INTELEGENSI

1

BAB I
PENDAHULUAN
Intelegensi  dan  keberhasilan  dalam  pendidikan  adalah  dua  hal  yang  saling  keterkaitan.  Di  mana
biasanya anak yang memiliki intelegensi yang tinggi dia akan memiliki prestasi yang membanggakan
di kelasnya, dan dengan prestasi yang dimilikinya ia akan lebih mudah meraih keberhasilan.
Namun  perlu  ditekankan  bahwa  intelegensi  itu  bukanlah  IQ  di  mana  kita  sering  salah  tafsirkan.
Sebenarnya intelegensi itu menurut “Claparde dan Stern” adalah kemampuan untuk menyesuaikan
diri secara  mental terhadap situasi dan kondisi baru. Berbagai macam tes telah dilakukan oleh para
ahli  untuk  mengetahui  tingkat  intelegensi  seseorang.  Banyak  faktor  yang  dapat  mempengaruhi
tingkat  intelegensi  seseorang.  Oleh  karena  itu  banyak  hal  atau  faktor  yang  harus  kita  perhatikan
supaya intelegensi yang kita miliki bisa meningkat.
Setiap orang pasti berkeinginan supaya dirinya dapat berhasil, baik berhasil di kala sekolah maupun
di saat keluar dari sekolah nantinya ia dapat berhasil dalam meniti karier dan kehidupannya.
Sama  halnya  dengan  intelegensi,  keberhasilan  pun  memiliki  beberapa  faktor  yang  harus  dijalani
supaya kita dapat meraihnya. Dalam makalah ini kami akan memaparkan hal-hal yang berkaitan erat
dengan  keberhasilan  tersebut,  seperti  indikator  dan  faktor-faktor  yang  dapat  mempengaruhi
seseorang untuk mencapai keberhasilan di dalam pendidikan. Semua hal tersebut akan dipaparkan
lebih rinci lagi di dalam bab selanjutnya.
BAB II
INTELEGENSI
A. Definisi dan Ciri-ciri Intelegensi
Claparde  dan  Stern  mengatakan  bahwa  intelegensi  adalah  kemampuan  untuk  menyesuaikan  diri
secara mental terhadap situasi atau kondisi baru.
K. Buhler mengatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau
pengertian.
David  Wechster  (1986).  Definisinya  mengenai  intelegensi  mula-mula  sebagai  kapasitas  untuk
mengerti ungkapan dan kemauan akal budi untuk mengatasi tantangan-tantangannya. Namun di lain
kesempatan ia mengatakan bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah,
berfikir secara rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif.[1]
William  Stern  mengemukakan  batasan  sebagai  berikut:  intelegensi  ialah  kesanggupan  untuk
menyesuaikan  diri  kepada  kebutuhan  baru,  dengan  menggunakan  alat-alat  berfikir  yang  sesuai
dengan tujuannya.
2
William Stern berpendapat bahwa intelegensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan turunan,
pendidikan atau lingkungan tidak begitu berpengaruh kepada intelegensi seseorang.
Dari batasan yang dikemukakan di atas, dapat kita ketahui bahwa:
a.  Intelegensi  itu  ialah  faktor  total  berbagai  macam  daya  jiwa  erat  bersangkutan  di  dalamnya
(ingatan,  fantasi,  penasaran,  perhatian,  minat  dan  sebagainya  juga  mempengaruhi  intelegensi
seseorang).
b.  Kita  hanya  dapat  mengetahui  intelegensi  dari  tingkah  laku  atau  perbuatannya  yang  tampak.
Intelegensi hanya dapat kita ketahui dengan cara tidak langsung melalui “kelakuan intelegensinya”.
c.  Bagi  suatu  perbuatan  intelegensi  bukan  hanya  kemapuan  yang  dibawa  sejak  lahir  saja,  yang
penting faktor-faktor lingkungan dan pendidikan pun memegang peranan.
d. Bahwa manusia itu dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan tujuan-tujuan yang baru,
dapat memikirkan dan menggunakan cara-cara untuk mewujudkan dan mencapai tujuan itu.
Ciri-ciri intelegensi yaitu :
1. Intelegensi merupakan suatu  kemampuan mental yang melibatkan proses berfikir secara rasional
(intelegensi dapat diamati secara langsung).
2. Intelegensi tercermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan
pemecahan masalah yang timbul daripadanya.[2]
Teori yang cukup banyak dianut adalah bahwa intelegensi terdiri dari suatu faktor G (General faktor)
dengan  berbagai  faktor-faktor  S  (Specifik  Faktor).  Faktor  G  bukanlah  sekedar  penjumlahan  dari
faktor-faktor S. Masing-masing merupakan suatu kesatuan yang memiliki kualitas sendiri.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi [3]
a. Pengaruh faktor bawaan
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa individu-individu yang berasal dari suatu keluarga, atau
bersanak saudara, nilai dalam tes IQ mereka berkolerasi tinggi ( + 0,50 ), orang yang kembar ( + 0,90
) yang tidak bersanak saudara ( + 0,20 ), anak yang diadopsi korelasi dengan orang tua angkatnya ( +
0,10 - + 0,20 ).
b. Pengaruh faktor lingkungan [4]
Perkembangan  anak  sangat  dipengaruhi  oleh  gizi  yang  dikonsumsi.  Oleh karena  itu  ada  hubungan
antara  pemberian  makanan  bergizi  dengan  intelegensi  seseorang.  Pemberian  makanan  bergizi  ini
merupakan salah satu pengaruh lingkungan yang amat penting selain guru, rangsangan-rangsangan
yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting, seperti
pendidikan, latihan berbagai keterampilan, dan lain-lain (khususnya pada masa-masa peka).
3
c. Stabilitas intelegensi dan IQ [5]
Intelegensi bukanlah IQ. Intelegensi merupakan suatu  konsep umum tentang kemampuan individu,
sedang  IQ  hanyalah  hasil  dari  suatu  tes  intelegensi  itu  (yang  notabene  hanya  mengukur  sebagai
kelompok dari intelegensi). Stabilitas inyelegensi tergantung perkembangan organik otak.
d. Pengaruh faktor kematangan
Tiap  organ  dalam  tubuh  manusia  mengalami  pertumbuhan  dan  perkembangan.  Tiap  organ  (fisik
maupun  psikis)  dapat  dikatakan  telah  matang  jika  ia  telah  mencapai  kesanggupan  menjalankan
fungsinya.
e. Pengaruh faktor pembentukan
Pembentukan  ialah  segala  keadaan  di  luar  diri  seseorang  yang  mempengaruhi  perkembangan
intelegensi.
f. Minat dan pembawaan yang khas
Minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu.
Dalam  diri  manusia  terdapat  dorongan-dorongan  (motif-motif)  yang  mendorong  manusia  untuk
berinteraksi dengan dunia luar.
g. Kebebasan
Kebebasan  berarti  bahwa  manusia  itu  dapat  memilih  metode-metode  yang  tertentu  dalam
memecahkan masalah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan memilih metode, juga bebas dalam
memilih masalah sesuai dengan kebutuhannya.
Semua  faktor  tersebut  di  atas  bersangkutan  satu  sama  lain.  Untuk  menentukan  intelegensi  atau
tidaknya  seorang  anak,  kita  tidak  dapat  hanya  berpedoman  kepada  salah  satu  faktor  tersebut,
karena intelegensi adalah faktor total. Keseluruhan pribadi turut serta menentukan dalam perbuatan
intelegensi seseorang.
2. Intelegensi dan IQ [6]
IQ  adalah  skor  yang  diperoleh  dari  sebuah  alat  tes  kecerdasan  IQ  (Intelegence  Quotient)  hanya
memberikan  sedikit  indikasi  mengenai  taraf  kecerdasan  seseorang  dan  tidak  menggambarkan
kecerdasan seseorang secara keseluruhan.[7] Atau dengan kata lain, IQ menunjukkan ukuran atau
taraf  kemampuan  intelegensi/kecerdasan  seseorang  yang  ditentukan  berdasarkan  hasil  test
intelegensi. Sehingga istilah intelegensi tidak dapat disamakan artinya dengan IQ.[8]
4
Skor  IQ  mula-mula  diperhitungkan  dengan  membandingkan  umur  mental  (Mental  Age  atau  MA)
dengan  umur  kronolog  (Chronological  Age  atau  CA),  skor  ini  kemudian  dikalikan  100  dan  dipakai
sebagai dasar penghitungan IQ.
IQ = MA/CA x 100.
Namun kemudian timbul permasalahan karena MA akan mengalami stograsi dan penurunan pada
waktu itu, tetapi CA terus bertambah. Masalah ini kemudian diatasi dengan membandingkan skor
seseorang dengan skor orang lain dalam kelompok umur yang  sama. Cara ini disebut “perhitungan
IQ  berdasarkan  norma  dalam  kelompok  (Within  Group  Normal)  dan  hasilnya  adalah  IQ
penyimpangan atau deviation IQ.
3. Pengukuran Intelegensi [9]
a) Tes Binet Simon
b) Tes Stanford Binet
c) Teori Faktor-faktor G dan S
d) Teori Multifaktor
e) Kognisi; proses kognitif
f) Tes Intelegensi Klasikal
4. Validitas dan Reliabilitas Tes Intelegensi[10]
Test  intelegensi  kebanyakan  menggunakan  prestasi  sekolah  sebagai  promotor  atau  kriteria
utamanya.  Berbagai  penelitian  menunjukkan  bahwa  tes  intelegensi  memang  mempunyai  korelasi
yang amat tinggi dengan prestasi sekolah. Jadi dalam hal ini tes tersebut valid.
Pertanyaan validitas, dan khususnya reliabilitas tes intelegensi menyangkut pada pengaruh budaya.
Bila  tes  dapat  dibuat  sama  sekali  tidak  dipengaruhi  oleh  budaya  (Culture  Fair  atau  Culture  Free)
maka tes tersebut dapat diharapkan reliabel (dapat dipakai di mana saja).
5. Intelegensi dan Bakat
Kemampuan-kemampuan  yang  spesifik  memberikan  pada  individu  suatu  kondisi  yang
memungkinkan  tercapainya  pengetahuan,  kecakapan,  atau  keterampilan  itu  setelah  melalui  suatu
latihan. Inilah yang disebut bakat atau aptitude.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut aptitude tes atau tes bakat.
5
6. Intelegensi dan Kreativitas[11]
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari prilaku yang intelegen, karena kretivitas yang merupakan
manifestasi  dari  suatu  proses  kognitif,  meskipun  demikian,  hubungan  antara  kreativitas  dan
intelegensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan, tetapi lebih tinggi lagi, ternyata
tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Di  sini  secara  garis  besar  akan  diketemukan  berbagai  konsepsi  mengenai  intelegensi  itu,  yang
merupakan jawaban bagi pertanyaan “Apakah Intelegensi itu ?”
Konsepsi-konsepsi itu pada dasarnya digolongkan menjadi 5 kelompok yaitu :
1) Konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif
2) Konsepsi-konsepsi yang bersifat pragmatis
3)  Konsepsi-konsepsi yang  didasarkan  atas  analisis  faktor,  yang  kiranya  dapat kita  sebut  konsepsikonsepsi faktor.
4) Konsepsi-konsepsi yang bersifat operasional, dan
5)  Konsepsi-konsepsi  yang  didasarkan  atas  analisis  fungsional,  yang  kiranya  dapat  kita  sebut
konsepsi-konsepsi fungsional.[12]
B. Pengukuran Intelegensi Umum
1. Latar Belakang Tes Intelegensi
E. Seguin (1812  –  1880) disebut sebagai pionir dalam bidang tes intelegensi yang mengembangkan
sebuah  papan  yang  berbentuk  sederhana  untuk  menegakkan  diagnosis  keterbelakangan  mental.
Kemudian usaha ini distandanisir oleh Henry H. Goddard (1906). E. Seguin digolongkan kepada salah
seorang yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak terkebelakang dan disebut juga bapak dari
tes performansi.
Joseph Jasnow (1863  -  1944) adalah merupakan salah satu dari beberapa orang yang pertama kali
mengembangkan daftar norma-norma dalam pengukuran psikologis.
G.C.  Ferrari  (1896)  mempublikasikan  tes  yang  bisa  dipakai  untuk  mendiagnosis  keterbelakangan
mental.
August Oehr mengadakan penelitian inhmetasi antara berbagai fungsi psikologis (h. 14).
E.  Kraepelin,  seorang  psikotes  menyokong  usaha  ini,  empat  macam  tes  yang  dikembangkan,  di
antaranya yaitu:
1) Koordinasi motorik
2) Asosiasi kata-kata
3) Fungsi persepsi
6
4) Ingatan
Dan  E.  Kraepelin  juga  mengembangkan  tes  intelegensi  yang  berkaiatan  dengan  tes  penataran
aritmatik dan kalkulasi sederhana tahun 1895.
Di samping itu berkembang pula tes yang dipakai untuk kelompok (group). Hal ini diawali dengan tes
verbal untuk seleksi tentara (wajib militer) yang disebut dengan Army Alpha. Untuk yang buta huruf
atau tidak bisa berbicara bahasa Inggris dipergunakan Army Beta sekitar tahun 1917  –  1918, tes ini
dipakai hampir dua juta orang.[13] (h. 15).
2. Jenis-jenis tes intelegensi (h. 121)
Berdasarkan penataannya ada beberapa jenis tes intelegensi, yaitu :
1) Tes Intelegensi individual, beberapa di antaranya:
a. Stanford – Binet Intelegence Scale.
b. Wechster – Bellevue Intelegence Scale (WBIS)
c. Wechster – Intelegence Scale For Children (WISC)
d. Wechster – Ault Intelegence Scale (WAIS)
e. Wechster Preschool and Prymary Scale of Intelegence (WPPSI)
2) Tes Intelegensi kelompok, beberapa di antaranya:
a. Pintner Cunningham Prymary Test
b. The California Test of Mental Makurity
c. The Henmon – Nelson Test Mental Ability
d. Otis – Lennon Mental Ability Test (h. 21)
e. Progassive Matrices
3) Tes Intellegensi dengan tindakan perbuatan
Untuk  tujuan  program  layanan  bimbingan  di  sekolah  yang  akan  dibahas  adalah  tes  intelegensi
kelompok berupa:
a. The California Test of Mental Maturity (CTMM)
b. The Henmon – Nelson Test Mental Ability
7
c. Otis – Lennon Mental Ability Test, and
d. Progassive Matrices.[14] (22)
C. Intelegensi Jenis Lain
Dewasa ini kebanyakn orang masih memandang bakat sebagai warisan modal kecerdasan. Seorang
rekan dari Selandia Baru berkata bahwa lembaga  pendidikan kita tidak dapat “mengalahkan alam”,
dengan  kata  lain,  lembaga  lain  lembaga  pendidikan  itu  tidak  dapat  mengangkat  anak  lebih  tinggi
daripada  “anak-tangga  bakat”  yang  paling  atas.  Kebanyakan  ahli  pendidikan  memandang  bakat
sebagai kemampuan untuk menyerap pengetahuan yang disampaikan oleh sekolah.
Sementara  orang  mulai  bertanya  mengenai  nasib  mereka  yang  “tidak  cerdas”  yang  diberi  definisi
sebagai  orang  yang  kemapuan  skolastiknya  rendah  dan  yang  tertinggal  makin  jauh  dibelakang
apabila bahan pelajarannya semakin banyak dan bahan ajarannya semakin panjang.[15] (hal 61)
Bakat dari kelas sosial menurut Jensen Arah ahli pikir Amerika Serikat telah mulai menjauh dari teori
lingkungan,  suatu  ahli  tim  peneliti  yang  diketuai  oleh  Arthur  Jensen.  Seorang  psikolog  Universitas
California  di  Berkeley  telah  menyelami  masalah  perdebatan  intelegensi  antar  golongan,
umapamanya golongan sosial dan ras.
Jensen  kemudian  mengajukan  pertanyaan  yang  penuh  dengan  dinamit  politik  dan  emosi,  apakah
benar  ada  perdebatan  bakat  yang  terwariskan  antara  golongan  tertentu,  dan  kalau  memang  ada,
seberapa jauh perbedaan itu ada ? Ia mengajukan pertanyaan ini karena sesuatu sebab, jika suatu
masyarakat  memberikan  kesempatan  lebih  banyak  kepada  masing-masing  warganya  tidak  hanya
untuk  memperoleh  pendidikan  tetapi  juga  untuk  meraih  kedudukan  sosial  sesuai  dengan
kemampuannya,  apakah  kita  seharusnya  tidak  juga  beranggapan  bahwa  perbedaan  keturunan
akhirnya  akan  terasa  di  dalam  pekerjaan  dan  kehidupan  dan  mobilitas  sosial  seseorang  ?  Ia
menujukkan tiga sikon, yang meskipun tidak mengiyakan pertanyaannya namun dapat menimbulkan
kerisauan pada mereka yang ingin menyangkalnya. (hal. 61 – 62).
Pertama-tama 30 % dari perbedaan perorangan dalam skor tes itu  –  seperti yang tercantum pada
data standardisasi, yang diterbitkan oleh Terman dan Merrel – disebabkan perbedaan latar belakang
sosial – ekonomi.
Kedua,  kasus  mengenai  apa  yang  disebut  Francis  Galton  “regresi”  ke  arah  angka  rata-rata
menunjukkan  bahwa  perbedaan  bakat  antara  golongan  sosial  ekonomi  mungkin  ada  unsur
keturunannya.
Ketiga,  Jensen  menyatakan  bahwa  anak-anak  asuh  yang  di  tes  setelah  lama  hidup  di  rumah  asuh
mereka menunjukkan IQ yang berkolerasi dengan peringkat kedudukan sosial  –  ekonomi orang tua
kandung mereka.[16] (hal. 63)
8
Kritik Terhadap Tesis Jensen
Suatu studi singkat mengenai tesis Jensen itu harus diadakan, hal ini bisa dilihat melalui beberapa
argumentasi seperti
Yang pertama bahwa faktor keturunan menentukan perbedaan antar golongan sosial – ekonomi dan
bahw 70 –  80 % dari perbedaan perorangan adalah akibat keturunan  –  seperti yang disimpulkannya
dari  penelitian  terhadap  dua  anak  kembar.  Andaikata  itu  benar,  faktor  keturunan  itu  seharusnya
menyebabkan lebih banyak variasi dalam prestasi sekolah daripada semua faktor lingkungan.
Argumentasi  yang  kedua,  yaitu  yang  menyangkut  legiesi  sepintas  –  kilas  nampaknya  lebih  seram.
Anak-anak  dari  orang  tua  kaya  rata-rata  merosot  IQ-nya  dibandingkan  dengan  anak-anak  yang
kurang  mampu.  Tetapi  di sini  perbandingan  itu  menyangkut  dua  generasi, yang  dalam  banyak  hal
berasal dari latar belakang sosial yang jauh berbeda satu sama lain. (hal 65)
Argumentasi  yang  ketiga,  yang  menyangkut  kesamaan  antara  anak-anak  asuh  dan  orang  tua
kandung, walaupun hubungan mereka satu sama lain hampir sama sekali terputus. Kedengarannya
juga meyakinkan, terutama apabila dikatakan bahwa korelasi yang sama juga berlaku bagi anak yang
dibesarkan sendiri oleh orang tua kandung mereka, lepas dari pernyataan bahwa korelasi itu tidak
lebih jauh di bawah 4  –  5 % dari perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara perorangan, maka
golongan  sosial  ekonomi  merupakan  tolak  ukur  yang  kurang  mantap  terhadap  lingkungan  apalagi
bila kita ingin meneliti seberapa jauh dapat dijelaskan adanya variasi individual. Lagi pula hal yang
sama  itu  juga  berlaku  bagi  anak  asuh  maupun  anak  kemabar  pungut,  sehingga  kedua  macam
lingkungan keluarga itu cenderung berkorelasi satu sama lain. [17] (65 – 66)
BAB III
KEBERHASILAN PENDIDIKAN
A. Pengertian Keberhasilan
Suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pelajaran dinyatakan berhasil apabila hasilnya
memenuhi tujuan instruksional khusus (TIK) dari bahan-bahan tersebut.[18]
Untuk  mengetahui  tercapai  tidaknya  TIK,  guru  perlu  mengadakan  tes  formatif  setiap  selesai
menyajikan  satu  bahan  kepada  siswa.  Tujuannya  untuk  mengetahui  sejauh  mana  siswa  telah
menguasai TIK yang ingin dicapai.
B. Indikator Keberhasilan
a.  Daya  serap  terhadap  bahan  pengajaran  yang  diajarkan  mencapai  prestasi  tinggi,  baik  secara
individual maupun kelompok.
b. Perilaku yang digariskan dalam TIK telah dicapai siswa, baik secara individual maupun kelompok.
Namun daya serap lebih banyak dijadikan indikator untuk menjadi tolak ukur keberhasilan.[19]
9
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar seseorang bisa dibagi 2 yaitu :
a. Faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang kita sebut faktor individual.
b. Faktor yang ada di luar individu yang kita sebut faktor sosial. Yang termasuk faktor itu antara lain :
1) Kematangan/pertumbuhan
Mengajarkan  sesuatu  yang  baru  dapat  berhasil  jika  taraf  pertumbuhan  pribadi  telah
memungkinkannya ; potensi-potensi jasmani atau rohaninya telah matang untuk itu.
2) Kecerdasan/intelegensi
Di  samping  pematangan,  dapat  tidaknya  seseorang  mempelajari  sesuatu  dengan  berhasil  baik
ditentukan /dipengaruhi pula oleh taraf kecerdasannya.
3) Latihan dan ulangan
Karena  terlatih,  karena  seringkali  mengulangi  sesuatu,  maka  kecakapan  dan  pengetahuan  yang
dimilikinya dapat menjadi meningkat dan mendalam.
4) Motivasi
Motif merupakan pendorong bagi suatu organisme untuk melakukan sesuatu.
5) Sifat-sifat pribadi seseorang
Sifat-sifat  keperibadian  yang  ada  pada  seseorang  itu  sedikit  banyaknya  turut  pula  mempengaruhi
sampai di manakah hasil belajarnya dapat dicapai  (termasuk hal ini adalah faktor fisik kesehatan dan
kondisi badan).
6) Keadaan keluarga
Termasuk  dalam keluarga ini  ada  tidaknya  atau  tersedia  tidaknya  fasilitas-fasilitas  yang  diperlukan
dalam belajar turut memegang peranan yang penting .
7) Guru dan cara mengajar
Terutama  dalam  belajar  di  lembaga  formal,  faktor  guru  dan  cara  mengajarnya  merupakan  faktor
yang menentukan bagaimana hasil belajar yang akan dicapai anak didiknya.
8) Alat-alat pelajaran
Alat-alat  pengajaran  yang  tersedia  lengkap  ditambah  cara  mengajar  yang  baik  dan  guru-gurunya
akan mempermudah dan mempercepat proses pembelajaran bagi anak didik.
9) Lingkungan dan kesempatan
10
Pengaruh lingkungan yang buruk dan negatif serta faktor-faktor lain terjadi di luar kemampuannya.
Faktor  lingkungan  dan  kesempatan  ini  lebih-lebih  lagi  berlaku  bagi  cara  belajar  pada  orang-orang
dewasa.[20]
D. Penilaian Keberhasilan
Untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan belajar tersebut dapat dilakukan melalui tes
prestasi belajar. berdasarkan tujuan dan ruang lingkupnya tes prestasi belajar dapat digolongkan ke
dalam beberapa jenis yaitu :
a. Tes formatif
Penilaian ini digunakan untuk mengukur satu atau beberapa pokok bahasan tertentu dan bertujuan
untuk  memperoleh  gambaran  tentang  daya  serap  siswa  terhadap  pokok  bahasan  tersebut.
Fungsinya untuk memperbaiki proses belajar mengajar bahan tertentu dalam waktu tertentu.
b. Tes subsumatif
Tes  ini  meliputi  sejumlah  bahan  pengajaran  tertentu  yang  telah  diajarkan  dalam  waktu  tertentu.
Tujuannya  adalah  untuk  memperoleh  gambaran  daya  serap  siswa  untuk  meningkatkan  prestasi
belajar siswa.
c. Tes sumatif
Tes ini diadakan untuk mengukur daya serap siswa terhadap bahan pokok-pokok bahasan yang telah
diajarkan  selama  satu  semester,  satu  atau  dua  tahun  pelajaran.  Tujuannya  adalah  untuk
menetapkan tingkat atau taraf keberhasilan belajar siswa dalam suatu priode belajar tertentu.[21]
E. Tingkat Keberhasilan
Setiap proses belajar mengajar selalu menghasilkan hasil belajar. Namun, sampai ditingkat manakah
prestasi  (hasil)  belajar  itu  bisa  dicapai  inilah  yang  menjadi  masalahnya.  Sehubungan  dengan  ini
keberhasilan dalam proses belajar mengajar itu dibagi atas beberapa tingkatan atau taraf, yakni:
1. Istimewa/maksimal : Apabila seluruh bahan pelajaran yang diajarkan itu dapat dikuasai oleh siswa.
2. Baik sekali/optimal : Apabila sebagian besar (76 %  –  99 %) bahan pelajaran yang diatarkan dapat
dikuasai oleh siswa.
3. Baik/minimal : Apabila bahan pelajarn yang diajarkan hanya 60 % - 75 % saja dikuasai oleh siswa.
4. Kurang : Apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 60 % dikuasai oleh siswa.[22]
F. Program Perbaikan
11
Pengukuran tentang taraf atau tingkat  keberhasilan proses  belajar mengajar ini ternyata berperan
penting,  karena  itu  pengukurannya  harus  betul-betul  shahih  (valid),  handal  (reliabel),  dan  tugas
(objective). Hal ini mungkin tercapai bila alat ukurnya disusun berdasarkan kaidah, aturan, hukum
atau ketentuan penyusulan butir tes.
Pengajaran perbaikan biasanya mengandung kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Mengulang pokok bahasan seluruhnya
b. Mengutang bagian dari pokok bahasan yang hendak dikuasai.
c. Memecahkan masalah atau menyelesaikan soal-soal bersama-sama.
d. Memberikan tugas-tugas khusus.[23]
G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan
Faktor-faktor yang bisa mempengaruhi berhasil tidaknya suatu pendidikan adalah:
a. Tujuan
Adalah  pedoman  sekaligus  sebagai  sasaran  yang  akan  dicapai  dalam  kegiatan  belajar  mengajar.
Tujuan  Pembelajaran  Khusus  (TPK)  adalah  wakil  dari  Tujuan  Pembelajaran  Umum  (TPU),  maka
pembuatan  TPK  harus  berpedoman  pada  itu.  Agar  tidak  dapat  mewakili  terhadap  TPU  perlu
dipikirkan beberapa petunjuk (indikator) suatu TPU.
b. Guru
Guru adalah orang yang menciptakan lingkungan belajar yang kepentingan belajar anak didik. Latar
belakang pendidikan dan pengalaman mengajar adalah dua aspek yang mempengaruhi kompetensi
seorang guru dibidang pendidikan dan pengajaran.
c. Anak Didik
Adalah orang yang dengan sengaja datang ke sekolah. Daya serap otak bermacam-macam, karena
itu  dikenalah  tingkat  keberhasilan  yang  maksimal  (istimewa),  optimal  (baik  sekali),  minimal  (baik)
dan  kurang  untuk  setiap  barang  yang  dikuasainya.  Dengan  demikian,  dapat  diyakini  bahwa  anak
didik  adalah  unsur  manusiawi  yang  mempengaruhi  kegiatan  belajar  mengajar  berikut  hasil  dari
kegiatan itu, yaitu keberhasilan belajar mengajar.
d. Kegiatan Pengajian
Pola  umum  kegiatan  pengajian  adalah  terjadinya  interaksi  antara  guru  dengan  anak  didik  dengan
bahan sebagai perantaranya.
e. Bahan dan Alat Evaluasi
Bahan  evaluasi  adalah  suatu  bahan  yang terdapat  di  dalam  kurikulum  yang  sudah  oleh anak  didik
guna kepentingan ulangan.
12
Alat-alat evaluasi yang umunya digunakan tidak hanya benar-salah (true  –  false) dan pilihan ganda
(multiple – choice), tapi juga menjodohkan (matching), melengkapi (Completion), dan Essay.
f. Suasana Evaluasi
Sikap yang merugikan pelaksanaan evaluasi dari seorang pengawas adalah membiarkan anak didik
melakukan  hubungan  kerjasama  di  antara  anak  didik,  lebih merugikan  lagi  adalah  sikap  pengawas
yang  dengan  sengaja  menyuruh  anak  didik  membuka  buka  catatan  untuk  mengatasi  ketidak
berdayaan  anak  didik  dalam  menjawab  item-item  sosial.  Dampak  dikemudian  hari  dari  sikap
pengawas yang demikian itu adalah mengakibatkan anak didik kemungkinan besar malas belajar dan
kurang memperhatikan penjelasan guru ketika belajar mengajar berlangsung. [24]
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Intelegensi adalah faktor total, berbagai macam daya jiwa erat bersangkutan di dalamnya seperti
ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat dan sebagainya juga berpengaruh terhadapa intelegensi
seseorang. Intelegensi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri secara mental terhadap situasi
atau kondisi baru serta perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian.
2. Ciri-ciri intelegensi yaitu : merupakan suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
secara rasional, tercermin dari tindakan yang terarah pada penyesuaian diri terhadap lingkungan dan
pemecahan masalah yang tombul daripadanya.
3.  Faktor-faktor  yang  mempengaruhi  intelegensi:  pengaruh  faktor  bawaan,  pengaruh  faktor
lingkungan,  stabilitas  intelegensi  dan  IQ,  pengaruh  faktor  kematangan,  pengaruh  faktor
pembentukan, minat dan pembawaan yang khas, kebebasan.
4.  keberhasilan  adalah  suatu  proses  belajar  mengajar  tentang  suatu  bahan  pelajaran  dinyatakan
berhasil apabila hasilnya memenuhi tujuan instruksional khusus (TIK) dari bahan-bahan tersebut.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar ada 2, yaitu : faktor yang ada pada diri organisme itu
sendiri, dan faktor yang ada di luar individu yang kita sebut faktor sosial.
6.  Penilaian  keberhasilan  bisa  dilakukan  melalui  beberapa  macam  tes  prestasi  belajar  seperti:  tes
formatif, tes subsumatif, dan tes sumatif.
7.  Keberhasilan  dalam  proses  belajar  mengajar  dapat  digolongkan  atas  beberapa  tingkatan,  yaitu:
istimewa/maksimal, baik sekali/optimal, baik/minimal, dan kurang.
8.  Faktor-faktor  yang  mempengaruhi  keberhasilan  terdiri  dari  :  tujuan,  guru,  anak  didik,  kegiatan
pengajaran, bahan dan alat evaluasi, suasana evaluasi.
13
Daftar Pustaka
Djamarah, Syaiful Bahri dan Drs. Aswan Zain. 1995, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta.
Husen, Torsten. 1988, Masyarakat Belajar, Jakarta: Rajawali Pers.
Purwanto, M.Ngalim. 1990, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sabri, M. Alisuf. 1996, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Slameto, Drs. 1995, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sukardi, Dewa Ketut. 1988, Analisis Tes Psikologi, Jakarta: Rineka Cipta.
Suryabrata, Sumadi. 1984, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Drs. Irwanto dkk, Psikologi Umum (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994) h. 166
[2] Ibid.Psikologi Umum. h. 167
[3] Ibid.Psikologi Umum. h. 168
[4] Ibid.Psikologi Umum. h. 169
[5] Ibid. Psikologi Umum. h. 171
[6] Ibid. Psikologi Umum. h. 172
[7] Drs. H.M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996) h. 117
[8] Op. Cit. PsikologiUmum. h. 172
[9] Ibid. Psikologi Umum. h. 174
[10] Ibid. Psikologi Umum. h. 180
[11] Ibid. Psikologi Umum. h. 183
[12] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada) h. 128
[13] Drs. Dewa Ketut Sukardi, Analisis Tes Psikologi. (Jakarta: Rineka Cipta) h. 14  - 15
[14] Ibid. Analisis Tes Psikologi. h. 21 - 22
[15] Torsten Husen, Masyarakat Belajar, (Jakarta: Rajawali Pers) h. 60 - 61
[16] Ibid. Masyarakat Belajar, h. 61 - 63
[17] Ibid. Masyarakat Belajar. h. 64 - 66
[18] Drs. Syaiful Bahri Djamarah dan Drs. Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Ci pta) h. 119
[19] Ibid. Strategi Belajar Mengajar. h. 120
[20] Drs. M. Tugalim Purwanto MP, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya) h. 102  - 106
[21] Op. Cit. Strategi Balajar Mengajar. h. 120
[22] Ibid. Strategi Belajar Mengajar. h. 121 – 122.
[23] Loc. Cit. Strategi Belajar Mengajar. h. 122
[24] Ibid, Strategi Balajar Mengajar, h. 123 - 134
Sonie Elbalarjani Muta'alim, Mahasiswa, Santri

0 Response to "INTELEGENSI"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel