wil ini, kita berharap dapatmenempatkan diri lebih baik dalam  memandang  berbagai  alirandan  madzhab  di  kalangan  umat sendiri, untuk kemudian sikapyang  sama  itu  sedapat  mungkin  kita  bawa  pada  persoalanmasyarakat secara keseluruhan.

AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHATAT

Salah  satu  pokok  perselisihan  di  kalangan umat Islam yangterkait erat dengan masalah ta'wil ini ialah adanya  ayat-ayatsuci al-Qur'an yang "bermakna jelas atau pasti" (muhkamat) danyang "bermakna samar atau tidak pasti"  (mutasyabihatat,  yakni,yang  interpretable).  Adanya kedua jenis ayat itu, disebutkandalam Kitab Suci sendiri sebagai berikut:

هُوَ الَّذِىأَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَـبَ مِنْهُ آيَـتٌ مُّحْكَمَـتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَـبِوَأُخَرُ مُتَشَـبِهَـتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فى قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَمَا تَشَـبَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَالرَسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْالأَلْبَـابِ

Dia (Tuhan) yang telah  menurunkan  kepada  engkau  (Muhammad)Kitab  Suci,  yang didalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat yangmerupakan induk Kitab Suci (Umm al-Kitab), dan ayat-ayat  lainyang  mutasyabihatat.  Ada  pun  orang-orang  yang dalam hatinyaterdapat keserongan, mereka akan mengikuti bagian-bagian  yangtersamar  (mutasyabihatat)  daripadanya,  dengan  tujuan membuatfitnah (perpecahan) dan mencari ta'wil bagian-bagian  tersamaritu.   Padahal  tidak  mengetahui  ta'wil-nya  kecuali  Allah.Sedangkan  orang-orang  yang  mendalam   ilmunya   maka   akanmenyatakan, "Kami percaya kepada Kitab Suci itu; semuanya darisisi Tuhan kami." Dan tidaklah akan dapat merenung  (menangkappesan) kecuali orang-orang yang berpengertian mendalam.

Masalah   muhkamat   dan   mutasyabihatat  itu  setidak-tidaknyamenimbulkan tiga jenis perbedaan pandangan: Pertama, perbedaanpandangan  tentang mana saja ayat-ayat suci yang muhkamat, danmana pula yang mutasyabihatat. Karena perselisihan ini maka  adaayat-ayat  suci  yang  bagi suatu kelompok umat Islam bersifatmuhkamat, namun  bagi  kelompok  lain  bersifat  mutasyabihatat.Firman-firman  berkenaan  dengan  surga  dan neraka, misalnya,bagi kebanyakan  kaum  Muslim  bersifat  muhkamat,  tapi  bagisebagian   mereka,   seperti  golongan  al-Bathiniyyun  ("KaumKebatinan" - lihat pembahasan di bawah), bersifat mutasyabihatat
sehingga  pelukisan tentang surga dan neraka itu mereka pahamisebagai  metafor-metafor  atau  kias-kias,  yang   tak   mestimenunjuk pada hakikatnya.

Kedua,   perbedaan   pandangan  tentang  boleh  atau  tidaknyamelakukan ta'wil terhadap ayat-ayat yang  mutasyabihatat    itu.Sebagian   kelompok   Islam  membolehkannya,  sehingga  dalammemahami   ayat-ayat   mutasyabihatat   itu,   harus   dilakukaninterpretasi  di  balik  ungkapan-ungkapan  lahiriah. Sebagianlagi yang tidak  membolehkannya,  berpendapat  dalam  memahamiayat-ayat  itu  kita  harus  berhenti pada makna-makna sepertiyang  dibawakan  ungkapan  lahiriah  lafal   dan   kalimatnya.Termasuk dalam permasalahan ini ialah problema homonimi (Arab:ism  musytarak,  kata-kata  berserikat),   seperti   kata-kata"mendengar,"   "mengetahui,"  "melihat,',  "tangan",  "marah,""senang"' dan  lain-lain  yang  dalam  Kitab  Suci  disebutkansebagai  sifat-sifat Tuhan, padahal kata-kata atau sifat-sifat
itu juga dapat diberlakukan kepada makhluk, khususnya manusia.Maka   pelukisan  itu  mengesankan  bahwa  Tuhan  dan  manusia"berserikat" dalam beberapa sifat  dan  kelengkapan,  dan  inimenimbulkan   problema.  Mereka  yang  melakukan  interpretasi(karena   beranggapan   bahwa    Tuhan    mustahil    memilikikualitas-kualitas  yang  sama  dengan  manusia) akan memandangayat-ayat yang bersangkutan dengan itu sebagai metafor-metaforbelaka,  sedangkan  kenyataan tidaklah seperti yang dikesankanpengertian  lahir  firman-firman  itu.   Mereka   yang   tidakmembenarkan   interpretasi   akan  melihat  firman-firman  ituseperti adanya, dengan memberi penegasan bahwa Tuhan  memilikikualitas-kualitas itu "tanpa bagaimana."

Ketiga,  bagi  mereka  yang  membolehkan  interpretasi,  masihterdapat  perselisihan  tentang  siapa  yang  harus  melakukaninterpretasi  itu. Karena interpretasi bukanlah pekerjaan yanggampang, maka sangat masuk akal bahwa hak  untuk  melakukannyaharus  dibatasi  hanya  pada  lingkungan yang memenuhi syarat,antara lain pengetahuan yang luas dan kemampuan berpikir  yangmendalam.   Ini   membawa   konsekuensi   terbaginya   anggotamasyarakat manusia kepada  kelompok-kelompok  khusus  (khawas,al-khawash)  dan kelompok-kelompok umum (awam, al-'awam). Yangpertama adalah  "kaum  ahli,"  dan  yang  kedua  terdiri  dari
"orang-orang kebanyakan."

PANDANGAN PARA FILSUF

Seperti  dapat diduga, para filsuf adalah kalangan orang-orangMuslim yang paling banyak melakukan ta'wil, disebabkan kuatnyapengakuan   sebagai   para   pencari   hakikat  dan  kebenarandemonstratif (yang terbuktikan secara tak  terbantah).  Merekadengan  kuat  memandang,  ungkapan-ungkapan  kebahasaan  dalamsumber-sumber ajaran agama, baik Kitab Suci maupun Sunnah Nabiadalah  ungkapan-ungkapan  metaforis atau alegoris. Jadi tidakdimaksudkan  seperti  apa   adanya   menurut   arti   lahiriahungkapan-ungkapan  itu.  Untuk dapat menangkap arti sebenarnyadari ungkapan-ungkapan itu, diperlukan  disiplin  dan  latihanberpikir  yang  tinggi,  yang  menurut  mereka hanya diperolehmelalui pemikiran kefilsafatan.

Sesuai dengan makna asal katanya dalam bahasa Yunani, filsafatadalah  kecintaan  kepada  kearifan (wisdom), kemudian menjadikearifan itu sendiri, sehingga filsafat pun disebut al-hikmah.Maka para filsuf Islam memandang diri mereka sebagai "penganutkearifan"  (ahl  al-hikmah)  atau  para  orang  arif-bijaksana(al-hukama).  Kadang-kadang  juga disebut ahl al-burhan ("parapenganut  kebenaran  demonstratif   atau   apodeiktik,   yaknikebenaran tak terbantah").

Kelebihan   mereka  itu,  mereka  adalah  golongan  khawas  dikalangan umat, dan mereka berhak,  bahkan  wajib,  menggunakanmetode  interpretasi  metaforis  terhadap teks-teks keagamaan.Filsuf Islam terkenal dari Cordova, Spanyol, Ibn Rusyd (Latin:Averroes),   misalnya  berpandangan  para  filsuf  selaku  ahlal-burhan itulah yang dimaksudkan dalam firman Ilahi  (dikutipdi  atas)  sebagai "orang-orang yang mendalam ilmunya," karenamereka ini berhak atau wajib melakukan ta'wil  terhadap  bunyiteks-teks  suci.  Jadi  bagi  Ibn Rusyd firman Tuhan itu harusdibaca kaum khawas sedemikian rupa sehingga "orang-orang  yangmendalam  ilmunya"  termasuk  ke  dalam yang mengetahui ta'wilayat-ayat  mutasyabihatat.  Yaitu  dengan  memindah  tanda  bacaberhenti   (waqaf:)   sehingga  terbaca,  "...  Padahal  tidak
mengetahui  ta'wilnya  kecuali  Allah  dan  orang-orang   yangmendalam  ilmunya.  Mereka  ini  berkata, "Kami beriman kepadaKitab Suci itu; semuanya  dari  sisi  Tuhan  kami..."  sebagaiganti  cara  baca kaum awam (lihat terjemah kutipan firman itudi atas). [2]

Jadi para filsuf dengan kata lain, memandang Nabi mengutarakansesuatu  dengan ungkapan-ungkapan metaforis dan alegoris, yangtidak memaksudkan  makna-makna  lahir  ungkapan-ungkapan  itu,melainkan  pada  makna  batinnya.  [3]  Karena itu para filsufrawan terhadap tuduhan, mereka sebenarnya menganut teori, Nabitelah  melakukan  sejenis  kebohongan:  Mengungkapkan  sesuatutanpa  memaksudkan   makna   lahiriah   ungkapan   itu.   Tapi"kebohongan"   Nabi   bukanlah   kejahatan,  karena  bertujuankebaikan, yaitu pendidikan orang banyak atau kaum  awam,  agarmereka  berbuat  baik  dan meninggalkan keburukan. Dengan katalain,  para  filsuf  menganut  teori  Nabi   telah   melakukan"kebohongan   untuk   kebaikan"  (al-kidzb  li  al-mashlahah),seperti yang dituduhkan Ibn Taymiyyah. [4] Karena "pendidikan"itu ditujukan pada kalangan awam, maka kalangan khawas, yakni,para filsuf sendiri, tak seharusnya mengikuti cara awam  dalammemahami  ajaran  agama.  Para  flsuf  harus  melakukan ta'wilterhadap  bunyi-bunyi  teks  suci  baik  Kitab  maupun  Sunnah(Hadits),  sedangkan  orang awam harus menerimanya menurut apaadanya sesuai dengan bunyi dan makna  lahiriah  lafalnya  itu.Para   filsuf   akan   menjadi   kafir  jika  tidak melakukaninterpretasi (karena bagi mereka ajaran-ajaran agama  tertentuseperti  surga  dan  neraka  dalam  pengertian fisik itu tidak
masuk akal, jadi tertolak). Dan sebaliknya,  orang  awam  akanmenjadi kafir jika melakukan interpretasi, disebabkan sulitnyapemahaman interpretatif yang abstrak itu, yang tak  terjangkaukemampuan  akal  mereka.  Adanya bahaya ini (bahaya kekafiran,baik  dari  pihak  khawas  maupun  awam),   maka   Ibn   Rusydberpendapat,  ta'wil  harus  disimpan  dan  dirahasiakan untukkalangan kaum khawas  saja.  [5]  Sehingga  sering  dikatakan,metode  Ibn  Rusyd  yang membagi manusia dalam golongan khawasdan awam itu akan melahirkan semacam elitisme dalam  kehidupanberagama.

AL-BATHINIYYUN (KAUM KEBATINAN)

Istilah  al-Bathiniyyun,  kadang-kadang  juga  Ahl al-Bawathin(Kaum    Kebatinan)    digunakan    secara    longgar    untukmengidentifikasi  kelompok-kelompok  Islam  yang  orientasinyaberat ke arah paham keagamaan yang  lebih  mengutamakan  usahamenangkap  makna  dalam  (bathin)  dari suatu teks atau ajaranagama. Karena itu istilah tersebut berlaku untuk hampir  semuakelompok  esoteris  Islam, termasuk kaum Sufi. Oleh kaum Sunniistilah itu juga secara khusus digunakan untuk kelompok  Islamtertentu,    terutama    kaum    Isma'ili,   penganut   aliranIsma'iliyyah, yaitu suatu pecahan aliran  Syi'ah  yang  munculsesudah  wafat Isma'il ibn Ja'far al-Shadiq sekitar 148 H (765M).  Mereka  juga  dinamakan  kaum  Syi'ah  Sab'iyyah  (Syi'ahTujuh),  karena  kepercayaan  mereka pada imam-imam yang tujuh(yaitu sejak Hasan ibn 'Ali sampai Muhammad ibn  Isma'il  (ibnJa'far  al-Shadiq  ibn  Muhammad  al-Baqir).  Dalam  hal pahamkeimanan itu mereka berbeda  dengan  umumnya  golongan  Syi'ahItsna 'Asy'ariyyah (Syi'ah Duabelas, karena kepercayaan merekapada imam-imam yang duabelas jumlahnya, sejak dari  Hasan  ibn'Ali  sebagai  imam  pertama, melalui Ja'far al-Shadiq sepertikaum Isma'ili, tapi menyimpang ke  Musa  al-Kadhim  ibn  Jafar--dan  bukannya  ke  Muhammad  ibn Isma'il-- kemudian berakhirdengan Muhammad al-Muntadhar, yang dipercayai sekarang  sedangbersembunyi dan akan kembali sebagai Imam Mahdi).

Adalah  al-Bathiniyyun  ini  yang  menjadi  salah satu sasarankarya-karya polemis  pemikir  Sunni  al-Ghazali  dalam  rangkausahanya  menghancurkan filsafat. Sebab dalam melakukan ta'wilterhadap fakta-fakta  tekstual  agama,  para  pengikut  Syi'ah
Isma'iliyyah    ini    memang    banyak   sekali   menggunakansumber-sumber  filsafat,  khususnya   Neo-Platonisme.  Merekamemang  masih  memiliki  persamaan  dengan  orang-orang Muslimlain,   seperti   pandangan   tentang   kewajiban    melakukanibadat-ibadat  tertentu. Tapi mereka juga berpegang pada pahamtentang adanya ajaran-ajaran esoteris (bathin) yang  membentuksistem   filsafat  kaum  Isma'ili.  Dalam  gabungannya  dengansemangat keagamaan mereka,  sistem  filsafat  itu  menyediakanpenyimpangan  kandungan  batin ajaran-ajaran agama yang antaralain, bagi mereka,  memberi  dukungan  pada  usaha  pembuktianbahwa lembaga imamat (keimaman) adalah langsung dari Tuhan.

Pembuktian  itu  diperoleh  antara  lain karena doktrin, semuaajaran agama (Islam) selalu mengandung makna lahir  dan  maknabatin.  Tapi karena orang awam, seperti juga menjadi pandangankaum filsuf, tak mampu menangkap makna batin yang  sulit  itu,malah  berbahaya  bagi  mereka, maka makna batin itu ditujukanhanya pada  orang-orang  istimewa  tertentu  saja.  Makna  dankebenaran   agama,   khususnya   kandungan   al-Qur'an,   yangtersembunyi dan dirahasiakan itu hanya diberikan  Nabi  kepada'Ali,  kemenakan, menantu dan sahabat yang menjadi kepercayaanbeliau. Maka hanya mereka yang  memiliki  kemampuan  spiritualyang  tinggi  sajalah yang mampu mengakui peranan khusus 'Ali,dan hanya  mereka  inilah  yang  dapat  menangkap  makna-maknabatiniah agama.

Contoh:
Ayat Muhkamat
Yaitu ayat yang hanya mempunyai satu arti menurut aturan bahasa Arab atau lainnya, arti ayat itu jelas diketahui. Misalnya :Tidak ada yang serupa dengan-Nya (QS Asyura :11)Dan tidak satupun yang menyamai-Nya (Al-Ikhlas :4)
Ayat Mutasyabihatat
Yaitu ayat-ayat yang dapat memiliki banyak arti menurut bahasa Arab. Penunjukan makna ayat ini membutuhkan pemikiran yang dalam sehingga dapat diterima. Misalnya Surat Thaha : 5
“(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy. (QS. 20:5)
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik  dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur. (QS. 35:10)

Menurut kaidah bahasa Arab, itu adalah ayat mutasyabihatat, sehingga memiliki banyak arti. Pemilihan maknanya harus dilakukan sehingga sesuai dengan kaidah bahasa dan agama, dan tidak bertentangan dengan ayat muhkam
at. Ayat-ayat Al-Quran tidak mungkin saling bertentangan. Begitu juga hadis tidak boleh saling bertentangan. Juga hadis tidak mungkin bertentangan dengan ayat Al-Quran. Ada dua metodologi untuk menerangkan ayat mutasyabihatat, keduanya benar :
1. metodologi Salaf2. metodologi khalaf
Metodologi Salaf
Salaf adalah ulama yang hidup pada masa tiga abad pertama hijrah. Metodologi ini adalah pemberian penjelasan umum, sehingga ulama salaf ayat ini memiliki arti sesuai dengan kesempurnaan Allah. Daripada mengatakan artinya, mereka merujukkan ayat-ayat mutasyabihatat  ke ayat muhkam. Contoh yang baik adalah
perkataan Imam Syafii :
“Saya percaya dengan apa yang Allah turunkan sesuai makna yang diinginkan-Nya, dan apa yang Rasulullah sampaikan sesuai dengan makna yang dia maksud.”
Dengan perkataan lain, arti yang sesuai tidak berdasarkan makna fisik dan indra yang salah, yang akan membawa kepada misalnya tempat, bentuk, kaki, gerakan, duduk, warna, arah, tersenyum, tertawa atau makna lain yang tidak boleh disifatkan kepada Allah. Lebih lanjut, orang Arab pada ketiga abad itu memiliki bahasa Arab yang alami dan sangat fasih. Mereka memahami bahwa ayat-ayat itu memiliki makna yang layak bagi Allah, dan mustahil bahwa mereka akan memberi makna fisik dan indrawi yang tidak layak bagi Allah.
Meski demikian, telah diketahui bahwa beberapa ulama salaf memberi makna tertentu kepada ayat Mutasyabihat. Imam Bukari dalam Shahih-nya, bab Tafsirul Quran, memberi makna tertentu kepada lafal “illa wajhahu” yaitu dalam QS Al-Qashash 88. Dia mengatakan, “illa mulkahu”, yaitu dia mengatakan bahwa “wajh” – yang disifatkan kepada Allah – artinya “mulk” atau “kerajaan/kekuasaan”.
Metodologi Khalaf
Khalaf adalah ulama yang hidup sesudah 3 abad pertama hijrah. Metodologi ini adalah memberikan makna tertentu kepada ayat mutasyabihat. Ulama khalaf yang hidup  pada saat di mana orang mulai kehilangan bahasan alami dan kefasihan berbahasa Arab. Melihat bahwa orang Arab kemampuan bahasa alaminya menurun dan mereka takut pada orang yang hatinya condong kepada kesesatan akan membaca ayat mutasyabihatat dengan arti yang tidak layak bagi Allah, sebagaimana Surat Ali Imran ayat 3 di atas. Untuk menjaga aqidah Islam, ulama khalaf mengikuti contoh di antara ulama salaf yang memberi arti tertentu pada ayat-ayat mutasyabihatat. Dengan mengacu ayat itu dengan ayat muhkamat, mereka memberi arti tertentu kepada ayat mutasyabihatat  yang sesuai dengan kaidah bahasa dan agama. Mereka memberi makna yang benar dan dapat diterima pada ayat mutasyabihat.
Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihatat, semuanya itu dari sisi Rabb kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. 3:7).
Sehubungan dengan ayat ini Ibn Abas : “Saya adalah satu dari orang yang mendalam ilmu agamanya”. Masyhur bahwa Ibn Abbas adalah unggul di antara sahabat dalam menerangkan arti ayat Quran.
Di antara orang yang hatinya condong kepada kesesatan adalah musyabbihah, yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka secara salah mengklaim bahwa dilarang menunjuk pada arti tertentu pada ayat mutasyabihat dan khususnya yang berhubungan dengan sifat Allah. Lebih lanjut, mereka membuat aturan yang  keliru bahwa  penunjukkan makna tertentu pada ayat tersebut yang akan membawa kepada peniadaan sifat-sifat Allah. Klaim mereka ini  membawa pada interpretasi ayat Quran saling kontradiksi dan juga interpretasi antar hadis, dan interpretasi hadis dan Quran. Lebih lanjut klaim mereka ini telah menuduh ulama-ulama salaf dan khalaf  dengan fitnah bahwa mereka meniadakan sifat-sifay Allah.  Ini akan meliputi : Ibn ‘Abbas, Sufyan ats-Tsawri, Mujahid, Sa’id Ibn Jubayr, Malik, Ahmad, al-Bukhari, an-Nawawi, Ibn Rajab al-Hanbali, Ibn-ul-Jawzi, Ibn Hajar , al-Bayhaqi, Abu Fadl at-Tamimi, ‘Abdul-Qahir al-Baghdadi, ulama hadis dan ahli bahasa Murtada az-Zabidi, dll. (Ketr. lihat isi artikel berikutnya…)
Dengan klaim mereka ini, mereka bertentangan dengan Rasul. Al-Bukhari menyatakan bahwa Rasul melakukan doa untuk Ibn Abbas. Rasul saw mengatakan :
Ya Allah, ajari dia ilmu hadis dan penjelasan Quran.
Dalam bab Tafsir al-Qur’an, Imam al-Bukhari mengatakan bahwa kata  wajhahu dalam Surat al-Qasas, ayah 88, berarti “Kerajaan/kekuasan-Nya.” Tetapi, mushabbihah yang menserupakan Allah dengan makhluk mengatakan, “Kami tidak menginterpretasikan, tetapi memilih makna literal,” sehingga mereka mengatakan wajhahu artinya “muka-Nya.”
Ibn Hajar al-’Asqalani, dalam Al-Fath (Sarah Sahih al-Bukhari), Volume 6, hal 39-40: ” ….. sehubungan dengan perkatakan sifat Allah , ad-dahik (tertawa), artinya “mengasihi,’ dekat dengan makna ‘menerima kebiakan’. Tetapi mushabihah berkeras mengambil makna literal, sehingga mereka mengatakan bahwa Allah tersenyum atau tertawa.
Dalam Surat Al-Qalam 42 :
Pada hari betis disingkapkan  dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (QS. 68:42)
Salaf mengatakan lafal “saq” sebagai “suatu kesulitan”, sehingga makna ayat adalah “hari yang penuh ketakutan dan kesulitan”. Penjelasan ini diberikan oleh Ibn ‘Abbas, Mujahid, Ibrahim an Nakh’i, Qatadah, Sa’id Ibn Jubayr, dan sejumlah ulama. baik Imam al-Fakhr ar-Razi dalam Tafsir  Qur’an, Volume 30, hal 94 dan Imam al-Bayhaqi dalam Al-’Asma’ was-Sifat, (hal 245) dan Fath-al-Bari, (Volume;13, hal 428) meriwayatkan penjelasan dari Ibn ‘Abbas. Ibn Qulayb Juga menyatakan dari Sa’id Ibn Jubayr yang mendapat ilmu dari ‘Abdullah Ibn ‘Abbas and Ibn ‘Umar. Tetapi mutashabihah berkeras pada makna literal dan mensifati pada Allah “betis”, dengan mengartikan literal ‘betis’.
Dalam Al-Baqarah 115 : Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:115)
Imam Mujahid, murid Ibn ‘Abbas, mwngatakan bahwa kata wajh artinya ‘qiblat, pada waktu sahalat sunah dalam perjalanan atau naik hewan. Tetapi orang mushabihah berkeras dengan makna literal, mereka mengartikan  “muka/wajah”.
Begitu juga, jika ayat 12 At-Tahrim :” Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami”, diambil makna literal artinya Allah meniup sebagian dari Ruh-Nya kepada Isa. Ulama mengatakan artinya : Allah menyuruh Jibril untuk meniup ke dalam Nabi Isa ruh yang dimuliakan Allah. Juga dalam Shad 75, secara literal berarti : Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. …” (QS. 38:75) Para ulama mengatakan arti “yadain” adalah “perhatian/kasih (care)”. Tetapi, orang mushabihah berkeras bahwa arti yadain adalah tangan. Juga An-Nur :35, “ Allah adah Cahaya langit dan bumi…”. Para ulama mengartikan : ‘Allah (Pencipta/Pemberi) petunjuk di langit dan bumi’. Tetapi mushabihah berkeras dengan makna literal, Allah adalah cahaya. Al-Fajr:22 : “Datanglah Tuhanmu..”. Imam Ahmad Ibn Hanbal, mengartikan : Kekuasaan Allah telah datang. Hafiz Imam al-Baiaqi dalam Manaqib Ahmad, menerangkan dari sanad sahih. Juga Ibn al-Jawzi al-Hanbali, ulama Madzhab Hambali, menyatakn bahwa Imam Ahmad menunjuk pada arti tertentu, yang dapat diterima, yang mutasyabihatat. Dia juga membuktikan bahwa Imam Ahmad tidak mempercayai tentang “maji-ah” (dari ja-a) dalam ayat itu, bahwa itu adalah pergerakan. Imam Ibn Al-Jauzi, juga : Tidak mungkin Allah bergerak”. Tetapi musyabihah berkeras bahwa “Allah datang” ( dari satu tempat ke tempat lain). Hadis dari Bukhari (ttg. Allah nuzul /turun) dijelaskan Imam Malik : Sebagai turunnya kasih sayang dan bukan gerakan. Tetapi kaum musyabihah berkeras “nuzul” artinya Allah turun dalam arti gerakan.
Mengutip Imam Asy’ari, Imam Baihaqi, dalam buku Al-Asma wa Sifat hal 488 : “Allah ta’ala tidak di suatu tempat. Gerakan, istirahat dan duduk adalah
sifat-sifat badan”Imam Ibn Rajab al-Hambali menjelaskan lafaz “istiwa” dalam Surat Taha :5 artinya “al-istila” yang artinya menguasai (subjugating). Ketika al-istila digunakan untuk menjelaskan ayat ini, itu berarti Allah menguasai Arsy dengan penguasaan tanpa awal. Jika ayat ini dijelaskan dengan cara ini, itu artinya Allah disifati dengan menguasai Arsy sebelum Arsy diciptakan, sama seperti Allah disifati sebagai pencipta sebelum sesuatu yang diciptakan ada. Dalam konteks ini, ulama memberi istilah “al-azal”, yang berarti keadaan tanpa permulaan. Jadi dapat dikatakan bahwa Allah menguasai (istila) ‘arsy dalam al-azal, yang berarti bahwa Allah menguasai ‘arsy dengan penguasaan tanpa permulaan. Tetapi kaum musyabihah berkeras dengan makna literal, mereka mengatakan istiwa artinya “duduk” di atas Singgasana atau “bertempat secara kuat” di atasnya.
Dalam bukunya Al-Mu’taqad, Imam Baihaqi menyatakan dari sanad al-’Awza’i, Imam Malik dan Sufyan ats-Tsawri serta al-Layts Ibn Sa’d, bahwa ketikamereka ditanya hadis yang mutasyabihatat, mereka berkata : ”Terimalah mereka sebagaimana datangnya tanpa menerapkan ‘bagaimana’ padanya”. Hal ini karena jika seseorang bertanya bagaimana, jawabnya adalah “seperti ini atau itu”. Segala sesuatu selain Allah adalah makhluk dan Allah tidak seperti makhluk. Siapa pun tidak dapat membayangkan, Allah berbeda dari apa pun. Ketika ulama mengatakan :”….tanpa ‘bagaimana’ padanya”, mereka mengartikan bahwa Allah bersih dari sifat-sifat duduk, istirahat, bergerak, berkaki, bertubuh atau anggota tubuh.Mereka tidak mengartikan istiwa di atas singgasana… Sebaliknya, para ulama sepenuhnya meniadakan “bagaimana” pada Allah.
Sehingga pernyataan yang mengatakan “Allah duduk di atas singgasana tetapi kita tidak tahu bagaimana” adalah tertolak berdasar keterangan mereka. Siapa pun dengan suara pikiran tahu bahwa duduk, bagaimanapun caranya, adalah sifat-sifat tubuh. Bertempat membutuhkan “bagaimana” dan ditujukan kepada tubuh. Lebih lanjut, warna dan sentuhan adalah atribut tubuh dan “bagaimana” ditujukan padanya. Semuanya adalah mustahil ditujukan kepada Allah.
Hampir sama, ketika Rasul bertanya kepada budak hitam wanita: “Di mana Allah?”, para ulama mengartikan Beliau menanyakan tentang kedudukan Allah. Dia menjawab: Fis-sama”yang artinya Allah memiliki kedudukan tertinggi. Tetapi Musyabihah berkeras pada makna literal – Rasul menanyakan tempat Allah, dan dia menjawab “Allah di langit”, artinya langit adalah tempat Allah.
Beitu juga hadis : Jika kamu mengasihi yang di bumi, kamu akan dikasihi yang di langit. Artinya Jika kamu mengasihi yang di bumi, malaikat – yang ada di langit, akan membawa kasih Allah kepadamu. Tetapi Musyabihah berkeras pada makna literal”… Allah , yang ada di langit, akan mengasihimu”
Dengan menolak pemahaman majazi, mengakibatkan adanya saling kontradiksi antar ayat-ayat Al-Quran atau hadis. Sebagai contoh hadis terkenal “Allah di antara orang dan leher peliharaannya”. Hal ini secara langsung bertentangan dengan hadis “Allah di langit” di atas.
Juga dengan Al-Hadid :4 :”Allah bersama kamu dimana pun kamu berada”. Ulama mengartikan Allah mengetahui di mana pun kamu berada.
Juga Fushilat 54: Allah meliput segala sesuatu. Juga As-Shafat :99: arti literal: “Allah di negeri syam”, karena ayat ini berhubungan dengan Sayidina Ibrahim yang sedang pindah dari Iraq ke negeri Syam.
Juga Al-Baqarah :125 makna literalnya : “Ka’bah adalah rumah Allah”. Jika Surat An-Nahl 128 diambil literal, artinya menjadi “Allah bersama orang berbuat kebaikan”
Jika semua diambil makna literalnya betapa banyak kontradiksinya. Para ulamamengambil makna yang sesuai dan dapat diterima pada ayat dan hadis yang mutasyabihatat berdasar bahasa dan agama, dan dengan merujuk pada ayat muhkam.
Mereka mengartikan
Allah Maha Mengetahui dimana pun kamu berada (Hadid :4),
Allah mengetahui segala sesuatu (Fusilat:54),
Kabah adalah rumah yang sangat dimuliakan Allah (Al-Baqarah 125).
Surat Al-An’am 61 : merujuk “fauqiah” (aboveness) kekuasaan, sehinggaartinya “Segala sesuatu di bawah kekuasaan Allah
Surat An-Nahl 128 artinya Allah menolong orang-orang yang berbuat kebaikan.
Taha 5, artinya Allah menguasai Arsh dalam al-azal (tanpa permulaan),seperti seluruh sifat Allah.
Dalam pengambilan makna literal kaum musyabihah, mereka mencoba keluar dari kontradiksi dengan berkamuflase, bahwa Allah memiliki muka tanpa penampakan, dan Allah mempunyai “arah” yaitu atas, tetapi kita tidak tahu bagaimana; dan Allah mempunyai “betis” yang kita tidak tahu bagaimana betisnya. Juga mereka mengatakan Allah “duduk” tetapi kita tidak tahu bagaimana Dia duduk.
Ahli Bahasa dan hadis madzhab Hanafi, Imam Murtada Az-Zabidi, dalam bukunya Ithafus-Sadatil-Muttaqin, menolak orang yang menolak penunjukan makna yang dapat diterima pada ayat mutasyabihat dan berkeras pada makna literal. Dia mengatakan : “Pada dasarnya mereka merendahkan kedudukan Rasul; mereka mengklaim bahwa Rasul tidak tahu sifat-2 Allah yang diturunkan kepadanya; …”
Bagaimanapun Allah mengatakan Surat ash-Shu’ara’, ayah 195, “Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas” Az-Zabidi :”Orang yang mengambil posisi menentang pengambilan makna tertentu yang dapat diterima pada dasarnya adalah menyerupakan Allah dengan makhluk” Menskipun mereka berkilah dengan mengatakan bahwa Dia memiliki “tangan”, yang tidak sama dengan tangan makhluk, dan “betis” yang tidak sama dengan betis makhluk, bertempat/istawa yang tidak kita ketahui. Dia menyebut mereka:”Perkataan Anda bahwa ‘kita mengambil makna literal, yang tidak kita ketahui’ adalah kontradiksi. Jika anda mengambil makna literal, maka ‘as-saq’ dalam  Surat al-Qalam, ayah 42, adalah betis, yang itu adalah bagian tubuh yang berupa kulit, daging, tulang dan syaraf. Jika Anda mengambil makna literal, maka anda telah melakukan penghinaan, dan jika anda kemudian menolaknya, bagaimana anda mengklaim melakukan makna literal?”
Penutup
Yang pasti bahwa kedua metodologi baik Salaf dan Khalaf keduanya benar dan tidak mensifati Allah dengan yang tidak layak baginya.
Singkat kata, cara pertama yang benar dalam memahami ayat mutasyabihatat dalam Al-Quran adalah mempercayai sesuai yang Allah maksudkan tanpa mengatakan artinya , dan tanpa “bagaimana”, yaitu tanpa mensifati Allah duduk, berdiri, bertempat, bersifat indrawi, atau arti lain dan dikenakan pada manusia/makhluk. Dengan mengikuti metode ini, kita mengatakan, “Allah istiwa yang pantas bagi-Nya – yang bukan duduk, punya yad yang pantas bagi-Nya – yang bukan tangan, dan punya wajh yang pantas bagi-Nya – yang bukan muka”
Cara yang benar kedua adalah dengan memberi makna yang sesuai agama dan bahasa. Mengikuti metode ini, kita mengatakan “istiwa artinya ‘Dia menguasai Singgasana’, yad artinya ‘kasih/perhatian’-Nya, wajh artinya ‘Zat Allah’, ‘Kekuasaan’, atau ‘Kiblat’”.
….
Semoga Allah melindungi kita agar tidak terjatuh ke dalam perangkap menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Imam Abu Ja’far at-Tahawi, dalam Al-’Aqidatut-Tahawiyyah: “Siapa yang mensifati Allah dengan sesuatu yang ditujukan kepada manusia telah melakukan penghinaan”
Kita bermohon kepada Allah agar menjaga kita dalam jalan dan keyakinan yang benar yang dimiliki ulama Salaf dan Khalaf. Kita mohon lindungan Allah dari perangkap kesesatan, karena Rasul saw berkata dalam riwayat Tarmizi, “Seorang hamba akan mengucapkan sebuah kata yang dia tidak tahu merugikan, akan menyebabkan dia masuk ke dalam neraka selama 70 musim”. Itu adalah tempat yang hanya dicapai oleh orang kafir.
Sangat berhati-hatilah dengan apa yang kamu ucapkan untuk Allah, karena Surat Qaf, ayah 18, “setiap kata yang diucapkan akan ditulis oleh dua malaikat, Raqib dan Atid” Juga berhati-hatilah dari buku-buku tafsir/terjemahan Quran yang menserupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya, dengan mensifati Dia dengan cahaya, tangan, betis, wajah, duduk, arah, tempat dan sejenisnya. Allah bebas dari segala kelemahan dan segala sesuatu penyerupaan dengan makhluk-Nya. Segala puji bagi Rabbul Alamien, Yang Esa yang bersih dari segala penyerupaan dan segala sifat yang tidak pantas, dan dari segala yang merendahkan yang dikatakan oleh orang yang tidak benar tentang Dia.



Sonie Elbalarjani Muta'alim, Mahasiswa, Santri

Related Posts

0 Response to "MUHKAMAT MUTASYABIHATAT"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel