MANUSIA MENURUT AL – Qur’an
Friday, August 28, 2015
Add Comment
MANUSIA MENURUT AL
– Qur’an
Al-Qur’an menegaskan kualitas dan
nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling
berhubungan, yakni al-insaan, an-naas, al-basyar, dan banii
Aadam. Manusia disebut al-insaan karena dia sering
menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Sedangkan kata an-naas
(terambil dari kata an-naws yang berarti gerak; dan ada juga yang
berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas yang berarti
nampak) digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam
arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia.
Manusia disebut al-basyar, karena dia
cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan.
Manusia disebut sebagai banii Aadam karena dia menunjukkan pada asal-usul
yang bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati
dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia
akan kembali.
Penggunaan
istilah banii Aadam menunjukkan bahwa manusia bukanlah
merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini
diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur’an oleh Allah dengan
huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang
menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta)
dan bukan jamak (antum) sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat
35.
Manusia
dalam pandangan al-Qur’an bukanlah makhluk anthropomorfisme yaitu
makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al-Qur’an
menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki
sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu manusia dianugerahi akal
yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan buruk, sehingga membawa
dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia takwa.
Al-Qur’an
memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai
manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai
cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan
Adam dan istrinya diturunkan dari sorga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa
manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran
justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan
menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski
dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan
kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai
makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif).
Karena
itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan
indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian
semulia itu . Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik
benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses
pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan
yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup
manusia selalu dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu
sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu
menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia
berkualitas mutaqqin di atas.
Gambaran
al-Qur’an tentang kualitas dan hakikat manusia di atas megingatkan kita pada
teori superego yang dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli
psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak dijadika rujukan tatkala orang
berbicara tentang kualitas jiwa manusia.
Menurut
Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang
mempunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido
bitalis), sehingga penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu
buruk) tidak mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu
muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah)
berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia.Sebaliknya, superego
pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala
instink, intuisi, dan intelegensi –ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang
beragama– bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa
memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang
positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang
negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.
Sebagai
kesimpulan dapatlah diterangkan bahwa kualitas manusia
berada diantara naluri dan nurani. Dalam rentetan seperti
itulah manusia berperilaku, baik perilaku yang positif maupun yang negatif.
Fungsi intelegensi dapat menaikkan manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Namun
intelegensi saja tidaklah cukup melainkan harus diikuti dengan nurani yang
tajam dan bersih. Nurani (mata batin, akal budi) dipahami sebagai superego, sebagi
conscience atau sebagai nafsu muthmainnah (dorongan yang
positif). Prof. Dr. Fuad Hasan mengatakan bahwa bagi manusia
bukan sekedar to live (bagaimana memiliki) dan to survive (bagaimana
bertahan), melainkan juga to exist (bagaimana keberadaannya). Untuk itu,
maka manusia memerlukan pembekalan yang kualitatif dan kuantitatif yang lebih
baik daripada hewan.
Manusia
bisa berkulitas kalau ia memiliki kebebasan untuk berbuat dan kehendak. Tetapi
kebebasan disini bukanlah melepaskan diri dari kendali rohani dan akal sehat,
melainkan upaya kualitatif untuk mengekspresikan totalitas kediriannya, sambil
berjuang keras untuk menenangkan diri sendiri atas dorongan naluriah yang
negatif dan destruktif. Jadi kebebasan yang dimaksudkan disini adalah upaya sadar untuk mewujudkan kualitas dan nilai dirinya
sebagai khalifah Allah di muka bumi secara bertangung jawab.
Kualitas
dan nilai manusia akan terkuak bila manusia memiliki kemampuan untuk
mengarahkan naluri bebasnya itu berdasarkan pertimbangan aqliah yang
dikaruniai Allah kepadanya dan dibimbing oleh cahaya iman yang menerangi
nuraninya yang paling murni. Wallaahu A’lam.
Sumber : Kamis, 30 April 2009 00:00
Ikah Rohilah, M.Si.
Fikrah - Psikologi Islam
0 Response to "MANUSIA MENURUT AL – Qur’an"
Post a Comment