Tafsir Al-Qur'an
Monday, August 24, 2015
Add Comment
Tafsir Al-Qur'an
Tafsir berasal dari kata al-fusru yang
mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap
sesuatu). Makna ini tampak sesuai dengan Surat Al
Furqan ayat 33:
“wa laa ya`tuunaka bimatsalin illaa ji`naaka bil haqqi wa
ahsana tafsiiran”
Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh
As-Suyuthi dari Al-Imam
Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab
Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya,
menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
Daftar isi
Urgensi Tafsir Al-Qur'an dalam Islam
Al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan
bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun
manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak
menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi
sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam
lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah
diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur'an.innalloha ma'assobirin
Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup
seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk
itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar
ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan
Al-Qur'an :
1. Al-Qur'an itu sendiri karena terkadang satu hal yang
dijelaskan secara global di
satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
2. Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat
bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka
pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
3. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah
orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek
kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai
nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW
terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki
ra’y maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan
pada Rasulullah SAW.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah , Ibn Mas’ud,
Ibn
Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa
al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair.
Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur
dengan hadits.
Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in
yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing.
Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah
atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara
lain Mujahid ibn
Jabir, Atha ibn
Abi Ribah, Ikrimah
Maula Ibn Abbas, Thaus
ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir.
Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan
murid-murid Muhammad
ibn Ka’ab al-Qurazhi, Abu
al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam
dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud dengan
murid-murid al-Hasan
al-Bashri, Masruq ibn
al-Ajda, Qatadah
ibn-Di’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah
al-Hamdani.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru
mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang
berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa
sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir
sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama
sesudahnya seperti Ibn Majah,
Ibn Jarir
at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya.
Metode pengumpulan inilah yang disebut tafis bi al-Matsur.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi
tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar.
Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode
lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal
ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas
ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf
melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan
secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:
Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang
berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran
seorang mufassir
menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus
sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang
berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu
menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah karena ia
berfungsi sebagai penjelas Kitabullah,
dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui
Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in
karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.
Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al Qur'an antara lain:
“wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu
minal khaithil aswadi minal fajri....” (Surat Al Baqarah:187)
Kata minal fajri adalah tafsir bagi apa yang
dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.
Contoh Tafsir Al Qur'an dengan Sunnah antara lain:
“alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum
bizhulmin......” (Surat Al An'am:
82)
Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada
ayat :
“innasy syirka lazhulmun 'azhiim” (Surat Luqman: 13)
Dengan itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik.
Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu
Jarir, Tafsir
Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur
(karya Jalaluddin
As Sayuthi), Tafsir Ibnu
Katsir, Tafsir Al
Baghawy dan Tafsir
Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul
(karya Al Wahidy)
dan An
Nasikh wal Mansukh (karya Abu
Ja'far An Nahhas).
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan
metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi
al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain
seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud
ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan
yang ada.
Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2)
Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak
dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah
yang kental.
Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al
Jalalain (karya Jalaluddin
Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al
Baidhawi, Tafsir
Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu
Suud, Tafsir An
Nasafy, Tafsir Al
Khatib, Tafsir Al
Khazin.
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai
makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh
akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi
dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang
terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke
dalam hati dari limpahan gaib
pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah
pada ayat:
'“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....”
(Surat Al Baqarah:
67)
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir
Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih
nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An
Naisabury, Tafsir Al
Alusy, Tafsir At
Tastary, Tafsir Ibnu
Araby.
Metodologi
Tafsir Al-Qur'an
Metodologi
Tafsir dibagi menjadi empat macam yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode
muqarin dan metode maudlu’i.
1. Metode Tahlili (Analitik)
Adalah
metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur'an dengan
menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh
Al-Qur'an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir
ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari
awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosa kata
dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan
kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat,
menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan
lain sebagainya.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan
Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi
pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi
kebutuhan mendesak bagi umat Islam
dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini
menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah.
Kelemahan
lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak
sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam
masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan
pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu
“mengikat” generasi berikutnya.
Metode
ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud
tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan
penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal
penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.
Keistimewaan
tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan
tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada
penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang
luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
Tafsir
ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara
pendapat-pendapat para ulama
tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan
itu.
Metode
ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama
membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa
turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat
tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan
hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum
darinya.
Setiap
penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar
belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme
dari mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang
dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:
Ayat-ayat
Al-Qur'an bagaikan intan,
setiap sudutnya memancarkan cahaya
yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak
mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat
banyak dibandingkan apa yang kita lihat.
Di antara
berbagai corak itu antara lain adalah :
1.
Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab
yang memeluk Islam
serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga
dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan
kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang ini.
2.
Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya
penerjemahan kitab-kitab
filsafat
yang mempengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke
dalam Islam
yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
3.
Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur'an
sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
4.
Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab
fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya
berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
5.
Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula
tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.
6.
Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai
pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang
menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an
yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat,
usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk
ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah
dimengerti dan enak didengar.
Ilmu tafsir Al Qur'an terus mengalami perkembangan sesuai dengan
tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al-Qur'an dapat
bermakna bagi umat Islam.
Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi
tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat
yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur'an
maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur'an. Di antara
metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_Al-Qur%27an"
0 Response to "Tafsir Al-Qur'an"
Post a Comment