MUHKAMAT MUTASYABIHATAT
Thursday, August 20, 2015
Add Comment
MUHKAMAT MUTASYABIHATAT
Interpretasi metaforis
atau ta'wil, ialah
pemahaman ataupemberian pengertian
atas fakta-fakta tekstual
darisumber-sumber suci (al-Qur'an dan al-Sunnah)sedemikian rupa,sehingga yang diperlihatkan bukanlah
makna lahiriyah kata-kata
pada teks sumber suci itu, tapi
pada "makna dalam"
(bathin,inward meaning) yang dikandungnya. Metode pemahaman serupa
itu(ta'wil) telah muncul sejak masa-masa dini sejarah Islam (jikatidak malah
sejak masa Rasul Allah saw. sendiri, sebagaimanadikatakan kalangan
Islam tertentu). Karena
itu persoalaninterpretasi metaforis
ini mempunyai saham cukup besar dalamtimbulnya perselisihan, kemudian
perpecahan, di kalangan kaumMuslim. Maka
salah satu manfaat yang menjadi
tujuan tulisanini ialah tumbuhnya keinsafan lebih besar tentang bibit-bibit
perselisihan paham
dalam Islam, serta bagaimana seharusnyakita menempatkan
diri dalam kancah perselisihan
itu secaraadil.
Sikap dapat
memahami persoalan berkenaan dengan perselisihanpaham di kalangan umat
itu semakin dirasa mendesak akhir-akhirini.
Dalam abad telekomunikasi mondial yang serba cepat
danluas, setiap pribadi
orang modern mengalami
bombardemeninformasi yang seringkali
menyangkut segi-segi kesadarannyayang
mendalam. Dari sekian
banyak informasi itu,
untukkalangan kaum Muslim, ialah yang berkenaan dengan keadaan umatIslam
sendiri di seluruh dunia, termasuk
informasi tentangadanya berbagai
kelompok dan aliran pemikiran
yang beranekaragam Terlintas dalam
pikiran, misalnya kesadaran
hampirtiba-tiba kaum Muslim Indonesia tentang adanya golongan Syi'ahdan
berbagai alirannya, antara lain karena revolusi mereka diIran
1979. Lepas dari
masalah revolusi itu sendiri (yangagaknya lebih baik dilihat sebagai
gejala politik, sepertihalnya
dengan revolusi-revolusi lain),
kejadian di Iran padapenghujung dasawarsa lalu
itu dalam suatu
sentakan, telahmelahirkan sejenis
kesadaran baru di
kalangan umat Islamdunia, yaitu
kesadaran tentang pluralitas Islam dan
potensiyang ada di balik setiap golongan.
Maka
dengan menengok masalah ta'wil
ini, kita berharap dapatmenempatkan diri lebih baik dalam memandang
berbagai alirandan madzhab
di kalangan umat sendiri, untuk kemudian sikapyang sama
itu sedapat mungkin
kita bawa pada
persoalanmasyarakat secara keseluruhan.
AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHATAT
Salah satu
pokok perselisihan di
kalangan umat Islam yangterkait erat dengan masalah ta'wil ini ialah
adanya ayat-ayatsuci al-Qur'an yang
"bermakna jelas atau pasti" (muhkamat) danyang "bermakna samar
atau tidak pasti" (mutasyabihatat, yakni,yang
interpretable). Adanya kedua
jenis ayat itu, disebutkandalam Kitab Suci sendiri sebagai berikut:
هُوَ الَّذِىأَنزَلَ عَلَيْكَ
الْكِتَـبَ مِنْهُ آيَـتٌ مُّحْكَمَـتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَـبِوَأُخَرُ
مُتَشَـبِهَـتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فى قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَمَا
تَشَـبَهَ مِنْهُ ابْتِغَآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَآءَ تَأْوِيلِهِ وَمَايَعْلَمُ
تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَالرَسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَءَامَنَّا بِهِ
كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْالأَلْبَـابِ
Dia (Tuhan) yang telah menurunkan
kepada engkau (Muhammad)Kitab Suci,
yang didalamnya terdapat ayat-ayat muhkamat yangmerupakan induk Kitab
Suci (Umm al-Kitab), dan ayat-ayat
lainyang mutasyabihatat. Ada
pun orang-orang yang dalam hatinyaterdapat keserongan, mereka
akan mengikuti bagian-bagian
yangtersamar (mutasyabihatat) daripadanya,
dengan tujuan membuatfitnah
(perpecahan) dan mencari ta'wil bagian-bagian
tersamaritu. Padahal tidak
mengetahui ta'wil-nya kecuali
Allah.Sedangkan orang-orang yang
mendalam ilmunya maka
akanmenyatakan, "Kami percaya kepada Kitab Suci itu; semuanya
darisisi Tuhan kami." Dan tidaklah akan dapat merenung (menangkappesan) kecuali orang-orang yang
berpengertian mendalam.
Masalah muhkamat
dan mutasyabihatat itu
setidak-tidaknyamenimbulkan tiga jenis perbedaan pandangan: Pertama,
perbedaanpandangan tentang mana saja
ayat-ayat suci yang muhkamat, danmana pula yang mutasyabihatat. Karena
perselisihan ini maka adaayat-ayat suci
yang bagi suatu kelompok umat
Islam bersifatmuhkamat, namun bagi kelompok
lain bersifat mutasyabihatat.Firman-firman berkenaan
dengan surga dan neraka, misalnya,bagi kebanyakan kaum
Muslim bersifat muhkamat,
tapi bagisebagian mereka,
seperti golongan
al-Bathiniyyun
("KaumKebatinan" - lihat pembahasan di bawah), bersifat mutasyabihatat
sehingga pelukisan tentang surga dan neraka itu mereka
pahamisebagai metafor-metafor atau
kias-kias, yang tak
mestimenunjuk pada hakikatnya.
Kedua, perbedaan
pandangan tentang boleh
atau tidaknyamelakukan ta'wil
terhadap ayat-ayat yang mutasyabihatat itu.Sebagian kelompok
Islam membolehkannya, sehingga
dalammemahami ayat-ayat mutasyabihatat itu,
harus dilakukaninterpretasi di
balik ungkapan-ungkapan lahiriah. Sebagianlagi yang tidak membolehkannya, berpendapat
dalam memahamiayat-ayat itu
kita harus berhenti pada makna-makna sepertiyang dibawakan
ungkapan lahiriah lafal
dan kalimatnya.Termasuk dalam
permasalahan ini ialah problema homonimi (Arab:ism musytarak,
kata-kata berserikat), seperti
kata-kata"mendengar,"
"mengetahui,"
"melihat,',
"tangan",
"marah,""senang"' dan lain-lain
yang dalam Kitab
Suci disebutkansebagai sifat-sifat Tuhan, padahal kata-kata atau
sifat-sifat
itu juga dapat diberlakukan kepada
makhluk, khususnya manusia.Maka
pelukisan itu mengesankan
bahwa Tuhan dan
manusia"berserikat" dalam beberapa sifat dan
kelengkapan, dan inimenimbulkan problema.
Mereka yang melakukan
interpretasi(karena
beranggapan bahwa Tuhan
mustahil
memilikikualitas-kualitas
yang sama dengan
manusia) akan memandangayat-ayat yang bersangkutan dengan itu sebagai
metafor-metaforbelaka, sedangkan kenyataan tidaklah seperti yang
dikesankanpengertian lahir firman-firman
itu. Mereka yang
tidakmembenarkan
interpretasi akan melihat
firman-firman ituseperti adanya,
dengan memberi penegasan bahwa Tuhan
memilikikualitas-kualitas itu "tanpa bagaimana."
Ketiga, bagi
mereka yang membolehkan
interpretasi, masihterdapat perselisihan
tentang siapa yang
harus melakukaninterpretasi itu. Karena interpretasi bukanlah pekerjaan
yanggampang, maka sangat masuk akal bahwa hak
untuk melakukannyaharus dibatasi
hanya pada lingkungan yang memenuhi syarat,antara lain
pengetahuan yang luas dan kemampuan berpikir
yangmendalam. Ini membawa
konsekuensi terbaginya anggotamasyarakat manusia kepada kelompok-kelompok khusus
(khawas,al-khawash) dan
kelompok-kelompok umum (awam, al-'awam). Yangpertama adalah "kaum
ahli," dan yang
kedua terdiri dari
"orang-orang kebanyakan."
PANDANGAN PARA FILSUF
Seperti dapat diduga, para filsuf adalah kalangan
orang-orangMuslim yang paling banyak melakukan ta'wil, disebabkan
kuatnyapengakuan sebagai para
pencari hakikat dan
kebenarandemonstratif (yang terbuktikan secara tak terbantah).
Merekadengan kuat memandang,
ungkapan-ungkapan kebahasaan dalamsumber-sumber ajaran agama, baik Kitab Suci
maupun Sunnah Nabiadalah
ungkapan-ungkapan metaforis atau
alegoris. Jadi tidakdimaksudkan
seperti apa adanya
menurut arti lahiriahungkapan-ungkapan itu.
Untuk dapat menangkap arti sebenarnyadari ungkapan-ungkapan itu,
diperlukan disiplin dan
latihanberpikir yang tinggi,
yang menurut mereka hanya diperolehmelalui pemikiran
kefilsafatan.
Sesuai dengan makna asal katanya
dalam bahasa Yunani, filsafatadalah
kecintaan kepada kearifan (wisdom), kemudian menjadikearifan
itu sendiri, sehingga filsafat pun disebut al-hikmah.Maka para filsuf Islam
memandang diri mereka sebagai "penganutkearifan" (ahl
al-hikmah) atau para
orang
arif-bijaksana(al-hukama).
Kadang-kadang juga disebut ahl
al-burhan ("parapenganut
kebenaran demonstratif atau
apodeiktik, yaknikebenaran tak
terbantah").
Kelebihan mereka
itu, mereka adalah
golongan khawas dikalangan umat, dan mereka berhak, bahkan
wajib, menggunakanmetode interpretasi
metaforis terhadap teks-teks
keagamaan.Filsuf Islam terkenal dari Cordova, Spanyol, Ibn Rusyd
(Latin:Averroes), misalnya berpandangan
para filsuf selaku
ahlal-burhan itulah yang dimaksudkan dalam firman Ilahi (dikutipdi
atas) sebagai "orang-orang
yang mendalam ilmunya," karenamereka ini berhak atau wajib melakukan
ta'wil terhadap bunyiteks-teks suci.
Jadi bagi Ibn Rusyd firman Tuhan itu harusdibaca kaum
khawas sedemikian rupa sehingga "orang-orang yangmendalam
ilmunya" termasuk ke
dalam yang mengetahui ta'wilayat-ayat
mutasyabihatat. Yaitu dengan
memindah tanda bacaberhenti
(waqaf:) sehingga terbaca,
"... Padahal tidak
mengetahui ta'wilnya
kecuali Allah dan
orang-orang yangmendalam ilmunya.
Mereka ini berkata, "Kami beriman kepadaKitab Suci
itu; semuanya dari sisi
Tuhan kami..." sebagaiganti
cara baca kaum awam (lihat
terjemah kutipan firman itudi atas). [2]
Jadi para filsuf dengan kata lain,
memandang Nabi mengutarakansesuatu
dengan ungkapan-ungkapan metaforis dan alegoris, yangtidak
memaksudkan makna-makna lahir
ungkapan-ungkapan
itu,melainkan pada makna
batinnya. [3] Karena itu para filsufrawan terhadap tuduhan,
mereka sebenarnya menganut teori, Nabitelah
melakukan sejenis kebohongan:
Mengungkapkan sesuatutanpa memaksudkan
makna lahiriah ungkapan
itu.
Tapi"kebohongan" Nabi bukanlah
kejahatan, karena bertujuankebaikan, yaitu pendidikan orang
banyak atau kaum awam, agarmereka
berbuat baik dan meninggalkan keburukan. Dengan
katalain, para filsuf
menganut teori Nabi
telah
melakukan"kebohongan
untuk kebaikan" (al-kidzb
li al-mashlahah),seperti yang
dituduhkan Ibn Taymiyyah. [4] Karena "pendidikan"itu ditujukan pada
kalangan awam, maka kalangan khawas, yakni,para filsuf sendiri, tak seharusnya
mengikuti cara awam dalammemahami ajaran
agama. Para flsuf
harus melakukan
ta'wilterhadap bunyi-bunyi teks
suci baik Kitab
maupun Sunnah(Hadits), sedangkan
orang awam harus menerimanya menurut apaadanya sesuai dengan bunyi dan
makna lahiriah lafalnya
itu.Para filsuf akan
menjadi kafir jika
tidak melakukaninterpretasi (karena bagi mereka ajaran-ajaran agama tertentuseperti surga
dan neraka dalam
pengertian fisik itu tidak
masuk akal, jadi tertolak). Dan
sebaliknya, orang awam akanmenjadi
kafir jika melakukan interpretasi, disebabkan sulitnyapemahaman interpretatif
yang abstrak itu, yang tak
terjangkaukemampuan akal mereka.
Adanya bahaya ini (bahaya kekafiran,baik
dari pihak khawas
maupun awam), maka
Ibn Rusydberpendapat, ta'wil
harus disimpan dan
dirahasiakan untukkalangan kaum khawas
saja. [5] Sehingga
sering dikatakan,metode Ibn
Rusyd yang membagi manusia dalam
golongan khawasdan awam itu akan melahirkan semacam elitisme dalam kehidupanberagama.
AL-BATHINIYYUN (KAUM KEBATINAN)
Istilah al-Bathiniyyun, kadang-kadang
juga Ahl al-Bawathin(Kaum Kebatinan) digunakan
secara longgar untukmengidentifikasi kelompok-kelompok Islam
yang orientasinyaberat ke arah
paham keagamaan yang lebih mengutamakan
usahamenangkap makna dalam
(bathin) dari suatu teks atau
ajaranagama. Karena itu istilah tersebut berlaku untuk hampir semuakelompok
esoteris Islam, termasuk kaum
Sufi. Oleh kaum Sunniistilah itu juga secara khusus digunakan untuk
kelompok Islamtertentu, terutama
kaum Isma'ili, penganut
aliranIsma'iliyyah, yaitu suatu pecahan aliran Syi'ah
yang munculsesudah wafat Isma'il ibn Ja'far al-Shadiq sekitar
148 H (765M). Mereka juga
dinamakan kaum Syi'ah
Sab'iyyah (Syi'ahTujuh), karena
kepercayaan mereka pada imam-imam
yang tujuh(yaitu sejak Hasan ibn 'Ali sampai Muhammad ibn Isma'il
(ibnJa'far al-Shadiq ibn
Muhammad al-Baqir). Dalam
hal pahamkeimanan itu mereka berbeda
dengan umumnya golongan
Syi'ahItsna 'Asy'ariyyah (Syi'ah Duabelas, karena kepercayaan merekapada
imam-imam yang duabelas jumlahnya, sejak dari
Hasan ibn'Ali sebagai
imam pertama, melalui Ja'far
al-Shadiq sepertikaum Isma'ili, tapi menyimpang ke Musa
al-Kadhim ibn Jafar--dan bukannya
ke Muhammad ibn Isma'il-- kemudian berakhirdengan
Muhammad al-Muntadhar, yang dipercayai sekarang
sedangbersembunyi dan akan kembali sebagai Imam Mahdi).
Adalah al-Bathiniyyun ini
yang menjadi salah satu sasarankarya-karya polemis pemikir
Sunni al-Ghazali dalam
rangkausahanya menghancurkan filsafat.
Sebab dalam melakukan ta'wilterhadap fakta-fakta tekstual
agama, para pengikut
Syi'ah
Isma'iliyyah ini
memang banyak sekali
menggunakansumber-sumber
filsafat, khususnya Neo-Platonisme. Merekamemang
masih memiliki persamaan
dengan orang-orang
Muslimlain, seperti pandangan
tentang kewajiban melakukanibadat-ibadat tertentu. Tapi mereka juga berpegang pada
pahamtentang adanya ajaran-ajaran esoteris (bathin) yang membentuksistem filsafat
kaum Isma'ili. Dalam
gabungannya dengansemangat
keagamaan mereka, sistem filsafat
itu menyediakanpenyimpangan kandungan
batin ajaran-ajaran agama yang antaralain, bagi mereka, memberi
dukungan pada usaha
pembuktianbahwa lembaga imamat (keimaman) adalah langsung dari Tuhan.
Pembuktian itu
diperoleh antara lain karena doktrin, semuaajaran agama
(Islam) selalu mengandung makna lahir
dan maknabatin. Tapi karena orang awam, seperti juga menjadi
pandangankaum filsuf, tak mampu menangkap makna batin yang sulit
itu,malah berbahaya bagi
mereka, maka makna batin itu ditujukanhanya pada orang-orang
istimewa tertentu saja.
Makna dankebenaran agama,
khususnya kandungan al-Qur'an,
yangtersembunyi dan dirahasiakan itu hanya diberikan Nabi
kepada'Ali, kemenakan, menantu
dan sahabat yang menjadi kepercayaanbeliau. Maka hanya mereka yang memiliki
kemampuan spiritualyang tinggi
sajalah yang mampu mengakui peranan khusus 'Ali,dan hanya mereka
inilah yang dapat
menangkap makna-maknabatiniah
agama.
Contoh:
Ayat Muhkamat
Yaitu ayat
yang hanya mempunyai satu arti menurut aturan bahasa Arab atau lainnya, arti
ayat itu jelas diketahui. Misalnya :Tidak ada yang serupa dengan-Nya (QS Asyura :11)Dan tidak satupun
yang menyamai-Nya (Al-Ikhlas :4)
Ayat Mutasyabihatat
Yaitu
ayat-ayat yang dapat memiliki banyak arti menurut bahasa Arab. Penunjukan makna
ayat ini membutuhkan pemikiran yang dalam sehingga dapat diterima. Misalnya
Surat Thaha : 5
“(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas
‘Arsy. (QS. 20:5)
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur. (QS. 35:10)
Menurut kaidah bahasa Arab, itu adalah ayat mutasyabihatat, sehingga memiliki banyak arti. Pemilihan maknanya harus dilakukan sehingga sesuai dengan kaidah bahasa dan agama, dan tidak bertentangan dengan ayat muhkamat. Ayat-ayat Al-Quran tidak mungkin saling bertentangan. Begitu juga hadis tidak boleh saling bertentangan. Juga hadis tidak mungkin bertentangan dengan ayat Al-Quran. Ada dua metodologi untuk menerangkan ayat mutasyabihatat, keduanya benar :
1. metodologi Salaf2. metodologi khalaf
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur. (QS. 35:10)
Menurut kaidah bahasa Arab, itu adalah ayat mutasyabihatat, sehingga memiliki banyak arti. Pemilihan maknanya harus dilakukan sehingga sesuai dengan kaidah bahasa dan agama, dan tidak bertentangan dengan ayat muhkamat. Ayat-ayat Al-Quran tidak mungkin saling bertentangan. Begitu juga hadis tidak boleh saling bertentangan. Juga hadis tidak mungkin bertentangan dengan ayat Al-Quran. Ada dua metodologi untuk menerangkan ayat mutasyabihatat, keduanya benar :
Metodologi Salaf
Salaf adalah
ulama yang hidup pada masa tiga abad pertama hijrah. Metodologi ini adalah
pemberian penjelasan umum, sehingga ulama salaf ayat ini memiliki arti sesuai
dengan kesempurnaan Allah. Daripada mengatakan artinya, mereka merujukkan
ayat-ayat mutasyabihatat ke ayat muhkam. Contoh yang baik adalah
perkataan Imam Syafii :
“Saya
percaya dengan apa yang Allah turunkan sesuai makna yang diinginkan-Nya, dan
apa yang Rasulullah sampaikan sesuai dengan makna yang dia maksud.”
Dengan
perkataan lain, arti yang sesuai tidak berdasarkan makna fisik dan indra yang
salah, yang akan membawa kepada misalnya tempat, bentuk, kaki, gerakan, duduk,
warna, arah, tersenyum, tertawa atau makna lain yang tidak boleh disifatkan
kepada Allah. Lebih lanjut, orang Arab pada ketiga abad itu memiliki bahasa
Arab yang alami dan sangat fasih. Mereka memahami bahwa ayat-ayat itu memiliki
makna yang layak bagi Allah, dan mustahil bahwa mereka akan memberi makna fisik
dan indrawi yang tidak layak bagi Allah.
Meski
demikian, telah diketahui bahwa beberapa ulama salaf memberi makna tertentu
kepada ayat Mutasyabihat. Imam Bukari dalam Shahih-nya, bab Tafsirul Quran, memberi makna tertentu kepada lafal “illa wajhahu”
yaitu dalam QS Al-Qashash 88. Dia mengatakan, “illa mulkahu”, yaitu dia mengatakan
bahwa “wajh”
– yang disifatkan kepada Allah – artinya “mulk” atau “kerajaan/kekuasaan”.
Metodologi Khalaf
Khalaf
adalah ulama yang hidup sesudah 3 abad pertama hijrah. Metodologi ini adalah
memberikan makna tertentu kepada ayat mutasyabihat. Ulama khalaf yang
hidup pada saat di mana orang mulai kehilangan bahasan alami dan
kefasihan berbahasa Arab. Melihat bahwa orang Arab kemampuan bahasa alaminya
menurun dan mereka takut pada orang yang hatinya condong kepada kesesatan akan
membaca ayat mutasyabihatat dengan arti yang tidak layak
bagi Allah, sebagaimana Surat Ali Imran ayat 3 di atas. Untuk menjaga aqidah Islam,
ulama khalaf mengikuti contoh di antara ulama salaf yang memberi arti tertentu
pada ayat-ayat mutasyabihatat. Dengan mengacu ayat itu dengan
ayat muhkamat, mereka memberi arti tertentu
kepada ayat mutasyabihatat yang sesuai dengan kaidah bahasa dan agama.
Mereka memberi makna yang benar dan dapat diterima pada ayat mutasyabihat.
Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan
Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka berkata: “Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabihatat, semuanya itu dari sisi Rabb kami”. Dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang
berakal. (QS. 3:7).
Sehubungan
dengan ayat ini Ibn Abas : “Saya adalah satu dari orang yang mendalam ilmu
agamanya”. Masyhur bahwa Ibn Abbas adalah unggul di antara sahabat dalam
menerangkan arti ayat Quran.
Di antara
orang yang hatinya condong kepada kesesatan adalah musyabbihah, yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka
secara salah mengklaim bahwa dilarang menunjuk pada arti tertentu pada ayat mutasyabihat
dan khususnya yang berhubungan dengan sifat Allah. Lebih lanjut, mereka membuat
aturan yang keliru bahwa penunjukkan makna tertentu pada ayat
tersebut yang akan membawa kepada peniadaan sifat-sifat Allah. Klaim mereka
ini membawa pada interpretasi ayat Quran saling kontradiksi dan juga
interpretasi antar hadis, dan interpretasi hadis dan Quran. Lebih lanjut klaim
mereka ini telah menuduh ulama-ulama salaf dan khalaf dengan fitnah bahwa
mereka meniadakan sifat-sifay Allah. Ini akan meliputi : Ibn ‘Abbas,
Sufyan ats-Tsawri, Mujahid, Sa’id Ibn Jubayr, Malik, Ahmad,
al-Bukhari, an-Nawawi, Ibn Rajab al-Hanbali, Ibn-ul-Jawzi, Ibn Hajar ,
al-Bayhaqi, Abu Fadl at-Tamimi, ‘Abdul-Qahir al-Baghdadi, ulama hadis dan ahli
bahasa Murtada az-Zabidi, dll. (Ketr. lihat isi artikel berikutnya…)
Dengan klaim
mereka ini, mereka bertentangan dengan Rasul. Al-Bukhari menyatakan bahwa Rasul
melakukan doa untuk Ibn Abbas. Rasul saw mengatakan :
Ya Allah, ajari dia ilmu hadis dan penjelasan Quran.
Ya Allah, ajari dia ilmu hadis dan penjelasan Quran.
Dalam bab
Tafsir al-Qur’an, Imam al-Bukhari mengatakan bahwa kata wajhahu
dalam Surat al-Qasas, ayah 88, berarti “Kerajaan/kekuasan-Nya.” Tetapi,
mushabbihah yang menserupakan Allah dengan makhluk mengatakan, “Kami tidak
menginterpretasikan, tetapi memilih makna literal,” sehingga mereka mengatakan
wajhahu artinya “muka-Nya.”
Ibn Hajar
al-’Asqalani, dalam Al-Fath (Sarah Sahih al-Bukhari), Volume 6, hal 39-40:
” ….. sehubungan dengan perkatakan sifat Allah , ad-dahik (tertawa), artinya
“mengasihi,’ dekat dengan makna ‘menerima kebiakan’. Tetapi mushabihah berkeras
mengambil makna literal, sehingga mereka mengatakan bahwa Allah tersenyum atau
tertawa.
Dalam Surat
Al-Qalam 42 :
Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil
untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (QS. 68:42)
Salaf
mengatakan lafal “saq”
sebagai “suatu kesulitan”, sehingga makna ayat adalah “hari yang penuh
ketakutan dan kesulitan”. Penjelasan ini diberikan oleh Ibn ‘Abbas, Mujahid,
Ibrahim an Nakh’i, Qatadah, Sa’id Ibn Jubayr, dan sejumlah ulama. baik Imam
al-Fakhr ar-Razi dalam Tafsir Qur’an, Volume 30, hal 94 dan Imam
al-Bayhaqi dalam Al-’Asma’ was-Sifat, (hal 245) dan Fath-al-Bari, (Volume;13,
hal 428) meriwayatkan penjelasan dari Ibn ‘Abbas. Ibn Qulayb Juga menyatakan
dari Sa’id Ibn Jubayr yang mendapat ilmu dari ‘Abdullah Ibn ‘Abbas and Ibn
‘Umar. Tetapi mutashabihah berkeras pada makna literal dan mensifati pada Allah
“betis”, dengan mengartikan literal ‘betis’.
Dalam
Al-Baqarah 115 : Dan
kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(QS. 2:115)
Imam
Mujahid, murid Ibn ‘Abbas, mwngatakan bahwa kata wajh artinya ‘qiblat, pada
waktu sahalat sunah dalam perjalanan atau naik hewan. Tetapi orang mushabihah
berkeras dengan makna literal, mereka mengartikan “muka/wajah”.
Begitu juga,
jika ayat 12 At-Tahrim :” Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami”,
diambil makna literal artinya Allah meniup sebagian dari Ruh-Nya kepada Isa.
Ulama mengatakan artinya : Allah menyuruh Jibril untuk meniup ke dalam Nabi Isa
ruh yang dimuliakan Allah. Juga dalam Shad 75, secara literal berarti : Allah
berfirman: “Hai
iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan
kedua tangan-Ku. …” (QS. 38:75) Para ulama mengatakan arti “yadain”
adalah “perhatian/kasih (care)”. Tetapi, orang mushabihah berkeras bahwa arti
yadain adalah tangan. Juga An-Nur :35, “ Allah adah Cahaya langit dan bumi…”. Para ulama
mengartikan : ‘Allah (Pencipta/Pemberi) petunjuk di langit dan bumi’. Tetapi
mushabihah berkeras dengan makna literal, Allah adalah cahaya. Al-Fajr:22 : “Datanglah
Tuhanmu..”. Imam Ahmad Ibn Hanbal, mengartikan : Kekuasaan Allah
telah datang. Hafiz Imam al-Baiaqi dalam Manaqib Ahmad, menerangkan dari sanad
sahih. Juga Ibn al-Jawzi al-Hanbali, ulama Madzhab Hambali, menyatakn bahwa
Imam Ahmad menunjuk pada arti tertentu, yang dapat diterima, yang mutasyabihatat.
Dia juga membuktikan bahwa Imam Ahmad tidak mempercayai tentang “maji-ah”
(dari ja-a) dalam ayat itu, bahwa itu adalah pergerakan. Imam Ibn Al-Jauzi,
juga : Tidak mungkin Allah bergerak”. Tetapi musyabihah berkeras bahwa “Allah
datang” ( dari satu tempat ke tempat lain). Hadis dari Bukhari (ttg. Allah
nuzul /turun) dijelaskan Imam Malik : Sebagai turunnya kasih sayang dan bukan gerakan. Tetapi kaum musyabihah
berkeras “nuzul” artinya Allah turun dalam arti gerakan.
Mengutip
Imam Asy’ari, Imam Baihaqi, dalam buku Al-Asma wa Sifat hal 488 : “Allah ta’ala
tidak di suatu tempat. Gerakan, istirahat dan duduk adalah
sifat-sifat badan”Imam Ibn Rajab al-Hambali menjelaskan lafaz “istiwa” dalam Surat Taha :5 artinya “al-istila” yang artinya menguasai (subjugating). Ketika al-istila digunakan untuk menjelaskan ayat ini, itu berarti Allah menguasai Arsy dengan penguasaan tanpa awal. Jika ayat ini dijelaskan dengan cara ini, itu artinya Allah disifati dengan menguasai Arsy sebelum Arsy diciptakan, sama seperti Allah disifati sebagai pencipta sebelum sesuatu yang diciptakan ada. Dalam konteks ini, ulama memberi istilah “al-azal”, yang berarti keadaan tanpa permulaan. Jadi dapat dikatakan bahwa Allah menguasai (istila) ‘arsy dalam al-azal, yang berarti bahwa Allah menguasai ‘arsy dengan penguasaan tanpa permulaan. Tetapi kaum musyabihah berkeras dengan makna literal, mereka mengatakan istiwa artinya “duduk” di atas Singgasana atau “bertempat secara kuat” di atasnya.
sifat-sifat badan”Imam Ibn Rajab al-Hambali menjelaskan lafaz “istiwa” dalam Surat Taha :5 artinya “al-istila” yang artinya menguasai (subjugating). Ketika al-istila digunakan untuk menjelaskan ayat ini, itu berarti Allah menguasai Arsy dengan penguasaan tanpa awal. Jika ayat ini dijelaskan dengan cara ini, itu artinya Allah disifati dengan menguasai Arsy sebelum Arsy diciptakan, sama seperti Allah disifati sebagai pencipta sebelum sesuatu yang diciptakan ada. Dalam konteks ini, ulama memberi istilah “al-azal”, yang berarti keadaan tanpa permulaan. Jadi dapat dikatakan bahwa Allah menguasai (istila) ‘arsy dalam al-azal, yang berarti bahwa Allah menguasai ‘arsy dengan penguasaan tanpa permulaan. Tetapi kaum musyabihah berkeras dengan makna literal, mereka mengatakan istiwa artinya “duduk” di atas Singgasana atau “bertempat secara kuat” di atasnya.
Dalam
bukunya Al-Mu’taqad, Imam Baihaqi menyatakan dari sanad al-’Awza’i,
Imam Malik dan Sufyan ats-Tsawri serta al-Layts Ibn Sa’d, bahwa ketikamereka ditanya hadis yang mutasyabihatat,
mereka berkata : ”Terimalah mereka sebagaimana datangnya tanpa menerapkan
‘bagaimana’ padanya”. Hal ini karena jika seseorang bertanya bagaimana,
jawabnya adalah “seperti ini atau itu”. Segala sesuatu selain Allah adalah
makhluk dan Allah tidak seperti makhluk. Siapa pun tidak dapat membayangkan,
Allah berbeda dari apa pun. Ketika ulama mengatakan :”….tanpa ‘bagaimana’
padanya”, mereka mengartikan bahwa Allah bersih dari sifat-sifat duduk,
istirahat, bergerak, berkaki, bertubuh atau anggota tubuh.Mereka tidak
mengartikan istiwa di atas singgasana… Sebaliknya, para ulama sepenuhnya
meniadakan “bagaimana” pada Allah.
Sehingga
pernyataan yang mengatakan “Allah duduk di atas singgasana tetapi kita tidak
tahu bagaimana” adalah tertolak berdasar keterangan mereka. Siapa pun dengan
suara pikiran tahu bahwa duduk, bagaimanapun caranya, adalah sifat-sifat tubuh.
Bertempat membutuhkan “bagaimana” dan ditujukan kepada tubuh. Lebih lanjut,
warna dan sentuhan adalah atribut tubuh dan “bagaimana” ditujukan padanya.
Semuanya adalah mustahil ditujukan kepada Allah.
Hampir sama,
ketika Rasul bertanya kepada budak hitam wanita: “Di mana Allah?”, para ulama
mengartikan Beliau menanyakan tentang kedudukan Allah. Dia menjawab: Fis-sama”yang
artinya Allah memiliki kedudukan tertinggi. Tetapi Musyabihah berkeras pada
makna literal – Rasul menanyakan tempat Allah, dan dia menjawab “Allah di
langit”, artinya langit adalah tempat Allah.
Beitu juga
hadis : Jika
kamu mengasihi yang di bumi, kamu akan dikasihi yang di langit.
Artinya Jika kamu mengasihi yang di bumi, malaikat – yang ada di langit, akan
membawa kasih Allah kepadamu. Tetapi Musyabihah berkeras pada makna literal”…
Allah , yang ada di langit, akan mengasihimu”
Dengan
menolak pemahaman majazi, mengakibatkan adanya saling kontradiksi antar
ayat-ayat Al-Quran atau hadis. Sebagai contoh hadis terkenal “Allah di antara
orang dan leher peliharaannya”. Hal ini secara langsung
bertentangan dengan hadis “Allah di langit” di atas.
Juga dengan
Al-Hadid :4 :”Allah
bersama kamu dimana pun kamu berada”. Ulama mengartikan Allah
mengetahui di mana pun kamu berada.
Juga Fushilat 54: Allah meliput segala sesuatu. Juga As-Shafat :99: arti literal: “Allah di negeri syam”, karena ayat ini berhubungan dengan Sayidina Ibrahim yang sedang pindah dari Iraq ke negeri Syam.
Juga Fushilat 54: Allah meliput segala sesuatu. Juga As-Shafat :99: arti literal: “Allah di negeri syam”, karena ayat ini berhubungan dengan Sayidina Ibrahim yang sedang pindah dari Iraq ke negeri Syam.
Juga
Al-Baqarah :125 makna literalnya : “Ka’bah adalah rumah Allah”. Jika Surat An-Nahl 128
diambil literal, artinya menjadi “Allah bersama orang berbuat kebaikan”
Jika semua
diambil makna literalnya betapa banyak kontradiksinya. Para ulamamengambil
makna yang sesuai dan dapat diterima pada ayat dan hadis yang mutasyabihatat
berdasar bahasa dan agama, dan dengan merujuk pada ayat muhkam.
Mereka
mengartikan
Allah Maha Mengetahui dimana pun kamu berada (Hadid :4),
Allah mengetahui segala sesuatu (Fusilat:54),
Kabah adalah rumah yang sangat dimuliakan Allah
(Al-Baqarah 125).
Surat
Al-An’am 61 : merujuk “fauqiah” (aboveness) kekuasaan, sehinggaartinya “Segala sesuatu
di bawah kekuasaan Allah”
Surat
An-Nahl 128 artinya Allah menolong orang-orang yang berbuat kebaikan.
Taha 5,
artinya
Allah menguasai Arsh dalam al-azal (tanpa permulaan),seperti seluruh sifat
Allah.
Dalam
pengambilan makna literal kaum musyabihah, mereka mencoba keluar dari
kontradiksi dengan berkamuflase, bahwa Allah memiliki muka tanpa penampakan,
dan Allah mempunyai “arah” yaitu atas, tetapi kita tidak tahu bagaimana; dan
Allah mempunyai “betis” yang kita tidak tahu bagaimana betisnya. Juga mereka
mengatakan Allah “duduk” tetapi kita tidak tahu bagaimana Dia duduk.
Ahli Bahasa
dan hadis madzhab Hanafi, Imam Murtada Az-Zabidi, dalam bukunya
Ithafus-Sadatil-Muttaqin, menolak orang yang menolak penunjukan makna yang dapat diterima pada ayat mutasyabihat dan berkeras
pada makna literal. Dia mengatakan : “Pada dasarnya mereka merendahkan
kedudukan Rasul; mereka mengklaim bahwa Rasul tidak tahu sifat-2 Allah yang
diturunkan kepadanya; …”
Bagaimanapun
Allah mengatakan Surat ash-Shu’ara’, ayah 195, “Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab yang
jelas” Az-Zabidi :”Orang yang mengambil posisi menentang
pengambilan makna tertentu yang dapat diterima pada dasarnya adalah
menyerupakan Allah dengan makhluk” Menskipun mereka berkilah dengan mengatakan
bahwa Dia memiliki “tangan”, yang tidak sama dengan tangan makhluk, dan “betis”
yang tidak sama dengan betis makhluk, bertempat/istawa yang tidak kita ketahui.
Dia menyebut mereka:”Perkataan Anda bahwa ‘kita mengambil makna literal, yang
tidak kita ketahui’ adalah kontradiksi. Jika anda mengambil makna literal, maka
‘as-saq’ dalam Surat al-Qalam, ayah 42, adalah betis, yang itu adalah
bagian tubuh yang berupa kulit, daging, tulang dan syaraf. Jika Anda mengambil
makna literal, maka anda telah melakukan penghinaan, dan jika anda kemudian
menolaknya, bagaimana anda mengklaim melakukan makna literal?”
Penutup
Yang pasti bahwa kedua metodologi baik Salaf dan Khalaf keduanya benar dan tidak mensifati Allah dengan yang tidak layak baginya.
Yang pasti bahwa kedua metodologi baik Salaf dan Khalaf keduanya benar dan tidak mensifati Allah dengan yang tidak layak baginya.
Singkat
kata, cara pertama yang benar dalam memahami ayat mutasyabihatat dalam
Al-Quran adalah mempercayai sesuai yang Allah maksudkan tanpa mengatakan
artinya , dan tanpa “bagaimana”, yaitu tanpa mensifati Allah duduk, berdiri,
bertempat, bersifat indrawi, atau arti lain dan dikenakan pada manusia/makhluk.
Dengan mengikuti metode ini, kita mengatakan, “Allah istiwa yang
pantas bagi-Nya – yang bukan duduk, punya yad yang pantas bagi-Nya – yang bukan tangan, dan punya
wajh yang pantas bagi-Nya – yang bukan muka”
Cara yang benar kedua adalah dengan memberi makna yang sesuai agama dan bahasa.
Mengikuti metode ini, kita mengatakan “istiwa artinya ‘Dia menguasai Singgasana’, yad
artinya ‘kasih/perhatian’-Nya, wajh artinya ‘Zat Allah’, ‘Kekuasaan’, atau
‘Kiblat’”.
….
Semoga Allah melindungi kita agar tidak terjatuh ke dalam perangkap menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Imam Abu Ja’far at-Tahawi, dalam Al-’Aqidatut-Tahawiyyah: “Siapa yang mensifati Allah dengan sesuatu yang ditujukan kepada manusia telah melakukan penghinaan”
Semoga Allah melindungi kita agar tidak terjatuh ke dalam perangkap menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Imam Abu Ja’far at-Tahawi, dalam Al-’Aqidatut-Tahawiyyah: “Siapa yang mensifati Allah dengan sesuatu yang ditujukan kepada manusia telah melakukan penghinaan”
Kita
bermohon kepada Allah agar menjaga kita dalam jalan dan keyakinan yang benar
yang dimiliki ulama Salaf dan Khalaf. Kita mohon lindungan Allah dari perangkap
kesesatan, karena Rasul saw berkata dalam riwayat Tarmizi, “Seorang hamba akan
mengucapkan sebuah kata yang dia tidak tahu merugikan, akan menyebabkan dia
masuk ke dalam neraka selama 70 musim”. Itu adalah tempat yang hanya dicapai
oleh orang kafir.
Sangat
berhati-hatilah dengan apa yang kamu ucapkan untuk Allah, karena Surat Qaf,
ayah 18, “setiap
kata yang diucapkan akan ditulis oleh dua malaikat, Raqib dan Atid” Juga
berhati-hatilah dari buku-buku tafsir/terjemahan Quran yang menserupakan Allah
SWT dengan makhluk-Nya, dengan mensifati Dia dengan cahaya, tangan, betis,
wajah, duduk, arah, tempat dan sejenisnya. Allah bebas dari segala kelemahan
dan segala sesuatu penyerupaan dengan makhluk-Nya. Segala puji bagi Rabbul
Alamien, Yang Esa yang bersih dari segala penyerupaan dan segala sifat yang
tidak pantas, dan dari segala yang merendahkan yang dikatakan oleh orang yang tidak
benar tentang Dia.
0 Response to "MUHKAMAT MUTASYABIHATAT"
Post a Comment