INTELEGENSI
Tuesday, August 25, 2015
Add Comment
1
BAB I
PENDAHULUAN
Intelegensi dan keberhasilan dalam pendidikan adalah dua hal yang saling keterkaitan. Di mana
biasanya anak yang memiliki intelegensi yang tinggi dia akan memiliki prestasi yang membanggakan
di kelasnya, dan dengan prestasi yang dimilikinya ia akan lebih mudah meraih keberhasilan.
Namun perlu ditekankan bahwa intelegensi itu bukanlah IQ di mana kita sering salah tafsirkan.
Sebenarnya intelegensi itu menurut “Claparde dan Stern” adalah kemampuan untuk menyesuaikan
diri secara mental terhadap situasi dan kondisi baru. Berbagai macam tes telah dilakukan oleh para
ahli untuk mengetahui tingkat intelegensi seseorang. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
tingkat intelegensi seseorang. Oleh karena itu banyak hal atau faktor yang harus kita perhatikan
supaya intelegensi yang kita miliki bisa meningkat.
Setiap orang pasti berkeinginan supaya dirinya dapat berhasil, baik berhasil di kala sekolah maupun
di saat keluar dari sekolah nantinya ia dapat berhasil dalam meniti karier dan kehidupannya.
Sama halnya dengan intelegensi, keberhasilan pun memiliki beberapa faktor yang harus dijalani
supaya kita dapat meraihnya. Dalam makalah ini kami akan memaparkan hal-hal yang berkaitan erat
dengan keberhasilan tersebut, seperti indikator dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
seseorang untuk mencapai keberhasilan di dalam pendidikan. Semua hal tersebut akan dipaparkan
lebih rinci lagi di dalam bab selanjutnya.
BAB II
INTELEGENSI
A. Definisi dan Ciri-ciri Intelegensi
Claparde dan Stern mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri
secara mental terhadap situasi atau kondisi baru.
K. Buhler mengatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau
pengertian.
David Wechster (1986). Definisinya mengenai intelegensi mula-mula sebagai kapasitas untuk
mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. Namun di lain
kesempatan ia mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah,
berfikir secara rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif.[1]
William Stern mengemukakan batasan sebagai berikut: intelegensi ialah kesanggupan untuk
menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai
dengan tujuannya.
2
William Stern berpendapat bahwa intelegensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan turunan,
pendidikan atau lingkungan tidak begitu berpengaruh kepada intelegensi seseorang.
Dari batasan yang dikemukakan di atas, dapat kita ketahui bahwa:
a. Intelegensi itu ialah faktor total berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan di dalamnya
(ingatan, fantasi, penasaran, perhatian, minat dan sebagainya juga mempengaruhi intelegensi
seseorang).
b. Kita hanya dapat mengetahui intelegensi dari tingkah laku atau perbuatannya yang tampak.
Intelegensi hanya dapat kita ketahui dengan cara tidak langsung melalui “kelakuan intelegensinya”.
c. Bagi suatu perbuatan intelegensi bukan hanya kemapuan yang dibawa sejak lahir saja, yang
penting faktor-faktor lingkungan dan pendidikan pun memegang peranan.
d. Bahwa manusia itu dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan tujuan-tujuan yang baru,
dapat memikirkan dan menggunakan cara-cara untuk mewujudkan dan mencapai tujuan itu.
Ciri-ciri intelegensi yaitu :
1. Intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional
(intelegensi dapat diamati secara langsung).
2. Intelegensi tercermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan
pemecahan masalah yang timbul daripadanya.[2]
Teori yang cukup banyak dianut adalah bahwa intelegensi terdiri dari suatu faktor G (General faktor)
dengan berbagai faktor-faktor S (Specifik Faktor). Faktor G bukanlah sekedar penjumlahan dari
faktor-faktor S. Masing-masing merupakan suatu kesatuan yang memiliki kualitas sendiri.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi [3]
a. Pengaruh faktor bawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga, atau
bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkolerasi tinggi ( + 0,50 ), orang yang kembar ( + 0,90
) yang tidak bersanak saudara ( + 0,20 ), anak yang diadopsi korelasi dengan orang tua angkatnya ( +
0,10 - + 0,20 ).
b. Pengaruh faktor lingkungan [4]
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu ada hubungan
antara pemberian makanan bergizi dengan intelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini
merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting selain guru, rangsangan-rangsangan
yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting, seperti
pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain (khususnya pada masa-masa peka).
3
c. Stabilitas intelegensi dan IQ [5]
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu,
sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi itu (yang notabene hanya mengukur sebagai
kelompok dari intelegensi). Stabilitas inyelegensi tergantung perkembangan organik otak.
d. Pengaruh faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik
maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan
fungsinya.
e. Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan
intelegensi.
f. Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.
Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk
berinteraksi dengan dunia luar.
g. Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam
memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam
memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.
Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi atau
tidaknya seorang anak, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut,
karena intelegensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan
intelegensi seseorang.
2. Intelegensi dan IQ [6]
IQ adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan IQ (Intelegence Quotient) hanya
memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan
kecerdasan seseorang secara keseluruhan.[7] Atau dengan kata lain, IQ menunjukkan ukuran atau
taraf kemampuan intelegensi/kecerdasan seseorang yang ditentukan berdasarkan hasil test
intelegensi. Sehingga istilah intelegensi tidak dapat disamakan artinya dengan IQ.[8]
4
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age atau MA)
dengan umur kronolog (Chronological Age atau CA), skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai
sebagai dasar penghitungan IQ.
IQ = MA/CA x 100.
Namun kemudian timbul permasalahan karena MA akan mengalami stograsi dan penurunan pada
waktu itu, tetapi CA terus bertambah. Masalah ini kemudian diatasi dengan membandingkan skor
seseorang dengan skor orang lain dalam kelompok umur yang sama. Cara ini disebut “perhitungan
IQ berdasarkan norma dalam kelompok (Within Group Normal) dan hasilnya adalah IQ
penyimpangan atau deviation IQ.
3. Pengukuran Intelegensi [9]
a) Tes Binet Simon
b) Tes Stanford Binet
c) Teori Faktor-faktor G dan S
d) Teori Multifaktor
e) Kognisi; proses kognitif
f) Tes Intelegensi Klasikal
4. Validitas dan Reliabilitas Tes Intelegensi[10]
Test intelegensi kebanyakan menggunakan prestasi sekolah sebagai promotor atau kriteria
utamanya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tes intelegensi memang mempunyai korelasi
yang amat tinggi dengan prestasi sekolah. Jadi dalam hal ini tes tersebut valid.
Pertanyaan validitas, dan khususnya reliabilitas tes intelegensi menyangkut pada pengaruh budaya.
Bila tes dapat dibuat sama sekali tidak dipengaruhi oleh budaya (Culture Fair atau Culture Free)
maka tes tersebut dapat diharapkan reliabel (dapat dipakai di mana saja).
5. Intelegensi dan Bakat
Kemampuan-kemampuan yang spesifik memberikan pada individu suatu kondisi yang
memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau keterampilan itu setelah melalui suatu
latihan. Inilah yang disebut bakat atau aptitude.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut aptitude tes atau tes bakat.
5
6. Intelegensi dan Kreativitas[11]
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari prilaku yang intelegen, karena kretivitas yang merupakan
manifestasi dari suatu proses kognitif, meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan
intelegensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan, tetapi lebih tinggi lagi, ternyata
tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Di sini secara garis besar akan diketemukan berbagai konsepsi mengenai intelegensi itu, yang
merupakan jawaban bagi pertanyaan “Apakah Intelegensi itu ?”
Konsepsi-konsepsi itu pada dasarnya digolongkan menjadi 5 kelompok yaitu :
1) Konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif
2) Konsepsi-konsepsi yang bersifat pragmatis
3) Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis faktor, yang kiranya dapat kita sebut konsepsikonsepsi faktor.
4) Konsepsi-konsepsi yang bersifat operasional, dan
5) Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis fungsional, yang kiranya dapat kita sebut
konsepsi-konsepsi fungsional.[12]
B. Pengukuran Intelegensi Umum
1. Latar Belakang Tes Intelegensi
E. Seguin (1812 – 1880) disebut sebagai pionir dalam bidang tes intelegensi yang mengembangkan
sebuah papan yang berbentuk sederhana untuk menegakkan diagnosis keterbelakangan mental.
Kemudian usaha ini distandanisir oleh Henry H. Goddard (1906). E. Seguin digolongkan kepada salah
seorang yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak terkebelakang dan disebut juga bapak dari
tes performansi.
Joseph Jasnow (1863 - 1944) adalah merupakan salah satu dari beberapa orang yang pertama kali
mengembangkan daftar norma-norma dalam pengukuran psikologis.
G.C. Ferrari (1896) mempublikasikan tes yang bisa dipakai untuk mendiagnosis keterbelakangan
mental.
August Oehr mengadakan penelitian inhmetasi antara berbagai fungsi psikologis (h. 14).
E. Kraepelin, seorang psikotes menyokong usaha ini, empat macam tes yang dikembangkan, di
antaranya yaitu:
1) Koordinasi motorik
2) Asosiasi kata-kata
3) Fungsi persepsi
6
4) Ingatan
Dan E. Kraepelin juga mengembangkan tes intelegensi yang berkaiatan dengan tes penataran
aritmatik dan kalkulasi sederhana tahun 1895.
Di samping itu berkembang pula tes yang dipakai untuk kelompok (group). Hal ini diawali dengan tes
verbal untuk seleksi tentara (wajib militer) yang disebut dengan Army Alpha. Untuk yang buta huruf
atau tidak bisa berbicara bahasa Inggris dipergunakan Army Beta sekitar tahun 1917 – 1918, tes ini
dipakai hampir dua juta orang.[13] (h. 15).
2. Jenis-jenis tes intelegensi (h. 121)
Berdasarkan penataannya ada beberapa jenis tes intelegensi, yaitu :
1) Tes Intelegensi individual, beberapa di antaranya:
a. Stanford – Binet Intelegence Scale.
b. Wechster – Bellevue Intelegence Scale (WBIS)
c. Wechster – Intelegence Scale For Children (WISC)
d. Wechster – Ault Intelegence Scale (WAIS)
e. Wechster Preschool and Prymary Scale of Intelegence (WPPSI)
2) Tes Intelegensi kelompok, beberapa di antaranya:
a. Pintner Cunningham Prymary Test
b. The California Test of Mental Makurity
c. The Henmon – Nelson Test Mental Ability
d. Otis – Lennon Mental Ability Test (h. 21)
e. Progassive Matrices
3) Tes Intellegensi dengan tindakan perbuatan
Untuk tujuan program layanan bimbingan di sekolah yang akan dibahas adalah tes intelegensi
kelompok berupa:
a. The California Test of Mental Maturity (CTMM)
b. The Henmon – Nelson Test Mental Ability
7
c. Otis – Lennon Mental Ability Test, and
d. Progassive Matrices.[14] (22)
C. Intelegensi Jenis Lain
Dewasa ini kebanyakn orang masih memandang bakat sebagai warisan modal kecerdasan. Seorang
rekan dari Selandia Baru berkata bahwa lembaga pendidikan kita tidak dapat “mengalahkan alam”,
dengan kata lain, lembaga lain lembaga pendidikan itu tidak dapat mengangkat anak lebih tinggi
daripada “anak-tangga bakat” yang paling atas. Kebanyakan ahli pendidikan memandang bakat
sebagai kemampuan untuk menyerap pengetahuan yang disampaikan oleh sekolah.
Sementara orang mulai bertanya mengenai nasib mereka yang “tidak cerdas” yang diberi definisi
sebagai orang yang kemapuan skolastiknya rendah dan yang tertinggal makin jauh dibelakang
apabila bahan pelajarannya semakin banyak dan bahan ajarannya semakin panjang.[15] (hal 61)
Bakat dari kelas sosial menurut Jensen Arah ahli pikir Amerika Serikat telah mulai menjauh dari teori
lingkungan, suatu ahli tim peneliti yang diketuai oleh Arthur Jensen. Seorang psikolog Universitas
California di Berkeley telah menyelami masalah perdebatan intelegensi antar golongan,
umapamanya golongan sosial dan ras.
Jensen kemudian mengajukan pertanyaan yang penuh dengan dinamit politik dan emosi, apakah
benar ada perdebatan bakat yang terwariskan antara golongan tertentu, dan kalau memang ada,
seberapa jauh perbedaan itu ada ? Ia mengajukan pertanyaan ini karena sesuatu sebab, jika suatu
masyarakat memberikan kesempatan lebih banyak kepada masing-masing warganya tidak hanya
untuk memperoleh pendidikan tetapi juga untuk meraih kedudukan sosial sesuai dengan
kemampuannya, apakah kita seharusnya tidak juga beranggapan bahwa perbedaan keturunan
akhirnya akan terasa di dalam pekerjaan dan kehidupan dan mobilitas sosial seseorang ? Ia
menujukkan tiga sikon, yang meskipun tidak mengiyakan pertanyaannya namun dapat menimbulkan
kerisauan pada mereka yang ingin menyangkalnya. (hal. 61 – 62).
Pertama-tama 30 % dari perbedaan perorangan dalam skor tes itu – seperti yang tercantum pada
data standardisasi, yang diterbitkan oleh Terman dan Merrel – disebabkan perbedaan latar belakang
sosial – ekonomi.
Kedua, kasus mengenai apa yang disebut Francis Galton “regresi” ke arah angka rata-rata
menunjukkan bahwa perbedaan bakat antara golongan sosial ekonomi mungkin ada unsur
keturunannya.
Ketiga, Jensen menyatakan bahwa anak-anak asuh yang di tes setelah lama hidup di rumah asuh
mereka menunjukkan IQ yang berkolerasi dengan peringkat kedudukan sosial – ekonomi orang tua
kandung mereka.[16] (hal. 63)
8
Kritik Terhadap Tesis Jensen
Suatu studi singkat mengenai tesis Jensen itu harus diadakan, hal ini bisa dilihat melalui beberapa
argumentasi seperti
Yang pertama bahwa faktor keturunan menentukan perbedaan antar golongan sosial – ekonomi dan
bahw 70 – 80 % dari perbedaan perorangan adalah akibat keturunan – seperti yang disimpulkannya
dari penelitian terhadap dua anak kembar. Andaikata itu benar, faktor keturunan itu seharusnya
menyebabkan lebih banyak variasi dalam prestasi sekolah daripada semua faktor lingkungan.
Argumentasi yang kedua, yaitu yang menyangkut legiesi sepintas – kilas nampaknya lebih seram.
Anak-anak dari orang tua kaya rata-rata merosot IQ-nya dibandingkan dengan anak-anak yang
kurang mampu. Tetapi di sini perbandingan itu menyangkut dua generasi, yang dalam banyak hal
berasal dari latar belakang sosial yang jauh berbeda satu sama lain. (hal 65)
Argumentasi yang ketiga, yang menyangkut kesamaan antara anak-anak asuh dan orang tua
kandung, walaupun hubungan mereka satu sama lain hampir sama sekali terputus. Kedengarannya
juga meyakinkan, terutama apabila dikatakan bahwa korelasi yang sama juga berlaku bagi anak yang
dibesarkan sendiri oleh orang tua kandung mereka, lepas dari pernyataan bahwa korelasi itu tidak
lebih jauh di bawah 4 – 5 % dari perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara perorangan, maka
golongan sosial ekonomi merupakan tolak ukur yang kurang mantap terhadap lingkungan apalagi
bila kita ingin meneliti seberapa jauh dapat dijelaskan adanya variasi individual. Lagi pula hal yang
sama itu juga berlaku bagi anak asuh maupun anak kemabar pungut, sehingga kedua macam
lingkungan keluarga itu cenderung berkorelasi satu sama lain. [17] (65 – 66)
BAB III
KEBERHASILAN PENDIDIKAN
A. Pengertian Keberhasilan
Suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pelajaran dinyatakan berhasil apabila hasilnya
memenuhi tujuan instruksional khusus (TIK) dari bahan-bahan tersebut.[18]
Untuk mengetahui tercapai tidaknya TIK, guru perlu mengadakan tes formatif setiap selesai
menyajikan satu bahan kepada siswa. Tujuannya untuk mengetahui sejauh mana siswa telah
menguasai TIK yang ingin dicapai.
B. Indikator Keberhasilan
a. Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara
individual maupun kelompok.
b. Perilaku yang digariskan dalam TIK telah dicapai siswa, baik secara individual maupun kelompok.
Namun daya serap lebih banyak dijadikan indikator untuk menjadi tolak ukur keberhasilan.[19]
9
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar seseorang bisa dibagi 2 yaitu :
a. Faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang kita sebut faktor individual.
b. Faktor yang ada di luar individu yang kita sebut faktor sosial. Yang termasuk faktor itu antara lain :
1) Kematangan/pertumbuhan
Mengajarkan sesuatu yang baru dapat berhasil jika taraf pertumbuhan pribadi telah
memungkinkannya ; potensi-potensi jasmani atau rohaninya telah matang untuk itu.
2) Kecerdasan/intelegensi
Di samping pematangan, dapat tidaknya seseorang mempelajari sesuatu dengan berhasil baik
ditentukan /dipengaruhi pula oleh taraf kecerdasannya.
3) Latihan dan ulangan
Karena terlatih, karena seringkali mengulangi sesuatu, maka kecakapan dan pengetahuan yang
dimilikinya dapat menjadi meningkat dan mendalam.
4) Motivasi
Motif merupakan pendorong bagi suatu organisme untuk melakukan sesuatu.
5) Sifat-sifat pribadi seseorang
Sifat-sifat keperibadian yang ada pada seseorang itu sedikit banyaknya turut pula mempengaruhi
sampai di manakah hasil belajarnya dapat dicapai (termasuk hal ini adalah faktor fisik kesehatan dan
kondisi badan).
6) Keadaan keluarga
Termasuk dalam keluarga ini ada tidaknya atau tersedia tidaknya fasilitas-fasilitas yang diperlukan
dalam belajar turut memegang peranan yang penting .
7) Guru dan cara mengajar
Terutama dalam belajar di lembaga formal, faktor guru dan cara mengajarnya merupakan faktor
yang menentukan bagaimana hasil belajar yang akan dicapai anak didiknya.
8) Alat-alat pelajaran
Alat-alat pengajaran yang tersedia lengkap ditambah cara mengajar yang baik dan guru-gurunya
akan mempermudah dan mempercepat proses pembelajaran bagi anak didik.
9) Lingkungan dan kesempatan
10
Pengaruh lingkungan yang buruk dan negatif serta faktor-faktor lain terjadi di luar kemampuannya.
Faktor lingkungan dan kesempatan ini lebih-lebih lagi berlaku bagi cara belajar pada orang-orang
dewasa.[20]
D. Penilaian Keberhasilan
Untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan belajar tersebut dapat dilakukan melalui tes
prestasi belajar. berdasarkan tujuan dan ruang lingkupnya tes prestasi belajar dapat digolongkan ke
dalam beberapa jenis yaitu :
a. Tes formatif
Penilaian ini digunakan untuk mengukur satu atau beberapa pokok bahasan tertentu dan bertujuan
untuk memperoleh gambaran tentang daya serap siswa terhadap pokok bahasan tersebut.
Fungsinya untuk memperbaiki proses belajar mengajar bahan tertentu dalam waktu tertentu.
b. Tes subsumatif
Tes ini meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yang telah diajarkan dalam waktu tertentu.
Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran daya serap siswa untuk meningkatkan prestasi
belajar siswa.
c. Tes sumatif
Tes ini diadakan untuk mengukur daya serap siswa terhadap bahan pokok-pokok bahasan yang telah
diajarkan selama satu semester, satu atau dua tahun pelajaran. Tujuannya adalah untuk
menetapkan tingkat atau taraf keberhasilan belajar siswa dalam suatu priode belajar tertentu.[21]
E. Tingkat Keberhasilan
Setiap proses belajar mengajar selalu menghasilkan hasil belajar. Namun, sampai ditingkat manakah
prestasi (hasil) belajar itu bisa dicapai inilah yang menjadi masalahnya. Sehubungan dengan ini
keberhasilan dalam proses belajar mengajar itu dibagi atas beberapa tingkatan atau taraf, yakni:
1. Istimewa/maksimal : Apabila seluruh bahan pelajaran yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh siswa.
2. Baik sekali/optimal : Apabila sebagian besar (76 % – 99 %) bahan pelajaran yang diatarkan dapat
dikuasai oleh siswa.
3. Baik/minimal : Apabila bahan pelajarn yang diajarkan hanya 60 % - 75 % saja dikuasai oleh siswa.
4. Kurang : Apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 60 % dikuasai oleh siswa.[22]
F. Program Perbaikan
11
Pengukuran tentang taraf atau tingkat keberhasilan proses belajar mengajar ini ternyata berperan
penting, karena itu pengukurannya harus betul-betul shahih (valid), handal (reliabel), dan tugas
(objective). Hal ini mungkin tercapai bila alat ukurnya disusun berdasarkan kaidah, aturan, hukum
atau ketentuan penyusulan butir tes.
Pengajaran perbaikan biasanya mengandung kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Mengulang pokok bahasan seluruhnya
b. Mengutang bagian dari pokok bahasan yang hendak dikuasai.
c. Memecahkan masalah atau menyelesaikan soal-soal bersama-sama.
d. Memberikan tugas-tugas khusus.[23]
G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan
Faktor-faktor yang bisa mempengaruhi berhasil tidaknya suatu pendidikan adalah:
a. Tujuan
Adalah pedoman sekaligus sebagai sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) adalah wakil dari Tujuan Pembelajaran Umum (TPU), maka
pembuatan TPK harus berpedoman pada itu. Agar tidak dapat mewakili terhadap TPU perlu
dipikirkan beberapa petunjuk (indikator) suatu TPU.
b. Guru
Guru adalah orang yang menciptakan lingkungan belajar yang kepentingan belajar anak didik. Latar
belakang pendidikan dan pengalaman mengajar adalah dua aspek yang mempengaruhi kompetensi
seorang guru dibidang pendidikan dan pengajaran.
c. Anak Didik
Adalah orang yang dengan sengaja datang ke sekolah. Daya serap otak bermacam-macam, karena
itu dikenalah tingkat keberhasilan yang maksimal (istimewa), optimal (baik sekali), minimal (baik)
dan kurang untuk setiap barang yang dikuasainya. Dengan demikian, dapat diyakini bahwa anak
didik adalah unsur manusiawi yang mempengaruhi kegiatan belajar mengajar berikut hasil dari
kegiatan itu, yaitu keberhasilan belajar mengajar.
d. Kegiatan Pengajian
Pola umum kegiatan pengajian adalah terjadinya interaksi antara guru dengan anak didik dengan
bahan sebagai perantaranya.
e. Bahan dan Alat Evaluasi
Bahan evaluasi adalah suatu bahan yang terdapat di dalam kurikulum yang sudah oleh anak didik
guna kepentingan ulangan.
12
Alat-alat evaluasi yang umunya digunakan tidak hanya benar-salah (true – false) dan pilihan ganda
(multiple – choice), tapi juga menjodohkan (matching), melengkapi (Completion), dan Essay.
f. Suasana Evaluasi
Sikap yang merugikan pelaksanaan evaluasi dari seorang pengawas adalah membiarkan anak didik
melakukan hubungan kerjasama di antara anak didik, lebih merugikan lagi adalah sikap pengawas
yang dengan sengaja menyuruh anak didik membuka buka catatan untuk mengatasi ketidak
berdayaan anak didik dalam menjawab item-item sosial. Dampak dikemudian hari dari sikap
pengawas yang demikian itu adalah mengakibatkan anak didik kemungkinan besar malas belajar dan
kurang memperhatikan penjelasan guru ketika belajar mengajar berlangsung. [24]
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Intelegensi adalah faktor total, berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan di dalamnya seperti
ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat dan sebagainya juga berpengaruh terhadapa intelegensi
seseorang. Intelegensi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi
atau kondisi baru serta perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian.
2. Ciri-ciri intelegensi yaitu : merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
secara rasional, tercermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan
pemecahan masalah yang tombul daripadanya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi: pengaruh faktor bawaan, pengaruh faktor
lingkungan, stabilitas intelegensi dan IQ, pengaruh faktor kematangan, pengaruh faktor
pembentukan, minat dan pembawaan yang khas, kebebasan.
4. keberhasilan adalah suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pelajaran dinyatakan
berhasil apabila hasilnya memenuhi tujuan instruksional khusus (TIK) dari bahan-bahan tersebut.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar ada 2, yaitu : faktor yang ada pada diri organisme itu
sendiri, dan faktor yang ada di luar individu yang kita sebut faktor sosial.
6. Penilaian keberhasilan bisa dilakukan melalui beberapa macam tes prestasi belajar seperti: tes
formatif, tes subsumatif, dan tes sumatif.
7. Keberhasilan dalam proses belajar mengajar dapat digolongkan atas beberapa tingkatan, yaitu:
istimewa/maksimal, baik sekali/optimal, baik/minimal, dan kurang.
8. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terdiri dari : tujuan, guru, anak didik, kegiatan
pengajaran, bahan dan alat evaluasi, suasana evaluasi.
13
Daftar Pustaka
Djamarah, Syaiful Bahri dan Drs. Aswan Zain. 1995, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta.
Husen, Torsten. 1988, Masyarakat Belajar, Jakarta: Rajawali Pers.
Purwanto, M.Ngalim. 1990, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sabri, M. Alisuf. 1996, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Slameto, Drs. 1995, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sukardi, Dewa Ketut. 1988, Analisis Tes Psikologi, Jakarta: Rineka Cipta.
Suryabrata, Sumadi. 1984, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Drs. Irwanto dkk, Psikologi Umum (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994) h. 166
[2] Ibid.Psikologi Umum. h. 167
[3] Ibid.Psikologi Umum. h. 168
[4] Ibid.Psikologi Umum. h. 169
[5] Ibid. Psikologi Umum. h. 171
[6] Ibid. Psikologi Umum. h. 172
[7] Drs. H.M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996) h. 117
[8] Op. Cit. PsikologiUmum. h. 172
[9] Ibid. Psikologi Umum. h. 174
[10] Ibid. Psikologi Umum. h. 180
[11] Ibid. Psikologi Umum. h. 183
[12] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) h. 128
[13] Drs. Dewa Ketut Sukardi, Analisis Tes Psikologi. (Jakarta: Rineka Cipta) h. 14 - 15
[14] Ibid. Analisis Tes Psikologi. h. 21 - 22
[15] Torsten Husen, Masyarakat Belajar, (Jakarta: Rajawali Pers) h. 60 - 61
[16] Ibid. Masyarakat Belajar, h. 61 - 63
[17] Ibid. Masyarakat Belajar. h. 64 - 66
[18] Drs. Syaiful Bahri Djamarah dan Drs. Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Ci pta) h. 119
[19] Ibid. Strategi Belajar Mengajar. h. 120
[20] Drs. M. Tugalim Purwanto MP, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya) h. 102 - 106
[21] Op. Cit. Strategi Balajar Mengajar. h. 120
[22] Ibid. Strategi Belajar Mengajar. h. 121 – 122.
[23] Loc. Cit. Strategi Belajar Mengajar. h. 122
[24] Ibid, Strategi Balajar Mengajar, h. 123 - 134
BAB I
PENDAHULUAN
Intelegensi dan keberhasilan dalam pendidikan adalah dua hal yang saling keterkaitan. Di mana
biasanya anak yang memiliki intelegensi yang tinggi dia akan memiliki prestasi yang membanggakan
di kelasnya, dan dengan prestasi yang dimilikinya ia akan lebih mudah meraih keberhasilan.
Namun perlu ditekankan bahwa intelegensi itu bukanlah IQ di mana kita sering salah tafsirkan.
Sebenarnya intelegensi itu menurut “Claparde dan Stern” adalah kemampuan untuk menyesuaikan
diri secara mental terhadap situasi dan kondisi baru. Berbagai macam tes telah dilakukan oleh para
ahli untuk mengetahui tingkat intelegensi seseorang. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
tingkat intelegensi seseorang. Oleh karena itu banyak hal atau faktor yang harus kita perhatikan
supaya intelegensi yang kita miliki bisa meningkat.
Setiap orang pasti berkeinginan supaya dirinya dapat berhasil, baik berhasil di kala sekolah maupun
di saat keluar dari sekolah nantinya ia dapat berhasil dalam meniti karier dan kehidupannya.
Sama halnya dengan intelegensi, keberhasilan pun memiliki beberapa faktor yang harus dijalani
supaya kita dapat meraihnya. Dalam makalah ini kami akan memaparkan hal-hal yang berkaitan erat
dengan keberhasilan tersebut, seperti indikator dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
seseorang untuk mencapai keberhasilan di dalam pendidikan. Semua hal tersebut akan dipaparkan
lebih rinci lagi di dalam bab selanjutnya.
BAB II
INTELEGENSI
A. Definisi dan Ciri-ciri Intelegensi
Claparde dan Stern mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri
secara mental terhadap situasi atau kondisi baru.
K. Buhler mengatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau
pengertian.
David Wechster (1986). Definisinya mengenai intelegensi mula-mula sebagai kapasitas untuk
mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. Namun di lain
kesempatan ia mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah,
berfikir secara rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif.[1]
William Stern mengemukakan batasan sebagai berikut: intelegensi ialah kesanggupan untuk
menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai
dengan tujuannya.
2
William Stern berpendapat bahwa intelegensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan turunan,
pendidikan atau lingkungan tidak begitu berpengaruh kepada intelegensi seseorang.
Dari batasan yang dikemukakan di atas, dapat kita ketahui bahwa:
a. Intelegensi itu ialah faktor total berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan di dalamnya
(ingatan, fantasi, penasaran, perhatian, minat dan sebagainya juga mempengaruhi intelegensi
seseorang).
b. Kita hanya dapat mengetahui intelegensi dari tingkah laku atau perbuatannya yang tampak.
Intelegensi hanya dapat kita ketahui dengan cara tidak langsung melalui “kelakuan intelegensinya”.
c. Bagi suatu perbuatan intelegensi bukan hanya kemapuan yang dibawa sejak lahir saja, yang
penting faktor-faktor lingkungan dan pendidikan pun memegang peranan.
d. Bahwa manusia itu dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan tujuan-tujuan yang baru,
dapat memikirkan dan menggunakan cara-cara untuk mewujudkan dan mencapai tujuan itu.
Ciri-ciri intelegensi yaitu :
1. Intelegensi merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional
(intelegensi dapat diamati secara langsung).
2. Intelegensi tercermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan
pemecahan masalah yang timbul daripadanya.[2]
Teori yang cukup banyak dianut adalah bahwa intelegensi terdiri dari suatu faktor G (General faktor)
dengan berbagai faktor-faktor S (Specifik Faktor). Faktor G bukanlah sekedar penjumlahan dari
faktor-faktor S. Masing-masing merupakan suatu kesatuan yang memiliki kualitas sendiri.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi [3]
a. Pengaruh faktor bawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga, atau
bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkolerasi tinggi ( + 0,50 ), orang yang kembar ( + 0,90
) yang tidak bersanak saudara ( + 0,20 ), anak yang diadopsi korelasi dengan orang tua angkatnya ( +
0,10 - + 0,20 ).
b. Pengaruh faktor lingkungan [4]
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Oleh karena itu ada hubungan
antara pemberian makanan bergizi dengan intelegensi seseorang. Pemberian makanan bergizi ini
merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting selain guru, rangsangan-rangsangan
yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting, seperti
pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain (khususnya pada masa-masa peka).
3
c. Stabilitas intelegensi dan IQ [5]
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu konsep umum tentang kemampuan individu,
sedang IQ hanyalah hasil dari suatu tes intelegensi itu (yang notabene hanya mengukur sebagai
kelompok dari intelegensi). Stabilitas inyelegensi tergantung perkembangan organik otak.
d. Pengaruh faktor kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik
maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan
fungsinya.
e. Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan
intelegensi.
f. Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.
Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk
berinteraksi dengan dunia luar.
g. Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam
memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam
memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.
Semua faktor tersebut di atas bersangkutan satu sama lain. Untuk menentukan intelegensi atau
tidaknya seorang anak, kita tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut,
karena intelegensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan
intelegensi seseorang.
2. Intelegensi dan IQ [6]
IQ adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan IQ (Intelegence Quotient) hanya
memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan
kecerdasan seseorang secara keseluruhan.[7] Atau dengan kata lain, IQ menunjukkan ukuran atau
taraf kemampuan intelegensi/kecerdasan seseorang yang ditentukan berdasarkan hasil test
intelegensi. Sehingga istilah intelegensi tidak dapat disamakan artinya dengan IQ.[8]
4
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age atau MA)
dengan umur kronolog (Chronological Age atau CA), skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai
sebagai dasar penghitungan IQ.
IQ = MA/CA x 100.
Namun kemudian timbul permasalahan karena MA akan mengalami stograsi dan penurunan pada
waktu itu, tetapi CA terus bertambah. Masalah ini kemudian diatasi dengan membandingkan skor
seseorang dengan skor orang lain dalam kelompok umur yang sama. Cara ini disebut “perhitungan
IQ berdasarkan norma dalam kelompok (Within Group Normal) dan hasilnya adalah IQ
penyimpangan atau deviation IQ.
3. Pengukuran Intelegensi [9]
a) Tes Binet Simon
b) Tes Stanford Binet
c) Teori Faktor-faktor G dan S
d) Teori Multifaktor
e) Kognisi; proses kognitif
f) Tes Intelegensi Klasikal
4. Validitas dan Reliabilitas Tes Intelegensi[10]
Test intelegensi kebanyakan menggunakan prestasi sekolah sebagai promotor atau kriteria
utamanya. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tes intelegensi memang mempunyai korelasi
yang amat tinggi dengan prestasi sekolah. Jadi dalam hal ini tes tersebut valid.
Pertanyaan validitas, dan khususnya reliabilitas tes intelegensi menyangkut pada pengaruh budaya.
Bila tes dapat dibuat sama sekali tidak dipengaruhi oleh budaya (Culture Fair atau Culture Free)
maka tes tersebut dapat diharapkan reliabel (dapat dipakai di mana saja).
5. Intelegensi dan Bakat
Kemampuan-kemampuan yang spesifik memberikan pada individu suatu kondisi yang
memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau keterampilan itu setelah melalui suatu
latihan. Inilah yang disebut bakat atau aptitude.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut aptitude tes atau tes bakat.
5
6. Intelegensi dan Kreativitas[11]
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari prilaku yang intelegen, karena kretivitas yang merupakan
manifestasi dari suatu proses kognitif, meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan
intelegensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan, tetapi lebih tinggi lagi, ternyata
tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Di sini secara garis besar akan diketemukan berbagai konsepsi mengenai intelegensi itu, yang
merupakan jawaban bagi pertanyaan “Apakah Intelegensi itu ?”
Konsepsi-konsepsi itu pada dasarnya digolongkan menjadi 5 kelompok yaitu :
1) Konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif
2) Konsepsi-konsepsi yang bersifat pragmatis
3) Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis faktor, yang kiranya dapat kita sebut konsepsikonsepsi faktor.
4) Konsepsi-konsepsi yang bersifat operasional, dan
5) Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis fungsional, yang kiranya dapat kita sebut
konsepsi-konsepsi fungsional.[12]
B. Pengukuran Intelegensi Umum
1. Latar Belakang Tes Intelegensi
E. Seguin (1812 – 1880) disebut sebagai pionir dalam bidang tes intelegensi yang mengembangkan
sebuah papan yang berbentuk sederhana untuk menegakkan diagnosis keterbelakangan mental.
Kemudian usaha ini distandanisir oleh Henry H. Goddard (1906). E. Seguin digolongkan kepada salah
seorang yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak terkebelakang dan disebut juga bapak dari
tes performansi.
Joseph Jasnow (1863 - 1944) adalah merupakan salah satu dari beberapa orang yang pertama kali
mengembangkan daftar norma-norma dalam pengukuran psikologis.
G.C. Ferrari (1896) mempublikasikan tes yang bisa dipakai untuk mendiagnosis keterbelakangan
mental.
August Oehr mengadakan penelitian inhmetasi antara berbagai fungsi psikologis (h. 14).
E. Kraepelin, seorang psikotes menyokong usaha ini, empat macam tes yang dikembangkan, di
antaranya yaitu:
1) Koordinasi motorik
2) Asosiasi kata-kata
3) Fungsi persepsi
6
4) Ingatan
Dan E. Kraepelin juga mengembangkan tes intelegensi yang berkaiatan dengan tes penataran
aritmatik dan kalkulasi sederhana tahun 1895.
Di samping itu berkembang pula tes yang dipakai untuk kelompok (group). Hal ini diawali dengan tes
verbal untuk seleksi tentara (wajib militer) yang disebut dengan Army Alpha. Untuk yang buta huruf
atau tidak bisa berbicara bahasa Inggris dipergunakan Army Beta sekitar tahun 1917 – 1918, tes ini
dipakai hampir dua juta orang.[13] (h. 15).
2. Jenis-jenis tes intelegensi (h. 121)
Berdasarkan penataannya ada beberapa jenis tes intelegensi, yaitu :
1) Tes Intelegensi individual, beberapa di antaranya:
a. Stanford – Binet Intelegence Scale.
b. Wechster – Bellevue Intelegence Scale (WBIS)
c. Wechster – Intelegence Scale For Children (WISC)
d. Wechster – Ault Intelegence Scale (WAIS)
e. Wechster Preschool and Prymary Scale of Intelegence (WPPSI)
2) Tes Intelegensi kelompok, beberapa di antaranya:
a. Pintner Cunningham Prymary Test
b. The California Test of Mental Makurity
c. The Henmon – Nelson Test Mental Ability
d. Otis – Lennon Mental Ability Test (h. 21)
e. Progassive Matrices
3) Tes Intellegensi dengan tindakan perbuatan
Untuk tujuan program layanan bimbingan di sekolah yang akan dibahas adalah tes intelegensi
kelompok berupa:
a. The California Test of Mental Maturity (CTMM)
b. The Henmon – Nelson Test Mental Ability
7
c. Otis – Lennon Mental Ability Test, and
d. Progassive Matrices.[14] (22)
C. Intelegensi Jenis Lain
Dewasa ini kebanyakn orang masih memandang bakat sebagai warisan modal kecerdasan. Seorang
rekan dari Selandia Baru berkata bahwa lembaga pendidikan kita tidak dapat “mengalahkan alam”,
dengan kata lain, lembaga lain lembaga pendidikan itu tidak dapat mengangkat anak lebih tinggi
daripada “anak-tangga bakat” yang paling atas. Kebanyakan ahli pendidikan memandang bakat
sebagai kemampuan untuk menyerap pengetahuan yang disampaikan oleh sekolah.
Sementara orang mulai bertanya mengenai nasib mereka yang “tidak cerdas” yang diberi definisi
sebagai orang yang kemapuan skolastiknya rendah dan yang tertinggal makin jauh dibelakang
apabila bahan pelajarannya semakin banyak dan bahan ajarannya semakin panjang.[15] (hal 61)
Bakat dari kelas sosial menurut Jensen Arah ahli pikir Amerika Serikat telah mulai menjauh dari teori
lingkungan, suatu ahli tim peneliti yang diketuai oleh Arthur Jensen. Seorang psikolog Universitas
California di Berkeley telah menyelami masalah perdebatan intelegensi antar golongan,
umapamanya golongan sosial dan ras.
Jensen kemudian mengajukan pertanyaan yang penuh dengan dinamit politik dan emosi, apakah
benar ada perdebatan bakat yang terwariskan antara golongan tertentu, dan kalau memang ada,
seberapa jauh perbedaan itu ada ? Ia mengajukan pertanyaan ini karena sesuatu sebab, jika suatu
masyarakat memberikan kesempatan lebih banyak kepada masing-masing warganya tidak hanya
untuk memperoleh pendidikan tetapi juga untuk meraih kedudukan sosial sesuai dengan
kemampuannya, apakah kita seharusnya tidak juga beranggapan bahwa perbedaan keturunan
akhirnya akan terasa di dalam pekerjaan dan kehidupan dan mobilitas sosial seseorang ? Ia
menujukkan tiga sikon, yang meskipun tidak mengiyakan pertanyaannya namun dapat menimbulkan
kerisauan pada mereka yang ingin menyangkalnya. (hal. 61 – 62).
Pertama-tama 30 % dari perbedaan perorangan dalam skor tes itu – seperti yang tercantum pada
data standardisasi, yang diterbitkan oleh Terman dan Merrel – disebabkan perbedaan latar belakang
sosial – ekonomi.
Kedua, kasus mengenai apa yang disebut Francis Galton “regresi” ke arah angka rata-rata
menunjukkan bahwa perbedaan bakat antara golongan sosial ekonomi mungkin ada unsur
keturunannya.
Ketiga, Jensen menyatakan bahwa anak-anak asuh yang di tes setelah lama hidup di rumah asuh
mereka menunjukkan IQ yang berkolerasi dengan peringkat kedudukan sosial – ekonomi orang tua
kandung mereka.[16] (hal. 63)
8
Kritik Terhadap Tesis Jensen
Suatu studi singkat mengenai tesis Jensen itu harus diadakan, hal ini bisa dilihat melalui beberapa
argumentasi seperti
Yang pertama bahwa faktor keturunan menentukan perbedaan antar golongan sosial – ekonomi dan
bahw 70 – 80 % dari perbedaan perorangan adalah akibat keturunan – seperti yang disimpulkannya
dari penelitian terhadap dua anak kembar. Andaikata itu benar, faktor keturunan itu seharusnya
menyebabkan lebih banyak variasi dalam prestasi sekolah daripada semua faktor lingkungan.
Argumentasi yang kedua, yaitu yang menyangkut legiesi sepintas – kilas nampaknya lebih seram.
Anak-anak dari orang tua kaya rata-rata merosot IQ-nya dibandingkan dengan anak-anak yang
kurang mampu. Tetapi di sini perbandingan itu menyangkut dua generasi, yang dalam banyak hal
berasal dari latar belakang sosial yang jauh berbeda satu sama lain. (hal 65)
Argumentasi yang ketiga, yang menyangkut kesamaan antara anak-anak asuh dan orang tua
kandung, walaupun hubungan mereka satu sama lain hampir sama sekali terputus. Kedengarannya
juga meyakinkan, terutama apabila dikatakan bahwa korelasi yang sama juga berlaku bagi anak yang
dibesarkan sendiri oleh orang tua kandung mereka, lepas dari pernyataan bahwa korelasi itu tidak
lebih jauh di bawah 4 – 5 % dari perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara perorangan, maka
golongan sosial ekonomi merupakan tolak ukur yang kurang mantap terhadap lingkungan apalagi
bila kita ingin meneliti seberapa jauh dapat dijelaskan adanya variasi individual. Lagi pula hal yang
sama itu juga berlaku bagi anak asuh maupun anak kemabar pungut, sehingga kedua macam
lingkungan keluarga itu cenderung berkorelasi satu sama lain. [17] (65 – 66)
BAB III
KEBERHASILAN PENDIDIKAN
A. Pengertian Keberhasilan
Suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pelajaran dinyatakan berhasil apabila hasilnya
memenuhi tujuan instruksional khusus (TIK) dari bahan-bahan tersebut.[18]
Untuk mengetahui tercapai tidaknya TIK, guru perlu mengadakan tes formatif setiap selesai
menyajikan satu bahan kepada siswa. Tujuannya untuk mengetahui sejauh mana siswa telah
menguasai TIK yang ingin dicapai.
B. Indikator Keberhasilan
a. Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara
individual maupun kelompok.
b. Perilaku yang digariskan dalam TIK telah dicapai siswa, baik secara individual maupun kelompok.
Namun daya serap lebih banyak dijadikan indikator untuk menjadi tolak ukur keberhasilan.[19]
9
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar seseorang bisa dibagi 2 yaitu :
a. Faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang kita sebut faktor individual.
b. Faktor yang ada di luar individu yang kita sebut faktor sosial. Yang termasuk faktor itu antara lain :
1) Kematangan/pertumbuhan
Mengajarkan sesuatu yang baru dapat berhasil jika taraf pertumbuhan pribadi telah
memungkinkannya ; potensi-potensi jasmani atau rohaninya telah matang untuk itu.
2) Kecerdasan/intelegensi
Di samping pematangan, dapat tidaknya seseorang mempelajari sesuatu dengan berhasil baik
ditentukan /dipengaruhi pula oleh taraf kecerdasannya.
3) Latihan dan ulangan
Karena terlatih, karena seringkali mengulangi sesuatu, maka kecakapan dan pengetahuan yang
dimilikinya dapat menjadi meningkat dan mendalam.
4) Motivasi
Motif merupakan pendorong bagi suatu organisme untuk melakukan sesuatu.
5) Sifat-sifat pribadi seseorang
Sifat-sifat keperibadian yang ada pada seseorang itu sedikit banyaknya turut pula mempengaruhi
sampai di manakah hasil belajarnya dapat dicapai (termasuk hal ini adalah faktor fisik kesehatan dan
kondisi badan).
6) Keadaan keluarga
Termasuk dalam keluarga ini ada tidaknya atau tersedia tidaknya fasilitas-fasilitas yang diperlukan
dalam belajar turut memegang peranan yang penting .
7) Guru dan cara mengajar
Terutama dalam belajar di lembaga formal, faktor guru dan cara mengajarnya merupakan faktor
yang menentukan bagaimana hasil belajar yang akan dicapai anak didiknya.
8) Alat-alat pelajaran
Alat-alat pengajaran yang tersedia lengkap ditambah cara mengajar yang baik dan guru-gurunya
akan mempermudah dan mempercepat proses pembelajaran bagi anak didik.
9) Lingkungan dan kesempatan
10
Pengaruh lingkungan yang buruk dan negatif serta faktor-faktor lain terjadi di luar kemampuannya.
Faktor lingkungan dan kesempatan ini lebih-lebih lagi berlaku bagi cara belajar pada orang-orang
dewasa.[20]
D. Penilaian Keberhasilan
Untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan belajar tersebut dapat dilakukan melalui tes
prestasi belajar. berdasarkan tujuan dan ruang lingkupnya tes prestasi belajar dapat digolongkan ke
dalam beberapa jenis yaitu :
a. Tes formatif
Penilaian ini digunakan untuk mengukur satu atau beberapa pokok bahasan tertentu dan bertujuan
untuk memperoleh gambaran tentang daya serap siswa terhadap pokok bahasan tersebut.
Fungsinya untuk memperbaiki proses belajar mengajar bahan tertentu dalam waktu tertentu.
b. Tes subsumatif
Tes ini meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yang telah diajarkan dalam waktu tertentu.
Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran daya serap siswa untuk meningkatkan prestasi
belajar siswa.
c. Tes sumatif
Tes ini diadakan untuk mengukur daya serap siswa terhadap bahan pokok-pokok bahasan yang telah
diajarkan selama satu semester, satu atau dua tahun pelajaran. Tujuannya adalah untuk
menetapkan tingkat atau taraf keberhasilan belajar siswa dalam suatu priode belajar tertentu.[21]
E. Tingkat Keberhasilan
Setiap proses belajar mengajar selalu menghasilkan hasil belajar. Namun, sampai ditingkat manakah
prestasi (hasil) belajar itu bisa dicapai inilah yang menjadi masalahnya. Sehubungan dengan ini
keberhasilan dalam proses belajar mengajar itu dibagi atas beberapa tingkatan atau taraf, yakni:
1. Istimewa/maksimal : Apabila seluruh bahan pelajaran yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh siswa.
2. Baik sekali/optimal : Apabila sebagian besar (76 % – 99 %) bahan pelajaran yang diatarkan dapat
dikuasai oleh siswa.
3. Baik/minimal : Apabila bahan pelajarn yang diajarkan hanya 60 % - 75 % saja dikuasai oleh siswa.
4. Kurang : Apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 60 % dikuasai oleh siswa.[22]
F. Program Perbaikan
11
Pengukuran tentang taraf atau tingkat keberhasilan proses belajar mengajar ini ternyata berperan
penting, karena itu pengukurannya harus betul-betul shahih (valid), handal (reliabel), dan tugas
(objective). Hal ini mungkin tercapai bila alat ukurnya disusun berdasarkan kaidah, aturan, hukum
atau ketentuan penyusulan butir tes.
Pengajaran perbaikan biasanya mengandung kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Mengulang pokok bahasan seluruhnya
b. Mengutang bagian dari pokok bahasan yang hendak dikuasai.
c. Memecahkan masalah atau menyelesaikan soal-soal bersama-sama.
d. Memberikan tugas-tugas khusus.[23]
G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan
Faktor-faktor yang bisa mempengaruhi berhasil tidaknya suatu pendidikan adalah:
a. Tujuan
Adalah pedoman sekaligus sebagai sasaran yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar.
Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) adalah wakil dari Tujuan Pembelajaran Umum (TPU), maka
pembuatan TPK harus berpedoman pada itu. Agar tidak dapat mewakili terhadap TPU perlu
dipikirkan beberapa petunjuk (indikator) suatu TPU.
b. Guru
Guru adalah orang yang menciptakan lingkungan belajar yang kepentingan belajar anak didik. Latar
belakang pendidikan dan pengalaman mengajar adalah dua aspek yang mempengaruhi kompetensi
seorang guru dibidang pendidikan dan pengajaran.
c. Anak Didik
Adalah orang yang dengan sengaja datang ke sekolah. Daya serap otak bermacam-macam, karena
itu dikenalah tingkat keberhasilan yang maksimal (istimewa), optimal (baik sekali), minimal (baik)
dan kurang untuk setiap barang yang dikuasainya. Dengan demikian, dapat diyakini bahwa anak
didik adalah unsur manusiawi yang mempengaruhi kegiatan belajar mengajar berikut hasil dari
kegiatan itu, yaitu keberhasilan belajar mengajar.
d. Kegiatan Pengajian
Pola umum kegiatan pengajian adalah terjadinya interaksi antara guru dengan anak didik dengan
bahan sebagai perantaranya.
e. Bahan dan Alat Evaluasi
Bahan evaluasi adalah suatu bahan yang terdapat di dalam kurikulum yang sudah oleh anak didik
guna kepentingan ulangan.
12
Alat-alat evaluasi yang umunya digunakan tidak hanya benar-salah (true – false) dan pilihan ganda
(multiple – choice), tapi juga menjodohkan (matching), melengkapi (Completion), dan Essay.
f. Suasana Evaluasi
Sikap yang merugikan pelaksanaan evaluasi dari seorang pengawas adalah membiarkan anak didik
melakukan hubungan kerjasama di antara anak didik, lebih merugikan lagi adalah sikap pengawas
yang dengan sengaja menyuruh anak didik membuka buka catatan untuk mengatasi ketidak
berdayaan anak didik dalam menjawab item-item sosial. Dampak dikemudian hari dari sikap
pengawas yang demikian itu adalah mengakibatkan anak didik kemungkinan besar malas belajar dan
kurang memperhatikan penjelasan guru ketika belajar mengajar berlangsung. [24]
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Intelegensi adalah faktor total, berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan di dalamnya seperti
ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat dan sebagainya juga berpengaruh terhadapa intelegensi
seseorang. Intelegensi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi
atau kondisi baru serta perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian.
2. Ciri-ciri intelegensi yaitu : merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
secara rasional, tercermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan
pemecahan masalah yang tombul daripadanya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi: pengaruh faktor bawaan, pengaruh faktor
lingkungan, stabilitas intelegensi dan IQ, pengaruh faktor kematangan, pengaruh faktor
pembentukan, minat dan pembawaan yang khas, kebebasan.
4. keberhasilan adalah suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pelajaran dinyatakan
berhasil apabila hasilnya memenuhi tujuan instruksional khusus (TIK) dari bahan-bahan tersebut.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar ada 2, yaitu : faktor yang ada pada diri organisme itu
sendiri, dan faktor yang ada di luar individu yang kita sebut faktor sosial.
6. Penilaian keberhasilan bisa dilakukan melalui beberapa macam tes prestasi belajar seperti: tes
formatif, tes subsumatif, dan tes sumatif.
7. Keberhasilan dalam proses belajar mengajar dapat digolongkan atas beberapa tingkatan, yaitu:
istimewa/maksimal, baik sekali/optimal, baik/minimal, dan kurang.
8. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terdiri dari : tujuan, guru, anak didik, kegiatan
pengajaran, bahan dan alat evaluasi, suasana evaluasi.
13
Daftar Pustaka
Djamarah, Syaiful Bahri dan Drs. Aswan Zain. 1995, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta.
Husen, Torsten. 1988, Masyarakat Belajar, Jakarta: Rajawali Pers.
Purwanto, M.Ngalim. 1990, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sabri, M. Alisuf. 1996, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Slameto, Drs. 1995, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sukardi, Dewa Ketut. 1988, Analisis Tes Psikologi, Jakarta: Rineka Cipta.
Suryabrata, Sumadi. 1984, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Drs. Irwanto dkk, Psikologi Umum (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994) h. 166
[2] Ibid.Psikologi Umum. h. 167
[3] Ibid.Psikologi Umum. h. 168
[4] Ibid.Psikologi Umum. h. 169
[5] Ibid. Psikologi Umum. h. 171
[6] Ibid. Psikologi Umum. h. 172
[7] Drs. H.M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996) h. 117
[8] Op. Cit. PsikologiUmum. h. 172
[9] Ibid. Psikologi Umum. h. 174
[10] Ibid. Psikologi Umum. h. 180
[11] Ibid. Psikologi Umum. h. 183
[12] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) h. 128
[13] Drs. Dewa Ketut Sukardi, Analisis Tes Psikologi. (Jakarta: Rineka Cipta) h. 14 - 15
[14] Ibid. Analisis Tes Psikologi. h. 21 - 22
[15] Torsten Husen, Masyarakat Belajar, (Jakarta: Rajawali Pers) h. 60 - 61
[16] Ibid. Masyarakat Belajar, h. 61 - 63
[17] Ibid. Masyarakat Belajar. h. 64 - 66
[18] Drs. Syaiful Bahri Djamarah dan Drs. Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Ci pta) h. 119
[19] Ibid. Strategi Belajar Mengajar. h. 120
[20] Drs. M. Tugalim Purwanto MP, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya) h. 102 - 106
[21] Op. Cit. Strategi Balajar Mengajar. h. 120
[22] Ibid. Strategi Belajar Mengajar. h. 121 – 122.
[23] Loc. Cit. Strategi Belajar Mengajar. h. 122
[24] Ibid, Strategi Balajar Mengajar, h. 123 - 134
0 Response to "INTELEGENSI"
Post a Comment