Pembukuan Alquran Menjaga Kemurniaan Alquran
Monday, August 24, 2015
Add Comment
Pembukuan Alquran Menjaga
Kemurniaan Alquran
Memudahkan Umat Membaca dan Memahami Alquran
Alquran dicetak pertama kali di Bundukiyah(Vinece) tahun 1530 M atau abad 10 M
Bersamaan dengan diangkatnya Muhammad sebagai nabi dan rasul akhir zaman, Allah SWT menurunkan Alquran ke dunia melalui perantara malaikat Jibril. Untuk kali pertama dan seterusnya, Nabi Muhammad SAW menerima Alquran sebagai kumpulan wahyu-wahyu Allah SWT pada bulan Ramadhan.
Sebagai seorang rasul, Muhammad SAW tidak hanya sekadar menerima wahyu yang disampaikan melalui perantara malaikat Jibril, dirinya juga berkewajiban untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada para pengikutnya. Dari sinilah, kemudian muncul pemikiran untuk menuliskan (pencatatan dalam bentuk teks) wahyu Allah SWT yang sudah diterima Nabi Muhammad SAW.
Pada tahap awal, Alquran ditulis di atas pelepah kurma, kulit binatang, potongan tulang, dan batu. Untuk menuliskannya, Rasulullah SAW telah mengangkat para penulis wahyu dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Ubai bin Ka'ab, dan Zaid bin Tsabit. Setiap ada ayat turun, beliau memerintahkan mereka untuk menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan di dalam hati. Zaid bin Tsabit berkata, ''Kami menyusun Alquran di hadapan Rasulullah pada kulit binatang.''
Di samping itu, sebagian sahabat juga menuliskan Alquran itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh Rasulullah SAW. Para sahabat ini menuliskan juz dan surat yang mereka hafal langsung dari Rasulullah SAW. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Alquran di hadapan Nabi.
Meski upaya menuliskan Alquran sudah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW, tulisan-tulisan tersebut belum terhimpun dalam satu mushaf. Tulisan Alquran yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Sebab, Rasulullah SAW masih menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.
Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tidak sekaligus, melainkan secara bertahap. Kendati demikian, semuanya ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan. Dalam suatu riwayat, Az-Zarkasyi berkata, ''Alquran tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah semuanya lengkap.''
Sepeninggal Rasulullah SAW, barulah upaya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan yang berisikan ayat-ayat Alquran mulai dilakukan. Hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Khalifah Abu Bakar atas usulan Umar bin Khattab. Dalam sejumlah riwayat, disebutkan bahwa pada awal kepemimpinannya, Abu Bakar dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar yang berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab.
Karena itu, ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Alquran. Dalam peperangan ini, 70 orang hafiz (penghafal Alquran) dari para sahabat gugur.
Melihat kenyataan ini, Umar bin Khattab merasa khawatir. Ia kemudian menghadap Abu Bakar dan memberi usul kepadanya agar segera mengumpulkan dan membukukan Alquran sebab peperangan Yamamah telah menyebabkan banyaknya penghafal Alquran yang gugur di medan perang. Ia juga khawatir jika peperangan di tempat lain akan menewaskan lebih banyak penghafal Alquran.
Meski awalnya sempat ragu karena Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan pembukuan Alquran, demi kemaslahatan umat Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit (yang dikenal sebagai juru tulis Alquran di masa Rasulullah) untuk menuliskan dan mengumpulkan kembali naskah Alquran yang masih berserakan tersebut. Zaid melakukan tugasnya ini dengan sangat teliti dan hati-hati. Maka itu, dia tidak hanya cukup mengandalkan hafalan yang ada dalam hati para hafiz tanpa disertai catatan yang ada pada para penulis.
Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Zaid berkata, ''Maka, aku pun mulai mencari Alquran. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, dari keping-kepingan batu, dan dari hafalan para penghafal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat Attaubah berada pada Abu Huzaimah Al-Anshari yang tidak kudapatkan pada orang lain.''
Perkataan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan sehingga akhir surat Attaubah itu telah dihafal oleh banyak sahabat. Dan, mereka menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi, catatannya hanya terdapat pada Abu Huzaimah Al-Ansari.Lembaran-lembaran yang dikumpulkan oleh Zaid tersebut kemudian disimpan di tangan Abu Bakar hingga ia wafat. Sesudah itu, lembaran-lembaran pun berpindah ke tangan Umar sewaktu ia masih hidup dan selanjutnya berada di tangan Hafsah binti Umar bin Khattab.
Baru pada masa kekhalifahan Usman bin Affan, untuk pertama kali, Alquran ditulis dalam satu mushaf. Penulisan Alquran di masa Usman disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafsah binti Umar. Usman memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam.
Beda cara membaca
Makin luasnya wilayah penyebaran Islam menyebabkan para penghafal Alquran pun tersebar di berbagai wilayah. Penduduk di setiap wilayah itu mempelajari qiraat (bacaan) dari qari dan hafiz yang dikirim kepada mereka. Kondisi ini berdampak pada cara pembacaan Alquran di setiap wilayah berbeda-beda.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azerbaijan dengan penduduk Irak, terdapat Huzaifah bin Al-Yaman yang ikut menyerbu kedua tempat itu. Huzaifah melihat banyak perbedaan umat Islam dalam cara-cara membaca Alquran. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan.
Pada mulanya, perbedaan pendapat itu dulunya diketahui oleh Rasulullah demi memberikan kelonggaran pada kabilah-kabilah Arab pada masa itu dalam membaca dan melafalkan Alquran menurut dialek mereka masing-masing. Pada masa Nabi Muhammad SAW, perbedaan dialek antarkabilah sangat tipis. Namun, dalam perkembangan Islam, setelah kaum Muslim dan wilayah Islam makin luas, cara membaca Alquran pun semakin beragam sesuai dengan dialek masing-masing. Hal inilah yang menimbulkan perselisihan dalam membaca Alquran. Masing-masing kabilah menganggap dialeknya yang benar.
Melihat kenyataan demikian, Huzaifah segara menghadap Khalifah Usman dan melaporkan apa yang telah dilihatnya. Maka, untuk menghindari perselisihan di antara umat, Khalifah Usman pun meminta agar penulisan Alquran memerhatikan salinan yang dikumpulkan pada masa Khalifah Abu Bakar demi menyatukan umat Islam dalam membaca Alquran.
Untuk itu, Khalifah Usman memerintahkan agar Alquran ditulis dalam beberapa buah. Dari penulisan tersebut, satu buah mushaf yang kemudian dikenal dengan nama Mushaf al-Imam atau Mushaf Ustmani disimpan oleh Usman bin Affan, sedangkan sisanya dikirim ke berbagai wilayah kekuasaan Islam, seperti Makkah, Basrah, Kufah, dan Syria. Bersamaan dengan pengiriman salinan ini, Usman memerintahkan agar setiap orang yang mempunyai mushaf Alquran 'berlainan' dari yang sudah disepakati itu untuk dibakar.
Hal itu dilakukan Usman setelah mendapatkan masukan dan saran dari para sahabat. Sebagaimana diriwayatkan Al-Khatib dalam kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, Ali RA mengatakan, ''Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Alquran, selain harus meminta pendapat kami semuanya (sahabat--Red).'' Usman mengatakan, ''Aku berpendapat, sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu mushaf sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan.'' Pendapat ini kemudian disepakati demi kemaslahatan umat Islam.
Pembukuan Alquran di masa Khalifah Usman ini memiliki beberapa faedah bagi umat Islam. Misalnya, mempersatukan kaum Muslim dan menyeragamkan ejaan tulisan Alquran berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW dan mempersatukan bacaan meskipun masih ada perbedaan-perbedaan kecil yang tidak bertentangan dengan ejaan Mushaf Utsmani. Tujuan pembukuan itu juga demi menyatukan tertib susunan surat-surat Alquran sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW semasa hidupnya. dia/sya/berbagai sumber
Zaid bin Tsabit: Sang Penulis Wahyu
Nama Zaid bin Tsabit dikenal sebagai penulis wahyu di masa Rasulullah SAW hingga masa Khulafaur Rasyidin. Bahkan, hingga saat ini, Zaid dikenal sebagai salah seorang sahabat yang memiliki peran penting dalam pengumpulan dan penulisan naskah Alquran. Karena keilmuan dan peranannya dalam penulisan Alquran, Zaid bin Tsabit diberi gelar Jami' Alquran al-Karim, yaitu orang yang menghimpun Alquran. Nama lengkapnya adalah Zaid bin Tsabit bin Dhahhak Al-Anshari Al-Khazraji.
Peran Zaid bin Tsabit dalam menghimpun dan menuliskan Alquran sangat penting bagi umat Islam. Sebab, melalui tangannya, penulisan Alquran bisa dibaca umat hingga kini di seluruh dunia.Ketika dirinya diminta Abu Bakar untuk menghimpun dan menuliskan Alquran, Zaid merasa beban itu teramat berat. Ia mengatakan, ''Demi Allah, seandainya mereka menugaskanku untuk memindahkan Gunung Uhud dari posisinya, tugas itu masih lebih ringan bagiku dibandingkan tugas yang mereka pikulkan ke pundakku untuk mengumpulkan Alquran.''
Akan tetapi, atas inayah dan petunjuk Allah, Zaid berhasil merealisasikan misi suci tersebut dan mampu menjalankan tugasnya dengan baik.Semasa Rasulullah SAW, Zaid pernah diminta Nabi untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Yahudi. Tujuannya agar Zaid dapat membacakan surat-surat yang datang dari kaum Yahudi kepada Rasulullah. Konon, Zaid mampu mempelajarinya dan menguasainya hanya dalam tempo 19 hari.
Ketika wafatnya, Abu Hurairah mengungkapkan kesedihannya. ''Hari ini telah berpulang seorang ulama sekaligus tinta umat (hubar al-Ummah).'' Zaid bin Tsabit adalah seorang sahabat sejati yang menjadi pemuka ulama di Madinah dalam bidang fikih, fatwa, dan faraid (waris). Bahkan, Khalifah Umar pernah menugaskan Zaid untuk menjadi penggantinya bila ia sedang melakukan kunjungan ke luar Madinah
0 Response to "Pembukuan Alquran Menjaga Kemurniaan Alquran"
Post a Comment